Ezra, gadis berkuncir ekor kuda itu duduk gelisah di boncengan motor. Berkali-kali melirik arloji di pergelangan tangannya, sebelum akhirnya pasrah menatap pasrah antrean panjang kendaraan yang mengular di dekat traffict light.
“Santai aja, Neng. Setengah jam lagi pasti sampai kok,” kata tukang ojek berseragam jaket hijau khas itu menenangkan. Meski sudah berumur hampir separuh baya, dia tampak lihai menyalip di lorong antara dua baris kendaraan roda empat. Tak hanya itu, dia juga lincah berzig-zag menghindari pengendara sepeda motor lainnya yang kerap nyelonong tanpa peringatan.
“Iya, Pak. Harus sampai sebelum jam delapan ini,” sahut Ezra, masih terdengar cemas.
“Ujian ya, Neng?”
“Iya, Pak.”
Pembicaraan ringan keduanya terhenti oleh sesosok perempuan lanjut usia yang menadahkan tangannya. Wajahnya memelas memancing iba. Tentunya bersaing dengan beberapa pengamen bersuara sumbang, juga penjual koran yang juga berharap mendapat receh dalam 145 detik sebelum lampu berwarna hijau kembali menyala.
Tak tega, Ezra merogoh kantong samping ranselnya cepat-cepat. Mengulurkan selembar rupiah lusuh bergambar Tuanku Imam Bonjol kepada perempuan tua itu.
“Ngapain dikasih sih, Neng?” tanya tukang ojek begitu sepeda motor kembali melaju, meninggalkan kemacetan jauh di belakang.
“Yah, kasihan aja sih, Pak,” jawab Ezra setengah berteriak. Mengatasi deru angin yang menerpa dari arah depan.
“Hmmm, kadang yang suka minta-minta itu nggak pantes dikasihanin, Neng. Bisa jadi di kampung dia punya rumah sama mobil,” kata tukang ojek. “Kalau emang niat sedekah, mending disalurkan ke yayasan anak yatim kek, panti jompo kek, apa gitu.”
Ezra terdiam. Iya sih, dia sering mendengar yang seperti itu. Beberapa kali malah menjadi berita nasional. Tapi tetap saja...
“Iya sih, Pak. Tapi saya beneran nggak tega kalau lihat perempuan begitu, keingetan Almarhumah Ibu saya terus, Pak,” kata Ezra.
Tukang ojek itu mengangguk maklum. Dia kembali konsentrasi menyetir. Hanya tinggal satu perempatan lagi, lalu belok kiri, maka akan sampai ke kampus tujuan.
***
Ezra berlari-lari kecil menuju kelasnya di lantai empat . Perjuangan ekstra, karena satu-satunya lift yang ada sedang dalam perbaikan. Dia kembali melirik pergelangan tangannya. Hanya tinggal lima menit lagi sebelum kuis dimulai.
BRUKKK!!!!!!
Ezra menabrak seseorang ketika berbelok di koridor terakhir. Dia tersungkur di ubin. Beruntung tidak ada barang yang dipegangnya. Padahal biasanya iPad kesayangan tak pernah lepas dari genggaman. Pasti langsung almarhum jika terbanting dengan benturan sekeras itu.
“Kamu tidak apa-apa, Ezra?” laki-laki yang menabrak ,-bukan-, yang ditabrak Ezra mengulurkan tangannya.
“Eh, iya anu, ng...nggak papa,” Ezra menjawab gugup. Matanya langsung terbelalak begitu tahu siapa yang ditabraknya. “Ma...maaf, Pak Re!”
“Tidak apa-apa. Ayo cepat, masuk kelas. Kalau kuis hari ini sampai terlambat, itu kesalahan kamu!”
Ezra tak menjawab. Hanya wajahnya yang terlihat semakin memerah kini. Dia mengekor di belakang Pak Revangga, dosen favorit pengampu mata kuliah ekonomi internasionalnya.
“Selamat pagi, semua!” kata Revangga begitu memasuki ruangan tepat pukul delapan pagi.
“Selamat pagi, Pak!” sahut seluruh kelas kompak.
“Wah, Ezra bareng Pak Re lho... habis nge-date ya?” celetuk Rima, si tomboy yang duduk paling belakang yang langsung disambut koor CIYEEEEEEEEEEEEEE dari teman-teman yang lain.
Wajah Ezra yang semula dipikirnya tak mungkin lagi bisa bertambah merah lagi, kini sudah seperti pantat kera gunung. Dia nyaris menangis saat duduk di kursinya, di deretan paling depan.
“Sudah-sudah,” lerai Pak Dosen. “Siapkan kertas kalian, kita mulai kuis.”
***
Ezra termenung di kursinya. Waktu mengerjakan soal masih setengah jam lagi. Hampir separuh rekan-rekannya sudah keluar kelas. Bukan berarti soal-soal yang diberikan Pak Revangga mudah, justru sebaliknya. Soal essai yang hanya berjumlah 3 buah, namun beranak pinak itu mampu meningkatkan kadar stres hingga titik tertinggi, sehingga sebagian besar mahasiswa mengerjakannya dengan pasrah. Lebih cepat mengakhiri ujian, lebih baik dibanding jadi gila di dalam.
