Hal yang sama dikatakan oleh Josef Purnama Widyatmaja, seorang pendeta yang bekerja di tengah masyarakat "akar rumput" di Solo, Jawa Tengah. Beliau menjelaskan bahwa kita tidak lagi berbicara tentang pengertian "oikumene" dalam konteks Pax-Romana (wilayah dibawa kekuasaan Romawi), seperti yang dikatakan dalam kitab Wahyu 3:10; 12:9; 16:14, tetapi berbicara tentang "bumi" (Yunani: "Ge"), dimana  seperti dalam doa Bapa Kami yang diajarkan  oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya: "Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Sorga" (Matius 6: 10). Dalam Perjanjian Baru, khususnya di dalam Kitab-kitab Injil, berbicara tentang kedatangan Kerajaan Allah di Bumi, dimana Kerajaan Allah diberitakan maka di sana  ada keadilan, kebenaran dan perdamaian. Jadi gerakan oikumene adalah gerakan bersama dari Gereja-gereja dengan sikap terbuka  melibatkan agama-agama dan kepercayaan lain, serta semua elemen masyarakat, dengan tujuan menghadirkan "tanda-tanda Kerajaan Allah" di Bumi. Dengan pengertian ini, maka menjadi jelas kepada kita bahwa Gereja-gereja harus belajar terbuka dengan orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan yang lain (Islam, Hindhu, Budha, Konghucu, Agama Suku,dsb), untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik di bumi ciptaan Tuhan  ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Hambatan dalam Gerakan Oikumene
Â
Â
Umumnya kesatuan gereja terhalang oleh watak manusia yang tidak mau melepaskan dan mencurigai sesuatu yang asing hal ini terlihat, dari semakin kaburnya kepastian-kepastian yang telah ditetapak pada awal Gerakan oikumene sehingga banyak Gereja-gereja yang memandang sebelah mata terhadap aliran baru
Adanya perbedaan-perbedaan tradisional diantara konfesi-konfesi Gereja dan didalam teologi, contohnya masalah babtis, sifat Jabatan gereja dll.
Faktor pekabaran Injil bekerja menurut garis-garis suku. Unsure sukuisma sangat mempengaruhi. Identits Gereja menjadi sama dengan identitas suku sehingga sulit untuk ditinggalkan demi keesaan Gereja.[1]
Â
Â