“Benarrr!” anak-anak perempuan segera melepaskan ketegangan di wajah mereka dan terpingkal-pingkal tanda mengerti.
“Lakukan dengan mesra, seperti ini, dan…” dan terkelupaslah salak itu seperti yang ia lakukan di awal pelajaran. Sangat rapi, tanpa ceceran sampah.
“Selanjutnya mari kita kenali apel. Dalam bahasa Sunda kita mengenal kata ‘apél’, yaitu kunjungan anak cowok ke anak cewek di malam Minggu. Adakah yang pernah apél di sini, kamu?” dia melirik kepadaku. Teman-temanku menertawakanku. Aku pun kemalu-maluan dibuatnya.
“Jangan dulu, nanti kalau sudah kuliah ya!” Guru kami tersenyum menatapku, matanya nakal. Senyumnya seakan memaksa bibirku untuk tersenyum juga menatap masa depan: kuliah nanti! Ah, macam apa pula kuliah itu…
“Apel ini licin, seperti licinnya seorang lelaki di malam Minggu. Kelimis karena rambutnya diberi minyak dan disisir rapi. Wangi, karena memakai parfum. Hemm.”
Saat ia mengeluarkan pisau, ia mulai berkata “Cinta itu setajam pisau, salah melangkah, maka akan memutuskan kekasih kita dari kita sendiri. Lihatlah, jangan sampai mata pisau itu keluar jalur; fokus, harus fokus, sefokus mata cinta saat menatap cinta sejati.”
Luar biasa, dia tidak sekadar guru tataboga, dia terlihat sangat memahami urusan cinta sampai sedalam-dalamnya.
“Nah, kulit yang panjang ini, seperti cinta yang panjang, cinta yang tak kenal kata putus. Mengerti?”
“Mengertiii!” semua menyahut gembira.
“Dan apa artinya jeruk? Siapa bisa menjawab?”
Akulah yang menjawab: “Jeruk adalah buah yang kulitnya pahit.”