“Kemudian ketika kakakmu yang kedua berumur tujuh tahun? Ayahnya meninggal mendadak”
“Begitu pun dengan kamu!”
“Aku malah tak tahu Ayahmu siapa dan sekarang di mana?”
“Aku tak sudi menerimamu sebagai calon menantuku”
Kata-kata Maknya Gendis masih melengking berulang-ulang. Malah sangat jelas tergambar. Aku yang kala itu hanya tertunduk. Hanya diam, tak bisa berkata apa-apa. Sebenarnya aku masih mempunyai dukungan. Ayah Gendis tidak menolak pertunanganku.
“Kalian orang yang miskin, punya apa kalian?” Kata Mak Gendis kepadaku terakhir kali bicara.
Kata-kata itu seperti hantu yang seakan-akan mencabik-cabik asaku. Yah, itulah perkataan yang keluar dari Maknya Gendis setelah kusampaikan maksud kedatanganku sambil membawa cincin ikatan.
Memang benar aku bukan siapa-siapa. Memang semua itu benar.
Sampai terdengar suara gonggongan anjing alas, sampai akhirnya kokok ayam jantan pertama terdengar yang mengawali hari, tengah berganti.
Aku baru sadar, jam berapa ini? Ku ambil handphone untuk memastikan jam, yang sebenarnya telah lama bersembunyi di saku celana. Hape itu mati, ku coba hidupkan. Muncul peringatan! Alert! hape low!, kemudian hape itu kembali mati. Kuhidupkan lagi, tapi tetap tak mau nyala.
“Ya Allah, lupa kalau hape itu belum aku cas dari tadi siang”