Lalu ia membuat video singkat mempromosikan donat itu, aku juga melakukan hal yang sama, dan sejak sore itu juga beberapa teman dan tetangga memesannya, membayarnya, dan beberapa pesan beberapa lagi untuk lain hari, begitu terus, begitu terus hingga kawan-kawan lamaku memesan juga melalui iklan-iklan yang kupasang di medsos, dan aku dapat menghitung dengan baik modal dan keuntungan yang kudapatkan, berlipat-lipat hingga beginilah sekarang: kubangun sebuah resto aneka Donat di tengah kota dengan merek dagang “Do/Not!” disertai gambar jari yang terkepal genggaman tangan yang tentu hanya aku yang tahu makna historisnya dan makna simboliknya.
Di manakah guruku itu sekarang? Dia masih ada dan sering juga mampir ke restoku bersama ini dan itu, ganti berganti, hingga aku tahu bahwa dia memang dibutuhkan banyak orang dalam beragam urusan yang membutuhkan sentuhan kreatifnya. Dari percakapan mereka aku tahu guruku sering diminta membantu berbagai pesta. Dan apakah dia janda atau tidak, itu bukan urusanku. Kehidupan satu orang dengan satu yang lainnya selalu ada batas privasi yang tidak boleh saling dimasuki sesuka-sukanya. Seakrab apa pun dia kepadaku, aku kepadanya, tetap aku adalah muridnya sampai kapan pun.
Bahwa dulu aku berpikir dia juga menginginkan aku berhasrat kepadanya, itu pikiran kotorku belaka. Dia memintaku melakukan adukan-adukan yang tidak senonoh itu —jika semua itu tidak bercampur khayalanku— sebagai pendidikan simbolik yang mesti kukenang makna terdalamnya: tancapkan cita-citamu. Itu saja. Itu yang paling pokok. Tidak ada maksud dia menghantui pikiranku dengan kejorokkan hubungan guru dan murid, kecuali karena otakku saja yang bertahun-tahun sesudahnya selalu ngeres, menyampah, seperti kulit-kulit buah yang berlepasan tanpa aturan pengelupasan.
Menentukan hidup mau jadi apa, hanya satu kuncinya: do or not. Yakin saja dengan apa pun pilihan kamu seperti yang sudah kulakukan. Lanjut kuliah, bisnis, kawin, so what, bebas-bebas saja. Yang penting jangan menyampah dan jadi sampah, jangan pula berpikir kotor atau mengotori pikir. Mengerti? []
Serang, 2022
Cerpen-cerpen Arip Senjaya dimuat di berbagai media nasional dan di sejumlah buku antologi bersama seperti Hujan Klise (Kompas, 2018) dan Dokter Setengah Malaikat (basabasi.co, 2019). Kumpulan cerpen pertamanya Patung Kaki Kanan (2014).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H