Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel : Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka (102-Tamat)

20 Agustus 2016   11:16 Diperbarui: 20 Agustus 2016   12:45 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari berbahagia yang  ditunggu-tunggu itu pun tiba. Adipati Kandhadaha menyelenggarakan pesta besar-besaran perayaan perkawinan Sang Dyah Ayu  Dewi Ciptarasa dengan Raden Kamandaka  Banyakcatra. Pesta berlangsung tujuh hari tujuh malam. Semua kegiatan dipusatkan di Pendapa Kadipaten Pasirluhur.

 Aneka macam pertunjukan dan tontonan menarik lainnya  ditampilkan silih berganti untuk menghibur rakyat. Di kiri kanan sepanjang jalan  menuju  kadipaten dimeriahkan dengan umbul-umbul aneka macam warna. Di samping memasang umbul-umbul, rakyat yang tinggal di pinggir jalan, atas kesadarannya sendiri menghiasi pohon-pohon disepanjang jalan dengan meliliti batangnya menggunakan  kain berwarna biru, kuning, dan hijau sebagai lambangkan cinta, kemakmuran, dan kewibawaan.

Nyai Kertisara di Kaliwedi pun tidak ketinggalan ikut menyelenggarakan pesta menyambut perkawinan agung itu. Disepanjang jalan  menuju rumah Nyai Kertisara juga dipasang umbul-umbul. Para penyadap ikut melampiaskan kegembiraannya dengan  meliliti batang pohon kelapa yang disewa Nyai Kertisara  di sepanjang Sungai Ciserayu. Tentu saja akibatnya di sepanjang Sungai Ciserayu dari barat ke timur, tampak meriah, karena hampir setiap pohon kelapa yang ada, batangnya dihiasi dengan lilitan kain berwarna biru, kuning, dan hijau.

Usai upacara ritual perkawinan Sang Dyah Ayu  Dewi Ciptarasa – Raden Kamandaka Banyakcatra, dilanjutkan dengan upacara penobatan Raden Kamandaka Banyakcatra -Sang Dyah Ayu  Dewi Ciptarasa. Keduanya dinobatkan  sebagai Kanjeng Adipati- Kanjeng Ayu Adipati Kadipaten Pasirluhur menggantikan Adipati Kandhadaha yang menyatakan lengser dari jabatannya. Kanjeng Adipati Kandhadaha  memenuhi janjinya kepada Kanjeng Ayu Adipati.

Sesuai tradisi, sejak lengser dari jabatannya itu, biasanya penduduk akan menyebut Kanjeng Adipati Kandhadaha sebagai Kanjeng Adipati Sepuh. Demikian pula istrinya, biasanya dipanggil dengan sebutan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh atau Kanjeng Ayu Sepuh saja.

Tiap hari tamu undangan yang ingin mengucapkan selamat, menyemut di halaman Pendapa Kadipaten. Para tamu undangan  datang dari segala penjuru. Para adipati yang hadir bukan hanya dari adipati-adipati  di Lembah Ciserayu dan Citanduy saja. Tetapi mereka juga datang dari kadipaten-kadipaten di wilayah Kerajaan Pajajaran lainnya.

Sang Raja Sri Baginda Prabu Siliwangi berhalangan hadir, karena sakit. Sedang putra mahkota Banyakbelabur juga tidak bisa hadir. Dia sibuk mempersiapkan perkawinannya dengan seorang putri dari daerah Banten. Sekalipun begitu, Sang Raja Sri Baginda Siliwangi, mengirimkan kemenakannya, seorang pendeta muda alumni Padepokan Megamendung, Amenglayaran. Dia pernah tinggal bersama-sama dengan Banyakngampar saat berguru di Padepokan Megamendung, karenanya dia mendapat gelar Pendeta Muda.

“Luar biasa! Sebuah perkawinan agung! Selamat Dinda Banyakcatra! Selamat pula Dinda Kanjeng Ayu Adipati. Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia selalu. Dan cepat mendapatkan keturunan!” kata Pendeta Muda yang kepalanya nampak plontos, sekalipun rambut-rambut tipis mulai bermunculan di sana-sini. Dia, mengenakan jubah kuning, selempang pita hijau. Tentu saja tak lupa dibawanya kalung biji pendoa. Dipeluknya dengan hangat mempelai pria yang masih adik sepupunya itu. Pendeta Muda itu datang pada hari ke-enam pesta.

“Terima kasih Kanda Amenglayaran. Eh, Bapa Pendeta,”  kata Kamandaka sambil berkelakar setelah keduanya saling berpelukan.

“Ah, Dinda Banyakcatra. Masih saja suka berkelakar. Panggil nama saja seperti dulu waktu kita masih sering bertemu di Pakuan Pajajaran,” kata Pendeta Muda itu.

Dia adalah putra kakak dari Ibu  Banyakcatra dan Banyakngampar. Pendeta Muda itu  sebenarnya  sedang disiapkan oleh Sri Baginda menjadi Pendeta Kerajaan Pajajaran. Tetapi dia sendiri telah bertekad untuk pergi meninggalkan Pajajaran, ingin menjadi pengembara ke arah timur. Tindakan itu dilakukan karena Raden Amenglayaran ingin menghindari cinta seorang putri sepupunya yang cantik jelita, Putri Ayunglarang Sakean.

“Dinda Silihwarna, sini!,” Kamandaka memanggil adiknya  yang sedang berdiri agak jauh di antara tamu yang hadir. Dia sedang asyik berbincang-bincang dengan Mayangsari. Melihat lambaian tangan Kamandaka, Silihwarna dan kekasihnya datang mendekat.

“Kanda Amenglayaran, sudah kenal dengan Dinda Mayangsari? Ini calon istri Dinda Silihwarna,” Kamandaka memperkenalkan Mayangsari.

“Sudah berkenalan tadi, Kanda,” kata Mayangsari sambil tersenyum. Dia berdiri di samping Silihwarna.

“Kanda Amenglayaran, aku pernah membayangkan Adindaku  Silihwarna  pulang dari Megamendung, sudah jadi Pendeta muda seperti  Kanda. Eh, tahunya malah menyusul ke Pasirluhur,” kata Kamandaka yang selalu ingin tertawa bila ingat kejadian sebelum bertemu dengan adik kandung satu-satunya itu. Dulu Kamandaka sering membayangkan adiknya itu kepalanya plontos, mengenakan jubah kuning, sambil berjalan kemana-mana membawa kalung biji pendoa.

”Ah, aku sudah menduga ketika dulu di Padepokan Megamendung, Dinda Silihwarna bakal gagal. Dulu sering menangis sendiri kalau tengah malam. Katanya ingat…..” kata Pendeta Muda yang sempat menjadi senior Silihwarna di Megamendung.

“Pasti ingat Ibundaku!” kata Kamandaka memotong kalimat Pendeta Muda yang belum selesai diucapkan.

 Kamandaka  khawatir Pendeta Muda itu akan  menyebut nama adik tirinya, Ratna Pamekas sebagai penyebab kegagalan Silihwarna menjadi seorang brahmacharin. Apa lagi Kamandaka melihat Silihwarna mengedip-ngedipkan matanya kepadanya. Dia memberi kode agar Pendeta Muda itu tidak membicarakan masa lalunya di Megamendung di depan Mayangsari maupun Sang Dewi.

“Beruntung dia menyusul aku ke Pasirluhur, Kanda Amenglayaran,” kata Kamandaka melanjutkan. ”Kalau tidak, mana mungkin akan dapat calon istri secantik Dinda Mayangsari?.”

Mayangsari yang dipuji Kamandaka, tersenyum malu-malu. Silihwarna alias Banyakngampar tersenyum bangga.

“Ayo, Kanda, tak boleh menggoda seorang brahmacharin,” kata Sang Dewi yang berdiri di samping Kamandaka, mengingatkan suaminya.

 Tentu saja kata-kata Sang Dewi itu membuat Pendeta Muda merah wajahnya. Bisa jadi karena lingkungan kesehariannya yang selalu sepi dari pergaulan dengan wanita, mengakibatkan Pendeta Muda itu selalu canggung dan kikuk bila berhadap-hadapan dengan wanita. Apalagi dengan wanita secantik Mayangsari dan Sang Dewi.

“Ah, tidak apa-apa. Diajeng belum tahu ya?  Kanda Amenglayaran sudah sering digoda Manekadewi. Dan lulus. Buktinya sudah diwisuda jadi Pendeta muda. Dulu di Pakuan Pajajaran, ada juga seorang gadis cantik yang jatuh cinta pada Kanda Amenglayaran. Tetapi Kanda Amenglayaran menolaknya. Padahal Putri Ayunglarang Sakean, cantik lho,” kata Kamandaka kembali menggoda Pendeta Muda yang baru tiba itu. Pendeta Muda yang digoda itu tambah merah wajahnya. Tetapi dia  cepat bisa menguasai dirinya, lalu tersenyum.

“Bukannya Dinda Ayunglarang Sakean yang jatuh cinta pada Dinda Banyakcatra?” Pendeta Muda itu mulai melakukan serangan balik yang membuat Sang Dewi berdebar-debar dan langsung berkata.

“Oh, masih ada gadis yang menunggu Kanda Banyakcatra di Pajajaran?” tangan Sang Dewi langsung mencubit pinggang Kamandaka.

“Ah, Diajeng  Dewi jangan percaya. Faktanya Putri Ayunglarang Sakean mengirim tempat sirih lengkap dengan isinya, minyak wangi dari negeri China, baju-baju yang bagus, serta sebilah keris, lewat Emban Jompong Larang langsung pada Kanda Amenglayaran. Bukan kepada aku,” kata Kamandaka sambil menahan sakit di pinggangnya karena dicubit istrinya.

“Lho, Dinda Banyakcatra tahu?” tanya Raden Amenglayaran.

“Ya, jelas tahu. Bukankah Dinda Ratna Pamekas yang disuruh Kanda supaya mengembalikan barang-barang kiriman dari Putri Ayunglarang Sakean? Eh, Kanda sudah ketemu Dinda Ratna Pamekas belum ?” tanya Kamandaka. “Dinda Silihwarna, tolong panggil Dimas Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas. Katakan ada tamu dari Pakuan Pajajaran!.”

“Lho, Dinda Ratna Pamekas ada di sini?” tanya Pendeta Muda itu terkejut. Dia sama sekali tidak menduga Ratna Pamekas ikut kakak-kakak tirinya ke Pasirluhur.

 ”Aku mengira Dinda Ratna Pamekas  masih dipingit di Taman Kaputren Pakuan Pajajaran,” kata Pendeta Muda.

“Ya, dia sudah punya calon suami namanya Arya Baribin, ksatria trah Majapahit,” kata Kamandaka.

“Calon suami Dinda Ratna Pamekas  dari trah Majapahit? Wah, kebetulan sekali, Dinda,” kata Pendeta Muda itu. “Aku sebenarnya mendapat amanat dari Sri Baginda. Selain mewakili Sri Baginda menghadiri pesta perkawinan Dinda, aku seharusnya melanjutkan perjalanan ke bekas Ibu Kota Majapahit di Trowulan, kemudian akan ke Kediri dan akan dilanjutkan ke Demak.”

Pendeta Muda Amenglayaran itu pun berceritera. Dia sebenarnya mendapat tugas dari Sang Raja Sri Baginda Prabu Siliwangi. Selain ditugaskan menghadiri perkawinan agung Sang Dyah Ayu  Dewi Ciptarasa – Raden Kamandaka Banyakcatra, dia ditugaskan pula untuk melakukan muhibah sebagai duta Sang Raja mengunjungi kerajaan-kerajaan  yang baru muncul pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit, yakni Kerajaan Hindu Kediri dan Kerajaan Islam Demak. Hanya soal waktu kapan mengunjungi kerajaan-kerajaan itu, Sri Baginda menyerahkan  sepenuhnya kepada Pendeta Muda itu.

“Sultan Demak belum lama ini  mengirim surat kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi mengajak untuk memeluk agama Islam. Sultan Demak juga mengundang Sri Baginda untuk mengunjungi Demak.”

“Bagaimana sikap Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi?”

“Sikapnya positip. Sri Baginda mengajak saling toleransi, hormat menghormati, dan perlu dijajagi kemungkinan bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan Islam, mengingat di kawasan Asia Tenggara sudah bermunculan kerajaan Islam yang kuat. Misalnya, Kerajaan Islam Malaka. Sekalipun resminya Samudra Pasai  tunduk kepada Majapahit ( sejak tahun 1357 M) nyatanya Pasai masih cukup kuat sebagai salah satu pusat Islam. Kini di Jawa juga sudah muncul Kerajaan Islam Demak yang cukup kuat juga,”  kata Pendeta Muda itu.

“Sikap Dinda Banyakbelabur selaku Putra Mahkota?” tanya Kamandaka.

“Ya, itulah yang menyebabkan Sri Baginda sakit. Putra Mahkota memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Kerajaan Islam Demak. Sepertinya dia sedang menjalin komunikasi dengan Kerajaan Hindu Kediri untuk memaklumkan perang melawan Demak. Antara Sri Baginda dan Putra Mahkota terdapat perbedaan sikap yang tajam.”

“Semoga tugas Kanda Amenglayaran sebagai duta perdamaian di Pulau Jawa kelak berhasil,” kata Kamandaka.

Tiba-tiba Arya Baribin dengan Ratna Pamekas datang. Pendeta Muda itu menyambut hangat Arya Baribin. Lebih-lebih setelah dia mengetahui ksatria Majapahit itu adalah calon suami Ratna Pamekas.

“Kanda tidak mengira Dinda Ratna Pamekas ada  di Pasirluhur,” kata Pendeta Muda itu kepada Ratna Pamekas yang langsung saling berpelukan. Ratna Pamekas sudah lama tidak berjumpa dengan Amenglayaran. Dulu waktu di Pakuan Pajajaran,  Amenglayaran sering kali bertemu  Ratna Pamekas, bila kebetulan dia mampir ke Keraton Pajajaran.

“Boleh lho memeluk seorang calon brahmacharin, tidak apa-apa Dinda,” kata Kamandaka menggoda Ratna Pamekas.

“Lho, Kanda Amenglayaran  ini bukan hanya seorang calon brahmacharin muda. Dia juga diharapkan bisa jadi Pendeta Muda Kerajaan Pakuan Pajajaran  kepercayaan Ayahanda. Dulu pun sering aku peluk waktu masih di Pajajaran,” kata Ratna Pamekas tidak kalah tangkas, sambil memuji Pendeta Muda itu. Pujian itu membuat Pendeta Muda itu merasa nyaman dan senang. Lebih-lebih karena Ratna Pamekas tidak menyinggung soal gadis cantik sepupunya yang jatuh cinta kepadanya, Putri Ayunglarang Sakean.

“Dinda, kenapa Dimas Arya Baribin tidak dipeluk? Nanti cemburu lho?” kata Sang Dewi ikut-ikutan menggoda Arya Baribin. Kali ini ganti Arya Baribin yang merah wajahnya. Untunglah  Ratna Pamekas langsung mencium Arya Baribin, yang membuat Arya Baribin malu tersipu-sipu. Tetapi sesungguhnya dirinya merasa senang. Benih-benih cinta Arya Baribin kepada Ratna Pamekas pelan-pelan memang mulai tumbuh dengan subur. Bahkan Arya Baribin diam-diam menambahkan kata Kirana pada nama calon istrinya yang lincah dan cantik jelita itu. Rupanya putri Pajajaran itu juga senang dengan tambahan nama baru. Namanya kini, Dyah Ayu Ratna Kirana Pamekas.

“Dimas Arya Baribin, tadi Kanda Amenglayaran berkata kapan-kapan ingin banyak berdiskusi dengan Dimas soal agama Islam,” kata Kamandaka. “Dia memerlukan sedikit bekal pengetahuan agama Islam. Karena dia mendapat tugas dari Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi untuk mengunjungi Demak, menemui Sultan Demak yang sempat kirim surat ke Pajajaran.”

Arya Baribin menyambut gembira keinginan Pendeta Muda itu. Arya Baribin sendiri memiliki minat cukup tinggi untuk mempelajari sejumlah agama, sehingga dia mendapat julukan Pandita Putra, karena minatnya yang mendalam pada ilmu-ilmu agama. Dia juga  sudah beberapa kali melakukan diskusi dan pertemuan dengan seorang ulama agama Islam, Syekh Maghribi.

Syekh ini adalah  seorang ulama asal Pasai yang tinggal di Muarajati. Syekh Maghribi beberapa kali mengunjungi Kademangan Kejawar dalam rangka mengenalkan ajaran agama Islam ke wilayah Lembah Ciserayu. Syekh Maghribi juga mendirikan sebuah pesantren di Banjarcahyana, lereng timur Gunung Agung. Syekh Jambukarang dari Padepokan Gunung Lawet, bukan hanya teman diskusi yang berhasil ditariknya memeluk Islam, tetapi juga menjadi mertua Syekh Maghribi.

“Kanda Amenglayaran, sudah ketemu Kanjeng Rama Adipati?” tanya Kamandaka. Pendeta Muda itu menggelengkan kepalanya.

“Dinda Silihwarna, antarkan Kanda Amenglayaran untuk menemui Kanjeng Rama Adipati. Disana ada Dinda Wirapati, Dinda Sekarmenur, dan kedua adiknya, Sekarmelati dan Sekarcempaka,” kata Kamandaka.

 Silihwarna dan Raden Amenglayaran segera meninggalkan kedua mempelai itu untuk menemui Kanjeng Adipati Kandhadaha di Dalem Gede. Arya Baribin, Mayangsari, dan Ratna Pamekas, ikut-ikutan meninggalkan kedua mempelai yang masih saja menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang, sekalipun tidak sepadat hari-hari sebelumnya.

“Dinda Mayangsari, Dinda Ratna Pamekas, di sini saja. Temani  aku!” kata Sang Dewi mencegah kedua adiknya itu pergi meninggalkannya. Mayangsari dan Ratna Pamekas, tentu saja tidak berani menolak perintah Ayundanya itu.

“Dinda Silihwarna, tolong Dinda Sekarmenur dan kedua adiknya panggil ke sini, untuk menemani  aku juga,” pesan  Sang Dewi.

“Dinda Silihwarna, tidak boleh menolak perintah Kanjeng Ayu Adipati, ya!”  pesan Kamandaka seperti biasa berkata sambil berkelakar.

“Baik Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati,” jawab Silihwarna sambil tertawa. Dia tidak mau kalah untuk balik menggoda kakaknya itu. Begitu Silihwarna pergi, Sang Dewi langsung mencubit kembali  pinggang Kamandaka, sehingga Kamandaka kembali  mengaduh kesakitan.

Sang Dewi tidak suka dipanggil Kanjeng Ayu Adipati oleh adik-adiknya. Melihat Kamandaka kesakitan, Mayangsari dan Ratna Pamekas tertawa berkepanjangan.

“Kalau tidak sedang ada tamu, sudah aku balas,” kata Kamandaka. Seperti biasa, Sang Dewi langsung mengusap-usap pinggang suaminya yang baru dicubitnya itu.

“Kasihan juga Kanda Amenglayaran, seorang pendeta muda yang kesepian,” kata Kamandaka membicarakan Pendeta Muda yang masih kakak sepupu lewat ibunya itu.

“Kenapa dia menolak cinta putri saudaranya yang cantik?” tanya Sang Dewi.

“Aku sendiri tidak pernah tahu apa sebab Kanda Amenglayaran menolak cinta adik sepupunya. Padahal adik sepupu boleh dinikah kakak sepupu. Rupanya Kanda Amenglayaran lebih suka memilih ingin jadi seorang brahmacharin. Konon kalimat penolakan kepada adik sepupunya itu sangat menyakitkan hati.”

“Bagaimana bunyi kalimatnya?” tanya Sang Dewi.

“Aku pun diberitahu Dinda Ratna Pamekas. Dinda Ratna, bagaimana bunyi surat  yang berujung pada kematian Ayunda Putri Ayunglarang Sakean?”  Kamandaka berpaling pada Ratna Pamekas.

“Kanda Amenglayaran menulis, bahwa cita-citanya  dalam hidup ini adalah dia  ingin berkelana ke Jawa Timur untuk mencari tempat dimana dia akan dikuburkan, untuk mencari laut tempat dimana  dia bisa hanyut, untuk mencari suatu tempat yang bisa menjemput kematiannya, suatu tempat untuk merebahkan tubuhnya selama-lamanya.” kata Ratna Pamekas yang dulu dititipi surat oleh Amenglayaran.

“Kasihan benar Putri Ayunglarang Sakean,”  kata Sang Dewi.

“Lebih kasihan lagi, karena setelah menerima surat penolakan cinta,  Putri Ayunglarang Sakean, paginya langsung bunuh diri dengan menerjunkan dirinya ke Sungai Ciliwung,” kata Kamandaka mengakhiri kisah nasib seorang putri malang yang masih saudaranya juga. Kamandaka, Sang Dewi, Mayang Sari dan Ratna Pamekas, langsung terdiam beberapa saat.

“Sesungguhnya, kalau Kanda Amenglayaran boleh punya istri seperti seorang pendeta Islam, Aku akan carikan istri,” kata Kamandaka setelah semuanya  lama terdiam.

 “Mana ada istilah pendeta dalam agama Islam? Bukankah  kata Dimas Arya Baribin, dalam agama Islam tidak dikenal istilah pendeta. Yang ada adalah ulama, yang berarti orang yang paham agama Islam. Dia kadang-kadang mempunyai gelar Syekh, Ustad, Sunan, atau Kiyai,” kata Sang Dewi.

“Wah, Aku malah sudah lupa,” kata Kamandaka.

“Aku juga dengar dari Dimas Arya Baribin,” kata Sang Dewi, ”Praktek peribadatan dalam agama Islam mudah, murah, tidak memberatkan, dan  bisa dilaksanakan sendiri secara mandiri, tidak mengenal kasta, karena semua manusia di hadapan Tuhan dianggap sama. Dan mereka tidak mengenal dewa-dewa untuk disembah. Mereka hanya menyembah dan memohon pertolongan kepada satu-satunya tuhan mereka, yakni Tuhan  Yang Maha Kuasa, yang mereka sebut Allah.”

“Aku pun ingin tahu lebih banyak soal agama yang baru itu, Diajeng,” kata Kamandaka. Perbincangan terhenti saat ada rombongan tamu yang datang untuk menyampaikan ucapan selamat kepada ke dua mempelai yang berbahagia itu.

Seluruh penduduk Kadipaten Pasirluhur menyambut penobatan Raden Kamandaka Banyakcatra-Sang Dyah Ayu  Dewi Ciptarasa itu sebagai suatu pergantian kepemimpinan Kadipaten Pasirluhur yang menggembirakan. Adipati yang baru itu dengan istrinya  dianggap akan mampu mewujudkan masa depan yang lebih cerah, aman,  sejahtera,  makmur dan lebih berkelimpahan. Apalagi karena penduduk tahu, Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati yang baru dinobatkan itu, merupakan pasangan serasi, ideal, dan memiliki sejumlah keunggulan yang jarang ada bandingannya.

Apalagi pada saat upacara perkawinan dan penobatan kedua pasangan yang tampan dan cantik itu, bintang Kejora tiap sore menjelang matahari terbenam sudah muncul. Cahayanya yang indah tampak kemilau di atas kaki langit sebelah barat daya.

“Bintang Kejora melambangkan kemakmuran, kejayaan, dan kehidupan yang berkelimpahan bagi Kadipaten Pasirluhur di waktu yang akan datang, Kanjeng Adipati,” kata Ki Patih pada saat berbincang-bincang dengan Kanjeng Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati di halaman Pendapa Kadipaten.

Mereka berdiri  sambil menatap bintang paling cemerlang yang ada di atas kaki langit barat daya itu. Para tamu yang hadir sudah agak berkurang, sebab sudah hari ke enam.

“Mangsa apakah sekarang, Ki Patih?” tanya Kanjeng Ayu Adipati. Dia  tahu Ki Patih menguasai ilmu perbintangan yang memadai.

“Sekarang mangsa Kaso, Kanjeng Ayu. Pesta dan upacara perkawinan dan penobatan Ananda Raden Kamandaka Banyak Catra dan Sang Dyah Ayu  Dewi Ciptarasa, terjadi pada waktu yang tepat,” kata Ki Patih. Dia ikut bangga karena anak angkatnya itu akhirnya berhasil menyunting putri Kanjeng Adipati. Dengan demikian Ki Patih merasa telah menjadi besan Kanjeng Adipati pula.

“Kedua mempelai yang sedang berbahagia itu, pada mangsa Kaso ini berada dalam lindungan Batara Antaboga dan  Dewi Nagagini, Kanjeng Ayu,”  kata Ki Patih.mulai mengeluarkan Ilmu firasat dan watak yang dikuasainya.

“Watak Ananda Kamandaka memang seperti Batara Antaboga,” kata Ki Patih melanjutkan. “Cita-citanya tinggi, kadang-kadang muluk-muluk, gemar pada proyek-proyek mercusuar, tetapi cenderung boros, tidak bisa memegang uang, mudah jatuh hati dan mudah menaruh simpati kepada orang yang dianggapnya menderita. Sementara itu, Ananda Sang Dyah Ayu  Dewi, punya watak sebaliknya yang bisa menutupi kelemahan suaminya.”

“Sang Dewi itu, cerdas, tegas, teliti, pandai memegang harta benda dan uang, tidak boros, tetapi juga gemar menolong seseorang yang memang pada tempatnya untuk ditolong. Sang Dewi paling benci pada orang yang tidak jujur, suka ingkar janji, pemalas dan orang yang ingin mencapai hasil, tetapi dengan cara-cara yang mudah, atau malah dengan cara-cara yang curang. Itulah watak Dewi Nagagini. Itu sebabnya  Dewi Nagagini sangat mengagumi Bima, karena watak Bima  cenderung jujur, lurus, ulet, dan pejuang  pantang menyerah. Disamping itu, mangsa Kaso dilukiskan dengan kata-kata simbolis, ’Sotya Murca Ing Embanan’. Artinya permata lepas dari cincin pengikatnya. Alam semesta melepaskan atau menurunkan kebahagiaan dan kelimpahan kepada umat manusia. Pertanda dan alamat baik, Kanjeng Ayu.” kata Ki Patih pula.

“Bagaimana menurut Ki Patih kesetiaan mempelai pria kepada mempelai putri?” tanya Kanjeng Ayu Adipati masih penasaran.

“Kesetiaannya tak perlu diragukan. Tak mungkin Ananda  Kamandaka berpaling kepada wanita lain. Bagi Ananda Kamandaka, Ananda Dewi adalah segalanya. Istri, kekasih, sekaligus sahabat dan bayangan Ibunya yang tidak mungkin ada yang bisa menggantikannya. Ananda Dewi nampaknya juga pandai mengendalikan suaminya, sehingga kecil kemungkinan Ananda Kamandaka  bisa selingkuh mencari wanita idaman lain. Ki Patih yakin, Ananda Kamandaka tak akan berani selingkuh, di samping karena cintanya yang tulus kepada Ananda Sang Ayu  Dewi,” jawab Ki Patih mantap, membuat Kanjeng Ayu Adipati Sepuh tersenyum karena sangat puas, gembira, dan bahagia.

Dia percaya sepenuhnya apa yang dikatakan Ki Patih yang ahli ilmu firasat dan ahli membaca watak manusia itu. Kanjeng Adipati Sepuh dan Kanjeng Ayu Adipati Sepuh, tidak perlu cemas terhadap masa depan Kadipaten Pasirluhur, setelah keduanya lengser dengan rela, ikhlas, dan penuh suka cita. Alih generasi dan proses pergantian kepemimpinan Kadipaten Pasirluhur itu berjalan aman, lancar, dan alamiyah.

Kanjeng Ayu Adipati  Sepuh memang selalu mengingatkan suaminya, bahwa setiap orang yang berjalan menuju puncak karir, langkah berikutnya yang harus dilalui tidak ada jalan  lain kecuali melangkah turun. Melepaskan jabatan yang pernah digenggamnya. Dan menyerahkannya kepada generasi baru penggantinya.

“Aku selalu ingat nasihatmu, Diajeng,” kata Kanjeng Adipati Kandhadaha saat akan melepaskan jabatan sebagai Adipati.

“Nasihat? Aku malah sudah lupa, Kanda Adipati”

“Bukankah Diajeng pernah menceriterakan Kisah Perjalanan Sri Kresna dan Sadewa, setelah Perang Bharatayudha lama selesai?” Kanjeng Ayu Adipati Sepuh lalu ingat ceritera itu. 

Alkisah, Sadewa mengikuti Sri Kresna yang Kerajaannya hancur diamuk badai dan ditenggelamkan  ke dasar samudra. Dengan sedih Sri Kresna melangkah pergi diikuti Sadewa yang segera bertanya, ”Kanda Prabu, hendak kemanakah gerangan Kanda Prabu hendak pergi?”

“O, Adikku Sadewa. Hidup di dunia ini  sebenarnya adalah  sebuah perjalanan dan  pendakian. Apakah yang harus dilakukan oleh seseorang yang telah jauh melangkah  dan mendaki tinggi sampai di puncak pendakiannya?”

Sadewa menjawab, ” Duh Kanda Sri Batara Kresna.  Orang harus terus berjalan sebagaimana hidup ini mengharuskannya. Oleh sebab itu sekalipun seseorang dalam perjalannya sudah mencapai puncak pendakian. Tetapi  oleh karena dia harus terus berjalan, maka tidak ada pilihan lain. Baginya hanya ada satu-satunya  jalan  yang  harus dipilihnya, yaitu melangkah turun!”

Kanjeng Ayu Adipati Sepuh tersenyum ketika ingat ceritera itu lalu berkata kepada suaminya, ”Ya, Aku ingat ceritera itu, Kanda Adipati.”

Adipati Kandhadaha lalu memeluk istrinya sambil berbisik dengan kata-kata lembut tapi mantap: ”Diajeng, dampingi  aku selalu  agar perjalanan turun kita dari puncak pendakian senantiasa berlangsung selamat, serta salam  dan bahagia”

Kanjeng Ayu Adipati Sepuh menganggukan kepalanya dengan mata berkaca-kaca. Dia bangga karena Kanjeng Adipati, rela dan ikhlas melepaskan tahta Kadipaten Pasirluhur kepada penggantinya, Raden Kamandaka  Banyakcatra – Sang Dyah Ayu  Dewi Ciptarasa.[] Tamat Episode-1.

 

 16-08-2015 M.

Catatan Penulis: Novel Kisah Cinta Dewi Ciptarasa - Raden Kamandaka, Episode-1, Episode Melati Kadipaten Pasirluhur, telah tamat. Terima kasih kepada pembaca yang telah mengikutinya. Nantikan Episode ke-2 : Pusaka Kembang Wijayakusuma. Episode 1 telah diterbitkan menjadi dua buku oleh Penerbit Jentera Pustaka. Buku -1 dapat dipesan langsung kepada Penerbit Jentera Pustaka dengan alamat e-mail: jentera.pustaka@gmail.com. Atau pesan kepada penulis: anwar.hadja@yahoo.com. Bagus untuk koleksi perpustakaan pribadi atau cindera mata pernikahan saudara dan sahabat.Thanks. Spesifikasi buku dan harga bisa diklik blog dibawah ini

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun