Mohon tunggu...
annisa nur afifah
annisa nur afifah Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa, yang berusaha ada dimana saja

contact me : IG : @annisa.naff e-mail : annisanurafifah36@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Embun Senja Bab III

21 September 2022   10:00 Diperbarui: 21 September 2022   10:08 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JATUH DAN TUMBUH

Hari ini aku sibuk membantu ibu menyusun undangan untuk kerabat dan teman yang akan diundang dalam acara lamaran nanti. Acara kurang lebih tiga minggu lagi. Aku sengaja mengambil cuti hari ini, untuk membantu ibu dan menyelesaikan urusan di EO. Harusnya Mas Indra akan segera datang, untuk sama-sama kami kekantor EO untuk membayar DP.

Namun sudah lewat satu jam setengah dari waktu yang telah aku infokan ke mas Indra, dia belum kunjung datang. Pesan WA juga belum dibuka. Aku agak khawatir. Mungkin macet, aku berusaha meyakinkan diriku.

Ibu pun melihat kegelisahanku. “ Indra belum kasih kabar Sen?”

Baca juga: Embun Senja

“Belum Bu, aku telfon juga ndak diangkat.” Kataku

“Coba hubungi Bundanya.” Saran Ibu

Kemudian aku menghubungi Bunda, panggilanku untuk Ibu Mas Indra. Bunda bilang Mas Indra sudah jalan dari tadi. Aku pun semakin cemas. Namun Alhamdulillah tak lama Mas Indra tiba.

“Mas, aku pikir kamu kenapa-napa” Kataku padanya yang baru masuk ruang tamu.

Baca juga: Embun Senja Bab II

“Lumayan macet, maaf ya” Katanya agak lesu.

“Gapapa, minum dulu ya, baru berangkat.”

“Ga usah. Kita langsung aja ya, takut kesorean, ga enak juga sudah janji.” Katanya.

Kami pun berpamitan pada Ibu. Kemudian kami berangkat menuju kantor EO. Disepanjang jalan aku merasa deg-deg an yang menyenangkan. Aku terus berbicara pada Mas Indra tentang acara lamaran nanti. Dia pun diam mendengarkan. Namun kemudian Mas Indra memelankan laju mobil, dan menepi dipinggir halte bus.

“Loh kenapa mas? Kamu sakit ? Kok agak pucet ?”

“Engga kok.” Jawabnya.

“Ini minum dulu.” Aku memberikan air mineral padanya. Sepertinya dia kelelahan. “Kamu sih banyak lembur, jadi pasti cape banget badannya. Besok lagi minta dikurangin aja Mas, dijelaskan saja kalau mau mengadakan cara. Kan ndak lucu, saat acara kamu malah sakit. Sekarang ganti aku saja yang bawa mobil.” Kataku panjang lebar sambil melepas seat belt, hendak bertukar tempat duduk dengan nya.”

“Senja..” Mas Indra mencegahku membuka pintu mobil.

“Hem ? “

“Aku mau ngomong sesuatu.” Hening, aku merasa nada bicaranya datar. “Ngomong apa? Kok kaku gini?” Aku tersenyum menatapnya.

“Maaf” Katanya

“Untuk?” Jawabku bingung, namun entah mengapa jantungku berdetak begitu kencang.

“Untuk hal yang ingin aku sampaikan.” Katanya.

“Apasih Mas, kok gini, ngomong aja” Nada bicaraku agak berubah, sedikit bergetar.

“Aku yakin kamu akan mengerti dengan baik. Karena kamu wanita yang baik. Aku rasa aku harus bilang ini sekarang. Karna aku menyayangimu.” Katanya. Aku hanya terdiam. Mataku mulai berkaca-kaca entah kenapa.

“Senja, aku yakin kamu tahu betapa seriusnya aku tentang niatku menikahimu. Dan aku juga tahu kamu pun sama seriusnya. Tidak ada yang salah, kita telah melakukan semuanya dengan sangat baik hingga hari ini.”

Ya Tuhan, situasi seperti apa ini, bahkan hembusan nafasnya pun terdengar begitu nyata ditengah keheningan ini. Aku tetap diam menatapnya.

“Aku yakin aku akan mengecewakanmu, bahkan menyakitimu sangat dalam. Dan bukan hanya kamu, tapi kedua orang tua kita juga. Aku sadar itu.”

“Tapi, karena aku sangat menyayangimu, sehingga aku tidak bisa membiarkanmu terluka lebih lama.”

Kini air mataku mulai menetes. Tapi aku tetap diam menatapnya.

“Jika kamu bertanya apakah aku serius? Aku sangat serius tentang niatku menikah. Jika kamu bertanya apakah aku tidak sayang padamu? Aku sungguh sangat menyayangimu. Kamu yang terbaik, bahkan tidak ada yang bisa aku komentari tentangmu, kamu berhasil melakukan semuanya dengan sangat baik di hubungan ini.”

“Lalu ?” Kataku terbata.

“Sebenarnya sudah sejak beberapa waktu lalu. Aku tak berhenti berdoa, sholat, dan bahkan berdiskusi pada banyak ustad tentang apa yang aku rasakan.” “Hingga akhirnya, hari ini aku memberanikan diri untuk berkata padamu. Sebelum rasamu terlalu jauh.”

“Jadi..?”

“Maaf, tapi aku tidak bisa meneruskan rencana indah kita.”

“Kenapa? Aku ada salah ? Atau ada yang lain?” Nadaku agak meninggi.

Mas Indra terdiam. Cukup lama dalam keheningan ini. Aku tetap menatap ke arahnya.

“Tidak, aku yakin kamu pun tahu itu. Tidak ada orang ketiga. Namun, aku merasa cintaku padamu berbeda, bukan cinta seperti yang aku duga sebelumnya. Aku cinta , aku sayang padamu, namun aku tidak bisa menikah denganmu. Aku pun bingung dengan diriku. Sudah cukup lama aku merenungkan ini semua. Karena menurutku ini sangat tidak adil. Aku pun tersiksa menyimpan ini sendiri tanpamu.”

“Bukan aku tidak yakin akan niat ku untuk menikah. Hanya saja, setelah semua doa dan usaha yang aku lakukan, akhirnya aku menemukan jawaban, bahwa aku bukan untukmu. Dan Engkau bukan untukku.”

“Aku tidak ingin semakin dalam membuatmu terluka. Karena aku pun merasakan pedihnya luka ini, harus melepaskanmu. Nama yang selalu aku sebut dalam setiap do’a ku.”

Air matanya tak terbendung lagi. Dia menangis. Aku pun menagis.

***

Sudah seminggu dari hari itu, aku pun belum masuk kerja lagi. Badanku begitu lemas rasanya. Sudah seminggu ini pula aku tak membuka Hp ku. Aku juga tak mendengar kabar dari Mas Indra.

Ibu setiap pagi menyisir rambutku, mengusap air mataku, dan selalu setia memastikan aku tetap makan demi kesehatanku. Ibu terlihat tegar. Namun aku tau, hatinya lebih hancur dari pada hatiku. Ibu yang setiap saat melihatku tertawa, lalu menagis, kemudia tertawa kembali. Bagaimana perasaan hatinya? Sungguh aku tak mampu mengira.

Semalam, aku mendengar suara Bunda. Kata Ibu keluarga Mas Indra datang untuk berpamitan dan meminta maaf. Ibu pun menceritakan bagaimana hancurnya Bunda dengan kegagalan ini. Kami semua hancur, namun tak bisa saling menyalahkan.

***

Hari ini seharusnya menjadi acara lamaran kami. Seharusnya. Tapi sudah taka da lagi kami. Akhirnya aku memulai memberanikan diri membuka Hp ku, banyak pesan masuk disana yang aku buka satu-persatu.

Aku terkejut, banyak WA masuk dari Mba Embun yang menanyakan kabarku, dan bagaimana lanjutan acaraku. Ada juga doa dan ucapan selamat yang Ia kirimkan tadi malam, karena aku sama sekali tak pernah membalas WA nya. Aku pun menangis.

***

Siang hari aku begitu bosan, aku ingin Es Kopi dingin. Kemudian aku menuju Indomaret untuk mendapatkan kopi. Ternyata ada Mba Embun disana, juga sedang memesan kopinya.

“Senja?” Dia terkejut melihatku.

“Assalamualikum mba.” Sapaku tak berdaya.

“Gimana, kok ga ada kabar? Aku pikir kamu marah samaku?” Tanya nya sambil menuntunku untuk duduk.

“Alhamdulillah mba, acaranya gagal.”

Dia hanya terdiam.

“Seminggu sebelum acara, Mas Indra bicara padaku, bahwa dia tidak bisa melanjutkan perjalanan kami.” “Hatiku hancur mba.” Tak tersa air mataku menetes.

Mba Embun memelukku.

“Sabar ya. Percayalah Allah sebaik-baiknya penulis sekenario kehidupan.” Aku hanya mengangguk dalam pelukannya.

