Mohon tunggu...
Wahyu Detriantoro
Wahyu Detriantoro Mohon Tunggu... Guru - Tetap mencoba melangkah

Saya adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Pernah mengenyam bangku sekolah dan kuliah di kota kecil. Kini lebih fokus mengajar. "Tetap berusaha menjadi berguna"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gendis Tetap Asaku

28 Mei 2016   21:17 Diperbarui: 28 Mei 2016   21:32 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku duduk di pelataran dalam temaramnya remang lampu. Wajahku kuarahkan ke langit, yang sebenarnya langit itu indah penuh lukisan bergerombol bintang gemintang. Namun, aku tak tertarik. Kali ini yang terlintas adalah … akan lukisan, bahkan kenyataan. Layar lebar menampilkan kejadian berurutan, lambat laun merembes menghasilkan tetes-tetes kecil menuruni pipi-pipiku. Wajahku memang menatap langit yang bertebaran bintang-gemintang, tapi bukanlah bintang itu yang aku saksikan.

“Sudah berulang kali, berulang kali!” Jangan kau nikahi dia. Sampai kapanpun, Mak lebih bahagia jika kau tidak memilihnya. Mak tidak sudi mempunyai menantu semacam dia!

Mak yang pucat bertambah pucat dan keriput kemudian tertunduk.

“Bujangku, Mak memang tidak pernah bersekolah. Mak sudah tak punya Ayah, sudah pula tak mengenal Ibu sedari kecil.” Namun, Mak hanya ingin melihatmu bahagia.

“Tapi Mak?” Aku sudah teramat mencintainya.

“Mak ini, bahkan tak pernah tau kapan Mak ini lahir. Mak hanya tahu kalau Mak lahir sebelum lebat-lebatnya turun hujan.”

“Mak merasa cukup terhina melihat perlakuan Maknya Gendis itu”

“Kau, sang bungsu yang sangat Mak harapkan”

“Mak tak ingin kejadian kedua terulang lagi”

“Bujangku, pokoknya jauhi dia!, kau boleh cari wanita lain. Tapi jangan dia!

Entah kenapa, seperti tak kontras malam itu. Indahnya sajian langit, nuansa tenang alam, malah makin membuatku puas terbasahkan wajahku oleh rinai air mataku sendiri.

Aku memang lelaki, tapi aku pun bisa pilu. Bahkan tersedan.

Kemudian kuusap pelipis mataku, ketika benar-benar reda. Ku buka rumah bilikku.

Terdengar suara kreot…kreot..

Kemudian kubaringkan wajahku ketika iringan gasir, jangkrik dan orong-orong yang telah berhasil menghilangkan kesunyian. Ingatan itu, Ingatan itu. Menghampiriku lagi.

Lamat-lamat, makin jelas. Bagaikan filem yang diputar.

“Kau tak pantas bersanding bersama Gendis. Makmu itu yang telah kawin dengan tiga laki yang berbeda! Yang juga telah melahirkan tiga anak yang berbeda Ayah.”

“Semua Ayahnya meninggal”

“Kakakmu, tidak mempunyai Ayah. Ayahnya mati tersetrum kabel listrik. Saat itu Kakakmu masih dalam gendongan.”

“Kakakmu kemudian, juga tak seberuntung kakakmu yang pertama.”

Dia … Dia memakai pelet untuk merayu Mamakmu dan ketika kakakmu itu berumur dua.’

Mamakmu tidak tahan akan sikapnya, karena dia selingkuh. Kemudian pisah.

“Kemudian ketika kakakmu yang kedua berumur tujuh tahun? Ayahnya meninggal mendadak”

“Begitu pun dengan kamu!”

“Aku malah tak tahu Ayahmu siapa dan sekarang di mana?”

“Aku tak sudi menerimamu sebagai calon menantuku”

Kata-kata Maknya Gendis masih melengking berulang-ulang. Malah sangat jelas tergambar. Aku yang kala itu hanya tertunduk. Hanya diam, tak bisa berkata apa-apa. Sebenarnya aku masih mempunyai dukungan. Ayah Gendis tidak menolak pertunanganku.

“Kalian orang yang miskin, punya apa kalian?” Kata Mak Gendis kepadaku terakhir kali bicara.

Kata-kata itu seperti hantu yang seakan-akan mencabik-cabik asaku. Yah, itulah perkataan yang keluar dari Maknya Gendis setelah kusampaikan maksud kedatanganku sambil membawa cincin ikatan.

Memang benar aku bukan siapa-siapa. Memang semua itu benar.

Sampai terdengar suara gonggongan anjing alas, sampai akhirnya kokok ayam jantan pertama terdengar yang mengawali hari, tengah berganti.

Aku baru sadar, jam berapa ini? Ku ambil handphone untuk memastikan jam, yang sebenarnya telah lama bersembunyi di saku celana. Hape itu mati, ku coba hidupkan. Muncul peringatan! Alert! hape low!, kemudian hape itu kembali mati. Kuhidupkan lagi, tapi tetap tak mau nyala.

“Ya Allah, lupa kalau hape itu belum aku cas dari tadi siang”

. . .

Mata ini pun telah terpejam, namun aku tidak tidur. Kala suara ayam benar-benar sahut menyahut.

Malam tadi, tepat beberapa malam, aku terjaga.

Pagi telah benar-benar dengan suka hati menyambut hingar bingar gelagat manusia. Aku yang masih malas beranjak bangkit, dalam mata terpejam. Filem, belum juga habis ditayangkan. Suara adzan menggema, klise sang waktu. Aku lamat-lamat bangkit dari nuansa antara kenyataan dan masa kenangan.

Ketika ku buka pintu bilik rumah. Rona jingga langit timur belum begitu terlihat. Kabut dan udara dingin menyelimuti. Ku ikut bergabung dalam saf sepi yang hanya dihuni tiga orang saja.

Setelah jemaat kecil itu meninggalkan safnya satu persatu. Aku masih mengadukan laraku pada Yang Maha Pemberi Kesejukan. Hanya satu asaku, “Ya Allah, kuatkanlah diriku dalam keberadaanku yang seperti ini.” “Kuatkanlah aku dari takdir yang menyertaiku.”

“Biarpun aku nista, keberadaan Ayahku yang memang sudah meninggal ketika aku belum genap tiga tahun.”

. . .

Aku memang keturunan etnis Jawa-Tionghoa.

Sebenarnya aku terlahir karena ketidaksengajaan. Aku tak menyalahkan Mamakku, sehingga Allah mengaruniai buah hati kepadanya dalam wujud aku. Aku kemudian tahu kalau seperti itulah aku, setelah aku belajar Agama.

Aku pula tak menyalahkan Ayahku. Aku mungkin terlahir dari hubungan haram.

Akan tetapi, aku tetap bahagia. Karena apa? Itu karena, Mamak pernah berkata kepadaku. Kata Mamak. Ayahku amat sangat mencintaiku. Mak pernah bilang kepadaku, begini katanya, “Bujang, Ayahmu pesan sama Mak, rawatlah anak kita ini dengan sebaik-baiknya sampai ia dewasa. Mungkin penyakit ini, penyakit struk ini, akan menyeretku pada kematian.”

Mamakku pertama mengenal Ayahku karena Mamakku kala itu bekerja di Rumah Ayahku sebagai pembantu. Merawat Ayahku yang memang orang Cina, Ayahku yang memang kala itu mengidap penyakit struk. Ayahku akhirnya mencintai Mamakku.

Begitu baiknya Mamak katanya, pintar merawatnya. Merawat Ayahku yang penyakitan dengan penuh kasih sayang. Mamak terbata-bata menceritakan itu. Aku ... sedikitpun tidak marah. Karena, karena beginilah takdirku. Ditambah lagi, Aku yang memang hanya lulusan SMP. Ini pun kebanggaanku sendiri di zaman yang serba canggih seperti sekarang. Aku seharusnya yang paling bersyukur dibandingkan kedua kakakku, karena kedua kakakku hanya lulus SD. Apalah daya, Mamakku bekerja sendirian menyekolahkan kami bertiga. Mamak yang bahkan tidak mengenal huruf.

Tapi, aku tak tahu ... mengapa cobaan berlanjut menjadi makin menyiksa seperti ini.

Mak Gendis tak mau menerimaku sebagai calon menantunya.

Aku sangat mencintai Gendis. Tak ada wanita lain selain Gendis.

***

Setelah sejenak beraktivitas di pagi ini, berjalan-jalan dengan langkah kaki ringan kurang lebih satu jam. Berkeliling ke lahan hutan pinus milik pemerintah.

Aku dengan Gendis. Aku tak sendiri. Tadi pagi, setelah mandi pagi. Aku menjemput Gendis. Dari tadi aku belum bercerita usiaku. Yah, Usiaku sudah tiga puluh. Gendis dua puluh empat. Sebenarnya usia yang sudah tua untuk ukuran penduduk di sini kalau belum menikah. Tetapi aku tidak akan kapok sampai direstui.

