“Selamat pagi, Pak!” sahut seluruh kelas kompak.
“Wah, Ezra bareng Pak Re lho... habis nge-date ya?” celetuk Rima, si tomboy yang duduk paling belakang yang langsung disambut koor CIYEEEEEEEEEEEEEE dari teman-teman yang lain.
Wajah Ezra yang semula dipikirnya tak mungkin lagi bisa bertambah merah lagi, kini sudah seperti pantat kera gunung. Dia nyaris menangis saat duduk di kursinya, di deretan paling depan.
“Sudah-sudah,” lerai Pak Dosen. “Siapkan kertas kalian, kita mulai kuis.”
***
Ezra termenung di kursinya. Waktu mengerjakan soal masih setengah jam lagi. Hampir separuh rekan-rekannya sudah keluar kelas. Bukan berarti soal-soal yang diberikan Pak Revangga mudah, justru sebaliknya. Soal essai yang hanya berjumlah 3 buah, namun beranak pinak itu mampu meningkatkan kadar stres hingga titik tertinggi, sehingga sebagian besar mahasiswa mengerjakannya dengan pasrah. Lebih cepat mengakhiri ujian, lebih baik dibanding jadi gila di dalam.
Ezra sendiri sudah selesai. Gadis bertahi lalat di ujung bibir itu merasa tak kesulitan mengerjakan soal. Bukan karena dia terlahir jenius, melainkan karena tak pernah sekalipun mengalihkan pandangan dari Pak Re. Dosen itu begitu berkharisma di matanya. Ezra sudah jatuh hati sejak pertama kali melihatnya tanpa sengaja saat mendaftar di kampus ini pertama kali.
Pak Re yang tampan dengan rambut ikal pendeknya. Pak Re yang selalu memakai kacamata minus empat yang berbingkai persegi warna cokelat. Pak Re yang berbibir kemerahan, pertanda belum pernah tersentuh rokok sekalipun. Pak Re yang gaya bicaranya lembut, namun terkenal kejam untuk urusan nilai. Pak Re yang punya bisnis di bidang jasa ekspedisi internasional. Pak Re yang masih berusia 29 tahun. Pak Re yang tahun depan akan kuliah S3 di Belanda. Pak Re yang gosipnya akan melamar Bu Anggi, dosen Antropologi yang cantik semester depan.
Ah, Pak Re. Ezra menghela napas berat. Dia merasa seperti si pungguk. Meski begitu, sekedar nge-fans tidak ada salahnya kan? Dan Ezra mati-matian menahan dirinya mencoret-coret kertas jawabannya dengan puisi pernyataan cinta, sekadar agar dosen itu menyadari perasaannya yang adalah sungguh. Bukan hanya main-main seperti anggapan teman-teman sekelasnya yang sering men-ciye-ciye-kan dirinya.
“Ok. Waktunya sudah habis,” suara tenor Revangga menarik Ezra kembali ke dunia nyata.
Ezra memandang sekelilingnya. Sudah kosong. Lalu buru-buru membereskan ranselnya untuk bersiap-siap keluar. Ezra memang selalu keluar paling akhir, menikmati saat-saat bersama Pak Re selama mungkin.