Kami pun berpamitan pada Ibu. Kemudian kami berangkat menuju kantor EO. Disepanjang jalan aku merasa deg-deg an yang menyenangkan. Aku terus berbicara pada Mas Indra tentang acara lamaran nanti. Dia pun diam mendengarkan. Namun kemudian Mas Indra memelankan laju mobil, dan menepi dipinggir halte bus.
“Loh kenapa mas? Kamu sakit ? Kok agak pucet ?”
“Engga kok.” Jawabnya.
“Ini minum dulu.” Aku memberikan air mineral padanya. Sepertinya dia kelelahan. “Kamu sih banyak lembur, jadi pasti cape banget badannya. Besok lagi minta dikurangin aja Mas, dijelaskan saja kalau mau mengadakan cara. Kan ndak lucu, saat acara kamu malah sakit. Sekarang ganti aku saja yang bawa mobil.” Kataku panjang lebar sambil melepas seat belt, hendak bertukar tempat duduk dengan nya.”
“Senja..” Mas Indra mencegahku membuka pintu mobil.
“Hem ? “
“Aku mau ngomong sesuatu.” Hening, aku merasa nada bicaranya datar. “Ngomong apa? Kok kaku gini?” Aku tersenyum menatapnya.
“Maaf” Katanya
“Untuk?” Jawabku bingung, namun entah mengapa jantungku berdetak begitu kencang.
“Untuk hal yang ingin aku sampaikan.” Katanya.
“Apasih Mas, kok gini, ngomong aja” Nada bicaraku agak berubah, sedikit bergetar.