“Kenapa? Aku ada salah ? Atau ada yang lain?” Nadaku agak meninggi.
Mas Indra terdiam. Cukup lama dalam keheningan ini. Aku tetap menatap ke arahnya.
“Tidak, aku yakin kamu pun tahu itu. Tidak ada orang ketiga. Namun, aku merasa cintaku padamu berbeda, bukan cinta seperti yang aku duga sebelumnya. Aku cinta , aku sayang padamu, namun aku tidak bisa menikah denganmu. Aku pun bingung dengan diriku. Sudah cukup lama aku merenungkan ini semua. Karena menurutku ini sangat tidak adil. Aku pun tersiksa menyimpan ini sendiri tanpamu.”
“Bukan aku tidak yakin akan niat ku untuk menikah. Hanya saja, setelah semua doa dan usaha yang aku lakukan, akhirnya aku menemukan jawaban, bahwa aku bukan untukmu. Dan Engkau bukan untukku.”
“Aku tidak ingin semakin dalam membuatmu terluka. Karena aku pun merasakan pedihnya luka ini, harus melepaskanmu. Nama yang selalu aku sebut dalam setiap do’a ku.”
Air matanya tak terbendung lagi. Dia menangis. Aku pun menagis.
***
Sudah seminggu dari hari itu, aku pun belum masuk kerja lagi. Badanku begitu lemas rasanya. Sudah seminggu ini pula aku tak membuka Hp ku. Aku juga tak mendengar kabar dari Mas Indra.
Ibu setiap pagi menyisir rambutku, mengusap air mataku, dan selalu setia memastikan aku tetap makan demi kesehatanku. Ibu terlihat tegar. Namun aku tau, hatinya lebih hancur dari pada hatiku. Ibu yang setiap saat melihatku tertawa, lalu menagis, kemudia tertawa kembali. Bagaimana perasaan hatinya? Sungguh aku tak mampu mengira.
Semalam, aku mendengar suara Bunda. Kata Ibu keluarga Mas Indra datang untuk berpamitan dan meminta maaf. Ibu pun menceritakan bagaimana hancurnya Bunda dengan kegagalan ini. Kami semua hancur, namun tak bisa saling menyalahkan.
***