“Benar, Nak, kamu pintar. Hidup itu mengandung rasa pahit, bahkan beracun seperti cairan di kulit jeruk ini. Kena mata, maka pedihlah mata. Jangan sampai kita hidup sepahit kulit jeruk, dan jangan sampai pahitnya hidup membuat kita pedih dibuatnya.”
Gila! Gila! Aku terus memuji guruku itu.
“Jagalah jarak dengan kulit jeruk, arahkan semburan kulitnya ke luar sana, bukan ke muka kita sendiri, dan jagalah jarak dengan kepahitannya. Nah, kalau sudah terlepas, kita akan mendapatkan hidup yang manis.”
“Ada juga jeruk yang asam, Bu!” kataku makin berani.
“Benar, itu adalah jeruk yang jangan kamu makan kecuali kamu sedang ngidam!”
Terang saja semua temanku menertawakan aku karena mereka tahu aku kalah debat.
Di hari lainnya, ia datang dengan gerobak besi dipenuhi piring, gelas, garpu, dan sendok dari ruang guru. Mereka baru saja mengadakan parasmanan setelah rapat besar, dan beberapa bekas makannya didorong oleh guruku itu ke kelas kami. Lalu ia bertanya, benda apa yang seharusnya dicuci lebih awal, dan benda mana yang harus diakhirkan.
“Gelas, Bu!” jawabku.
“Piring!” jawab yang lain.
“Tidak, yang harus diawalkan adalah benda mana yang mengandung ketajaman.”
Maka dikeluarkannya garpu-garpu dari berbagai barang yang menghimpitnya.