“Tidak ada yang salah, semua berjalan atas acc Allah. Baik itu takdir buruk ataupun takdir baik.”

“Kamu harus bangkit. Saat aku bisa bangkit, tentunya kamu juga bisa, dan punya hak yang sama untuk bangkit.”

Masyaallah, aku sangat bersyukur ada Mba Embun yang begitu menenangkan ku, tak bertanya dalam, namun bisa begitu dalam merangkulku.

“Kamu harus bersyukur lebih atas harapan yang tidak dikabulkan sesuai keinginanmu. Berarti tandanya Allah menyiapkan sesuatu rencana yang lebih baik dari itu. Allah tidak ingin kamu merasakan bahagia yang biasa, Allah ingin kamu bahgia luar biasa.” Mba Embun mengelus kepalaku.

“Kamu orang pilihan yang Allah rindukan senja, Allah rindu do’a-do’a dan rengekanmu. Allah terlalu suka atas do’a mu, sehingga ingin lebih dekat denganmu.”

Masyaallah, ucapan Mba Embun begitu menampar keras hatiku. Benar, aku begitu beruntung hingga Allah selamatkan aku dari pernikahan yang tidak seharusnya terjadi.

Aku perlahan berhenti menangis, namun masih dalam pelukan sahabatku.

“Mba, bantu aku bangkit.” Aku mentap mata Mba Embun penuh harap.

“Pasti.” Ucapnya begitu yakin dan menyejukkan hatiku.

Bersyukur sekali aku karena telah Allah pertemukan dengannya. Wanita spesial yang tak ku sangka menerima ku sebagai sahabatnya, tidak memandangku sebelah mata, dan begitu tulus padaku.

“Kamu tahu sen? Kebaikan yang Allah berikan atas belum dikabulkannya do’a-do’a mu?” Aku hanya menggeleng.

“Kamu tidak akan menyangka, karena ini sungguh luar biasa.” Katanya mantap.

“Pertama, Jika Allah tidak mengabulkan do’amu, maka berarti Allah tahu itu bukan yang terbaik untukmu, dan Allah sudah siapakan yang lebih baik dari itu. Kedua, jika Allah belum menjawab do’a mu, maka jangan bersedih hati, bisa jadi Allah gantikan dengan sesuatu yang menyelamatkanmu dari keburukan atau kejadian yang merugikan untukmu, yang setimpal dengan do’a itu. Dan yang ketiga, Jika hingga akhir hidupmu belum terjawab do’a mu, itu buka berarti Allah lupa, tetapi Allah simpan do’a itu sebagai bonus pemberat timbangan amalmu kelak nanti diakhirat, bahkan nanti kamu akan terkejut dan tidak menyangka dari mana datangnya tambahan timbangan itu, hingga Allah menjawab, semua itu adalah pahal dari do’a-do’a mu yang belum ku kabulkan.”

“Masyaallah mba…..” Aku kembali menangis, betapa tidak bersyukurnya aku.

Terimakasih ya Allah, telah engkau kirimkan bidadari bumi sebagai sahabatku. Nasehat-nasehat mba Embun, benar-benar tersa seperti embun yang menyejukkan hatiku, membasuk perih lukaku.

“Terimakasih Mba.”

***

Tiga bulan sudah berlalu dari pertemuanku dengan Mba Embun. Aku sekarang sering ikut mengaji bersamanya di majelis-majelis ilmu. Aku yang sekarang, bukan aku yang dulu lagi. Dulu aku selalu menghindar untuk bertemu Mas Indra. Aku masih belum menerima keadaan. Dan aku selalu mengungkit alasan kenapa aku ditinggalkan. Namun bersama Mba Embun aku dituntun untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dan banyak memperbaiki diri. Hingga hari ini aku sudah bisa meng-Upgrade diriku.

Beberapa kali aku bertemu Mas Indra selepas pengajian atau bertemu di pusat perbelanjaan. Dan aku sudah bisa menyapanya. Tidak menghindarinya lagi. Aku sudah bisa menerima, bahwa memangbukan dia sosok yang Allah jodohkan denganku. Aku melihat Mas Indra pun sudah lebih baik. Terakhir aku mendengar kabarnya dari Ibu. Bahwa Mas Indra juga terguncang sama sepertiku atas kegagalan kemarin, sempat dia menjadi lebih pendiam. Namun saat ini, aku merasa dia sudah kembali ceria, dan juga sudah berhasil menyusun rencana hidupnya yang baru.

***

.........................................................................................................................BERSAMBUNG..........................................................................................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun