. . .
Mata ini pun telah terpejam, namun aku tidak tidur. Kala suara ayam benar-benar sahut menyahut.
Malam tadi, tepat beberapa malam, aku terjaga.
Pagi telah benar-benar dengan suka hati menyambut hingar bingar gelagat manusia. Aku yang masih malas beranjak bangkit, dalam mata terpejam. Filem, belum juga habis ditayangkan. Suara adzan menggema, klise sang waktu. Aku lamat-lamat bangkit dari nuansa antara kenyataan dan masa kenangan.
Ketika ku buka pintu bilik rumah. Rona jingga langit timur belum begitu terlihat. Kabut dan udara dingin menyelimuti. Ku ikut bergabung dalam saf sepi yang hanya dihuni tiga orang saja.
Setelah jemaat kecil itu meninggalkan safnya satu persatu. Aku masih mengadukan laraku pada Yang Maha Pemberi Kesejukan. Hanya satu asaku, “Ya Allah, kuatkanlah diriku dalam keberadaanku yang seperti ini.” “Kuatkanlah aku dari takdir yang menyertaiku.”
“Biarpun aku nista, keberadaan Ayahku yang memang sudah meninggal ketika aku belum genap tiga tahun.”
. . .
Aku memang keturunan etnis Jawa-Tionghoa.
Sebenarnya aku terlahir karena ketidaksengajaan. Aku tak menyalahkan Mamakku, sehingga Allah mengaruniai buah hati kepadanya dalam wujud aku. Aku kemudian tahu kalau seperti itulah aku, setelah aku belajar Agama.
Aku pula tak menyalahkan Ayahku. Aku mungkin terlahir dari hubungan haram.