Ezra sendiri sudah selesai. Gadis bertahi lalat di ujung bibir itu merasa tak kesulitan mengerjakan soal. Bukan karena dia terlahir jenius, melainkan karena tak pernah sekalipun mengalihkan pandangan dari Pak Re. Dosen itu begitu berkharisma di matanya. Ezra sudah jatuh hati sejak pertama kali melihatnya tanpa sengaja saat mendaftar di kampus ini pertama kali.
Pak Re yang tampan dengan rambut ikal pendeknya. Pak Re yang selalu memakai kacamata minus empat yang berbingkai persegi warna cokelat. Pak Re yang berbibir kemerahan, pertanda belum pernah tersentuh rokok sekalipun. Pak Re yang gaya bicaranya lembut, namun terkenal kejam untuk urusan nilai. Pak Re yang punya bisnis di bidang jasa ekspedisi internasional. Pak Re yang masih berusia 29 tahun. Pak Re yang tahun depan akan kuliah S3 di Belanda. Pak Re yang gosipnya akan melamar Bu Anggi, dosen Antropologi yang cantik semester depan.
Ah, Pak Re. Ezra menghela napas berat. Dia merasa seperti si pungguk. Meski begitu, sekedar nge-fans tidak ada salahnya kan? Dan Ezra mati-matian menahan dirinya mencoret-coret kertas jawabannya dengan puisi pernyataan cinta, sekadar agar dosen itu menyadari perasaannya yang adalah sungguh. Bukan hanya main-main seperti anggapan teman-teman sekelasnya yang sering men-ciye-ciye-kan dirinya.
“Ok. Waktunya sudah habis,” suara tenor Revangga menarik Ezra kembali ke dunia nyata.
Ezra memandang sekelilingnya. Sudah kosong. Lalu buru-buru membereskan ranselnya untuk bersiap-siap keluar. Ezra memang selalu keluar paling akhir, menikmati saat-saat bersama Pak Re selama mungkin.
“Ehm, Ezra,” panggil Revangga. “Bisa bantu saya mengumpulkan kertas jawaban teman-temanmu?”
“Oh, iya, Pak! Bisa.”
Senyum Ezra merekah. Dia mensyukuri waktu ekstra bersama pujaan hatinya, meski hanya sesaat.
***
Ezra baru keluar dari rumah makan Padang langganannya. Sebagai mahasiswi perantauan yang malas memasak, maka wajib hukumnya untuk membeli makanan sebelum pulang kembali ke kosan. Dia tengah mengakses aplikasi ojek daring langganannya, ketika terlihat olehnya sosok perempuan tua yang dilihatnya di lampu merah tadi pagi.
Perempuan itu berdiri di dekat Toyota Alphard yang terparkir di pinggir jalan., tak jauh dari gerbang rumah makan. Sepertinya berbicara dengan seseorang yang kemungkinan pemilik mobil. Namun sosoknya tak terlihat oleh Ezra, yang pandangannya terhalang tanaman berdaun rimbun dalam pot besar di trotoar.
Tanpa sadar, Ezra bergerak mendekat. Meski tak bermaksud menguping, namun keberadaan perempuan itu menggugah rasa ingin tahunya. Ezra melangkah pelan, hingga potongan-potongan percakapan keduanya terdengar. Cukup jelas, meski tersamar oleh lalu lintas sore yang masih cukup ramai.
“Ndak. Aku sudah bilang. Aku ndak mau pulang!” kata perempuan tua dengan nada ngotot.
“Tapi, Bu... tolonglah, jangan bikin malu begini,” kata suara lembut memohon. Suara laki-laki.
“Malu? Malu katamu?” nada suara perempuan tua meninggi. “Inget yo, Le!!! Aku belum minta makan sama kamu. Biar Cuma ngemis begini, aku masih sanggup kerja! Aku bisa pulang sendiri!”
“Tapi, Bu,” suara laki-laki itu tetap memohon. Nyaris hampir menangis. Entah kenapa, Ezra merasa lelaki itu dikenalnya.
“Ndak ada tapi-tapian! Kalau kamu malu, hiduplah dengan rasa malumu. Tapi kamu harus ingat, kamu makan, kamu bisa sekolah, bisa kuliah, sampai jadi ‘orang’ begini itu dari hasil ibumu ini ngemis dari dulu! Ingat itu!” Perempuan itu lantas pergi tanpa berbalik, mengabaikan putra yang menyerukan “Ibu...,ibu,” berulang kali.
Ketika perempuan tua itu menghilang di belokan, tinggallah lelaki termenung seorang diri. Cukup lama dia berdiri sediam patung Budha, sebelum akhirnya menyadari jalanan sekitarnya berpotensi macet akibat parkir sembarangan. Saat dia berbalik untuk membuka pintu mobilnya, wajahnya terlihat sekilas oleh Ezra yang masih sembunyi di dekat pot setinggi tubuhnya. Dia Revangga, Pak Dosen Tampan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H