Laki-laki itu berdasi, tampak berwibawa, dan tersenyum senang melihatku dipelukan istrinya itu (sebentar, apakah benar dia suaminya? Saat itu aku tidak percaya, karena laki-laki tersebut jauh lebih tua).
Di hari resepsi kakakku, guruku datang diantar lelaki yang lain dengan mobil yang lain lagi pula, laki-laki yang berdasi pula, tampak makmur, dengan arloji yang mewah, sepatu yang menawan. Laki-laki ini kupikir tidak mungkin juga suaminya karena jauh lebih muda, mungkin seorang mahasiswa atau pengusaha muda.
Di hari-hari lain aku mulai gelisah dan kerap cemburu tiap kali melihat guruku itu dijemput mobil lain lagi dan laki-laki lain lagi ke sekolah. Cemburuku tambah parah ketika aku tahu dari anak-anak yang sok tahu bahwa dia adalah seorang janda, dan banyak guru tidak suka kepadanya karena terlalu glamor untuk ukuran guru.
“Janda?” batinku berkali-kali. “Jadi, semua laki-laki itu adalah pacar-pacarnya? Calon-calon suaminya? Mengapa berganti-ganti?”
Beberapa teman yang sok tahu sering juga menyebarkan desas-desus guruku itu doyan kawin, dan tak ada laki-laki yang dapat memuaskan dia. Ada juga yang mengatakan dia hanya akan kawin dengan lelaki kaya yang kalau sudah dia rampok kekayaannya maka dia akan cerai dari laki-laki itu.
Sampai-sampai aku merasa jijik dengannya, jijik pula dengan diriku karena sering teringat saat jari telunjukku ditekan-tekankan ke lubang kepalan tangannya itu, meski itu mungkin lebih banyak khayalanku saja. Sering aku berpikir bahwa ia sempat memancing hasrat daging mudaku, tapi lantas ia sadar aku belum punya uang untuk membayarnya.
Saat aku kelas dua, aku pun membenci tataboga sehingga memilih kelas keterampilan elektro, dan saat kelas tiga aku bergabung dengan kelas keterampilan komputer, tapi di rumah aku sebenarnya jadi senang membantu ibuku memasak atau beres-beres dapur. Setelah lulus aku pun masuk SMA terbaik di kota kami, tidak jadi ke SMK. Bertahun-tahun aku berusaha melupakan dia, sampai di satu masa aku daftar kuliah ke kampus terbaik di kota kami dan tidak lulus, dan benar-benar frustrasi. Hidup rasanya gelap, bagai adonan donat tanpa lubang.
Orang tuaku menyuruhku kuliah di kampus swasta, aku menolaknya, dan tidak yakin juga bisa lulus tahun berikutnya di kampus yang kuinginkan. Sampai kuputuskan untuk berdagang saja. Ya, aku berdagang pisau di Pasar Baru, dan bisa menabung dari usaha dagang. Kutolak segala keinginan kuliah itu. Aku sudah merasa gagal. Tak usah kusesali. Takdir harus kupilih sendiri. Dagang, hanya dagang.
Hampir dua tahun aku berdagang dan ibuku belum juga bosan menasehatiku untuk kuliah ke kampus swasta.
Aku tetap menolak.
“Biar aku jadi apa yang aku inginkan!” Meledak juga akhirnya kata-kataku di hadapan ibuku.