Aku dan Gendis berjalan-jalan di sekitar hutan pinus. Sambil sesekali bertatap muka. Kami bagaikan dua remaja yang baru pertama jumpa dan jatuh hati. Gendis adalah wanita yang tidak begitu tinggi. Kurang lebih tingginya sepundakku. Kulitnya hitam manis, rambut terurai agak mengombak. Matanya bulat dan hitam. Dia manis, tidak begitu cantik. Namun, bagiku. Tak ada wanita lain yang singgah di hatiku selain dia.

Aku melihat-lihat hutan pinus, kemudian bersamanya menuruni bukit dan duduk di pekaranganku yang aku tanami dengan pohon Jenitri dan sebagian pohon Cabai.

“Ndis, Aku ingin tahu. Apakah kamu menyukaiku?”

“Mengapa Mas tiba-tiba tanya begitu?” Sampai kapanpun aku siap menunggu kita direstui mas.

“Ayahku, sebenarnya telah menerimamu mas?”

“Ayahku, sudah amat berhutang budi padamu.”

“Ayahku pernah bilang Mas, begini kata Ayah, “Aku bingung dengan sikap Makmu. Padahal Masmu amat sangat baik bagi kita.”

“Dia juga sangat berterima kasih padamu Mas?

Ayah Gendis telah lama mengidap penyakit kencing batu. Waktu itu, ia selalu sakit ketika buang air kecil. Bahkan susah berdiri. Sampai akhirnya sakit berbulan-bulan. Dia masih bersikukuh dan menganggap itu hanya sakit biasa. Di kemudian hari karena bujukan tetangga, istrinya, dan juga saudaranya. Ia akhirnya mau berobat. Di situlah diketahui kalau calon Ayah bagiku ini, mengidap penyakit kencing batu. Sejak saat itu, aku selalu mengantar jemputnya untuk rutin cuci darah. Ayah Gendispun telah merestui hubunganku sejak lama dengan Gendis.

Gendis melanjutkan, “Ayah telah menerimamu apa adanya.”

“Dia sempat bilang, Mas harus bisa tegas. Tegas dalam mengambil keputusan!”

“Sekalipun Makku belum merestui, Mas harus bisa mengambil keputusan!”

Sembari melihat buah Jenitri mulai kemerah-merahan. Gendis dengan manja bersandar di pundakku. Dua ekor bajing seakan malu-malu mengintip di balik dahan pohon Jenitri. Mereka berdecit melompat kesana-kemari tatkala percakapan kami berlangsung.

“Iya Ndis, Mas sebenarnya telah memikirkan. Bahkan mempersiapkan semuanya sampai proses resepsi kita nantinya. Mas amat sangat serius denganmu.”

Gendis menyahut, “Mas, telah benar-benar memberikan cincin itu kepadaku. Kita telah terikat tunangan hampir setahun lamanya” itu karena Ayahku.

“Tapi ndis, aku hanya mau menikahimu kalau Makmu benar-benar merestui hubungan kita. Aku tak mau kalau nanti hubungan kita berantakan kalau hanya Ayahmu yang merestui hubungan kita.”

“Aku mau segera menikahimu kalau Makmu ikhlas menerimaku apa adanya.”

“Tapi kini Makmu dan Makku seperti perang dingin.”

“Aku juga mau mereka berdamai.”

“Makmu harus minta maaf kepadaku dan juga Makku.”

“Iya Mas, Aku akan berusaha membujuk Mamak. Tak ada lelaki lain selain Mas dihati Gendis.”

Aku melangkah ketika mentari sudah mulai panas. Sehingga tidak nyaman lagi untuk kita duduk.

Sembari melangkah pelan. Aku dan Gendis beranjak pulang.

Sekian lama aku jalani hubungan ini. Demi mendapatkan restu dari Maknya Gendis. Menurut tetanggaku, Maknya Gendis tak akan menolak kalau anaknya menikah dengan orang punya.

Walau Makku melarangku dengan alasan buat apa mengejar cinta, apa tidak ada wanita lain?

Buatku takkan ada cinta selain Gendis. Biar calon mertuaku tidak merestui saat ini. Akan ku tunggu sampai benar-benar direstui.

Aku yakin, Gendis akan kudapatkan. Lihatlah nanti!

***

Sekian

Cengkareng, 28 Mei 2016

(Wahyu Detriantoro)

Catatan:

Cerita ini aku dedikasikan untuk seseorang yang kisahnya hampir serupa dengan kisah ini. Kisah yang nyata. Hanya saja saya mengubah beberapa karakter dan kisah untuk mengaburkan yang asli. Karakter asli ini, sengaja tidak saya sebutkan satu per satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun