Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perempuan yang Takut Keramaian

21 Maret 2019   15:19 Diperbarui: 23 Maret 2019   11:51 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. Keramaian ibukota (sumber: pixabay)

"Mereka tadi membicarakan Maryam, Mas?" tanya Maryam ke suaminya.

"Tidak usah dipikirkan," balas Adam kemudian mulai menyalakan mobil dan menjalankannya.

***

Sudah sekian tahun, Maryam lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Dia masih ramah jika berpapasan atau bertemu tetangga, hanya saja ia tidak menyangka kalau rasa pusing dan mualnya masih tetap selalu dirasa. Bahkan meski waktu berlalu sudah cukup lama.

Maryam kini memiliki dua orang anak. Putra putri yang kini telah tumbuh dewasa. Usaha Adam semakin lama semakin bertumbuh pesat. Mereka pun kini dikenal sebagai orang paling kaya di kampung mereka. Semua berkat kegigihan Adam dalam berusaha. Selain gigih, Adam juga dikenal sebagai bos yang baik terhadap karyawannya. Katanya, dia sering memberi bonus kepada mereka.

Haikal, anak pertama mereka menempuh pendidikan di Madinah. Dia seorang anak kebanggaan, semasa kecilnya di usia yang masih 12 tahun dia mampu menghafal Al Quran 30 Juz. Semua berkat bimbingan sang ibu yang begitu telaten melatihnya.

Lalu Fatima, adik Haikal dia sudah dipinang oleh seorang anak dari pemilik pondok pesantren terkenal di Jawa.

Meski Maryam dikenal sebagai wanita yang sombong oleh teman-teman di sekelilingnya, tapi sebenarnya Maryam adalah seorang ibu yang sukses mendidik anak-anaknya menjadi manusia hebat.

Dia hanya takut keramaian. Bukan, lebih tepatnya, dia seperti memiliki phobia terhadap sesuatu yang berkaitan dengan gunjingan. Setiap mendengar seseorang membicarakan hal-hal buruk, pusing dan mualnya akan kambuh. Itu terjadi berpuluh-puluh tahun, sejak ia hamil anaknya yang pertama. Ya, bukan sebab tengah mengidam alasan utamanya. Tapi entah.

"Umi, Abi." Haikal mencium tangan ibu dan ayahnya. Dia baru pulang dari Madinah. Maryam mendekapnya erat. Menciumi kepala Haikal berkali-kali. Wajar, sebab sudah lama sekali Haikal tak pulang.

"Anakmu sudah pulang, Maryam?" tanya Mbak Minah yang kebetulan lewat di depan rumahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun