“Ehm, Ezra,” panggil Revangga. “Bisa bantu saya mengumpulkan kertas jawaban teman-temanmu?”
“Oh, iya, Pak! Bisa.”
Senyum Ezra merekah. Dia mensyukuri waktu ekstra bersama pujaan hatinya, meski hanya sesaat.
***
Ezra baru keluar dari rumah makan Padang langganannya. Sebagai mahasiswi perantauan yang malas memasak, maka wajib hukumnya untuk membeli makanan sebelum pulang kembali ke kosan. Dia tengah mengakses aplikasi ojek daring langganannya, ketika terlihat olehnya sosok perempuan tua yang dilihatnya di lampu merah tadi pagi.
Perempuan itu berdiri di dekat Toyota Alphard yang terparkir di pinggir jalan., tak jauh dari gerbang rumah makan. Sepertinya berbicara dengan seseorang yang kemungkinan pemilik mobil. Namun sosoknya tak terlihat oleh Ezra, yang pandangannya terhalang tanaman berdaun rimbun dalam pot besar di trotoar.
Tanpa sadar, Ezra bergerak mendekat. Meski tak bermaksud menguping, namun keberadaan perempuan itu menggugah rasa ingin tahunya. Ezra melangkah pelan, hingga potongan-potongan percakapan keduanya terdengar. Cukup jelas, meski tersamar oleh lalu lintas sore yang masih cukup ramai.
“Ndak. Aku sudah bilang. Aku ndak mau pulang!” kata perempuan tua dengan nada ngotot.
“Tapi, Bu... tolonglah, jangan bikin malu begini,” kata suara lembut memohon. Suara laki-laki.
“Malu? Malu katamu?” nada suara perempuan tua meninggi. “Inget yo, Le!!! Aku belum minta makan sama kamu. Biar Cuma ngemis begini, aku masih sanggup kerja! Aku bisa pulang sendiri!”
“Tapi, Bu,” suara laki-laki itu tetap memohon. Nyaris hampir menangis. Entah kenapa, Ezra merasa lelaki itu dikenalnya.