Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Becak

10 April 2018   07:15 Diperbarui: 22 April 2018   12:45 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com/Andreas Lukas Altobeli

CERPEN

Triman berdiri di depan cermin dan mengambil sisir yang tergeletak di pinggiran jendela. Sudah pukul delapan ketika lelaki itu mau narik. Barusan dia membantu mengangkut batu bata sumbangan pak Kordes untuk masjid.

Lima kali dia memanggul batu batu dari rumah Pak Kordes ke masjid. Lumayan dapat rokok sebungkus. Dirabanya rokok itu, sudah rapi di kantong kirinya.

"Pak, Pak, mana duit bulanan dari Bu Jarwo?" tanya istrinya.

"Belum dikasih, Bu."

"Sudah tanggal delapan belum dikasih?"

"Belum Bu."

"Aim mesti bayar seragam yang belum lunas, delapan puluh ribu lagi, Pak."

"Ya sabar, Bu, nanti juga dibayar."

"Kalau bukan tetangga, pasti sudah aku mintain ke rumahnya."

"Jangan Bu, nggak enak, kalau ada apa-apa juga kita minta tolong pada bu Jarwo kan?"

"Iyaa sih," kata istrinya menahan kesal.

"Ya udah aku jalan dulu."

Triman mengayuh becaknya perlahan. Udara mulai hangat. Menyentuh tangan-tangannya yang kokoh. Wajahnya menggambarkan hati yang pasrah. Pasrah, becak sudah tidak mendapatkan tempat lagi sebagai alat transportasi yang efektif. Lebih sebagai alat hiburan anak-anak.

Setiap sore, di pangkalan becak komplek perumnas itu ada lima becak menunggu penumpang. Untung ada seorang perempuan dengan anak yang berusia dua tahun naik hanya untuk berkeliling perumahan.

Bila perempuan itu datang, antar sesama penarik becak sudah sepakatan untuk giliran. Kalau hari kemarin jatahnya Triman, hari ini Bejo, lalu besoknya Ahmad, besoknya lagi Dulatif, begitu seterusnya. Hanya perempuan itu yang setia memakai becak mereka, setiap sore, setiap hari.

Penumpang biasa, tidak bisa diharapkan, kadang seharian menunggu penumpang tanpa hasil. Untung ada ibu muda itu, itupun harus bergiliran.

Dua bulan lalu Triman masih punya penumpang langganan. Bu Jarwo adalah satu-satunya penumpang yang menjadi tumpuan periuk Triman. Perempuan itu pemilik Soto Ayam Bu Jarwo. Dia menyewa becak untuk membawa soto dari rumahnya ke warung soto di ruko. Sekitar 2 kilometer dari rumahnya.

Becak Triman pun penuh, dengan segala tetek bengek warung soto, termos nasi, panci soto dan piring, sendok, stoples krupuk dan barang-barang keperluan warung. Lumayan, dia diongkosi 300 ribu tiap bulannya.

Lalu sebulan yang lalu, Bu Jarwo menyetop berlangganan. Yaitu setelah membeli mobil open kap. Triman tidak memberitahu istrinya kalau sudah sebulan tidak mengangkut soto.

"Istriku belum tahu aku sudah tak mengantar soto bu Jarwo."

"Kenapa tidak bilang?" tanya Bejo pagi itu sambil meminum kopinya.

"Aku enggak tahu caranya, dia pasti kecewa, tadi pagi saja sudah nanyain uang langganan."

"Man, Man, piye sih, lebih baik terus terang daripada istrimu ngarep terus," kata Dulatif.

"Kamu benar Dul, nanti aku terus terang, tapi bagaimana caranya aku bisa dapat uang buat bulan ini, tiga ratus ribu duit darimana?"

Dulatif dan Bejo tidak menjawab. Tiga ratus ribu bukan uang yang sedikit. Sudah sejam ngetem aja belum ada satu penumpang pun buat mereka. Alih-alih nunggu perempuan punya anak itu sore nanti, untuk memutari kompleks.

"Pinjamin uang dong," kata Triman pada dua temannya.

"Aku enggak ada duit segitu," jawab Dulatif.

"Ya samalah," kata Bejo.

Malam itu Triman pulang dengan perasaan gundah. Ada 20 ribu di sakunya, hasil menjual rokok pemberian pak Kordes tadi pagi. Penumpang satu-satunya adalah nenek tua yang minta diantar ke puskesmas. Bayarnya besok, akan dibayar sama anaknya.

Istrinya sudah menunggu sambil menonton televisi byar pet di ruang tamu. Uang yang ada di sakunya, diberikan pada istrinya.

"Dari bu Jarwo mana?"

"Ini saja dulu, buat belanja besok."

"Aduh Pak aku enggak enak sama bu guru Aim, dia sudah nalangin dulu uang seragamnya."

"Carilah alasan," usul Triman.

Istrinya hanya menghembuskan nafas kesal. Triman keluar dan duduk di teras. Masih ada sebatang rokok di sakunya. Hanya sebatang, disulutnya dan dihisapnya pelan-pelan.

*

"Orang tenggelam, orang tenggelam," seorang pelari berteriak sambil menunjuk ke sebuah sungai berarus tenang.

Jalanan di sepanjang pinggiran sungai sudah ramai, karena itu adalah ke kota kabupaten. Orang menghentikan motor maupun mobilnya, dan melihat ke sungai berair kecoklatan itu. Lalu seorang lelaki berbadan kekar dengan seragam loreng membuka sepatu boot dan bergegas mencebur ke sungai.

Para lelaki berduyun turun kebantaran yang rendah. Alang-alang begitu subur menutup dataran yang tak pernah dijamah orang itu.

Dengan sigap tentara itu membawa lelaki yang kecebur itu dan para beberapa laki-laki membantunya menaikkan tubuhnya orang tenggelam itu ke daratan.

"Masih hidup," ujar tentara itu ngos-ngosan.

Seorang lelaki memencet dada lelaki itu beberapa kali, lalu dia muntah mengeluarkan air dari perutnya.

Dengan dihantarkan sebuah angkutan kota, lelaki itu dibawa ke puskesmas. Sekejap saja tersiar kabar ada tukang becak kecebur sungai.

Triman membuka mata dan melihat sekeliling. Dinding bercat putih kusam, beberapa wajah perawat berdiri di samping bed tidurnya. Ada jarum di punggung kakinya yang disambungkan ke botol infus.

Di sisi yang lain, seorang perepuan menangis. Dan sebelah lagi beberapa lelaki tukang becak mengelus-elus kakinya. Bejo, Ahmad dan Dulatif memandangnya cemas, mereka adalah rekan sesama penarik becak.

Triman masih ingat pagi itu, dia berangkat dengan perut kosong. Bahkan tidak ada secangkir kopi atau pun segelas air hangat yang bisa dia minum karena gas habis.

Lelaki itu pun berangkat mengayuh becaknya perlahan. Daripada di rumah, pusing melihat wajah istri yang cemberut, dia memilih untuk pergi kerja. Lalu jalan mulai mendaki, menuju sebuah jembatan. Ini bukan jalur menuju perumahan tempat dia ngetem.

Di ujung jembatan, Triman turun dari becaknya dan berjalan ke tengah, lalu berdiri di samping pagar jembatan. Pagi masih sepi, dan yang riuh hanya suara dercingan kecipak riak sungai.

Sesekali dia menoleh ke becak tuanya yang menemaninya beberapa tahun ini untuk mencari nafkah. Becak itu sekarang hanya semacam rongsokan dan tidak begitu menghasilkan uang.

Bahkan untuk membayar sisa seragam anaknya saja dia tidak mampu. Triman memandangi sungai tenang itu. Konon sangat dalam.  Dia mengusap matanya, namun sungai itu seakan memanggilnya.

Byur...

Triman melompat ke sungai.

*

"Kenapa Pakne, kok sampai kejadian begini," kata istrinya.

Semua orang juga tahu kalau itu bunuh diri, karena becaknya masih tegak di ujung jembatan. Bodohnya Triman tidak membawa sekalian becak itu nyemplung ke sungai.

"Iyaa Man, kalau ada masalah mbok bilang kami," kata Bejo.

"Aku ini pusing, darimana dapat uang untuk membayar seragam Aim. Apalagi sekarang Bu Jarwo sudah menyetop langganan becak buat ngangkut soto," kata Triman menahan tangis.

"Nyetop langganan?" kata istrinya.

"Iyaa, dari bulan kemarin, jadi bulan ini sudah tidak kasih uang langganan."

"Kenapa tidak bilang?" ujar istrinya.

"Aku tidak tahu mesti bilang gimana, lha kamu terus menerus minta uang buat seragam," kata Triman.

"Ya Allah, Pak, kalau sampean terus terang kan aku juga bisa terima."

"Aku sudah cari utangan ke teman-teman buat mbayar seragam itu, tapi hasilnya nihil, narik becak jaman sekarang tidak laku, Bu, orang sudah punya motor, banyak tukang ojek."

Istrinya hanya tersedu. Bejo mengusap-usap kaki sahabatnya seakan mengiyakan semua cerita itu.

"Tapi bunuh diri itu sirik, Pak, dosa," kata istrinya lagi.

"Aku enggak bunuh diri, aku hanya mencebur  ke sungai."

"Itu sama saja, mbul," sergah Bejo.

"Ya beda, aku belum ingin mati."

"Tapi kalau sudah kejadian begini, kan kita juga kan yang repot," tambah Ahmad.

"Untung selamat, kalau bablas?" komentar Bejo kesal.

Triman hanya nyengir. Masak hanya pengen terus terang dan bicara jujur sama istri saja harus pakai nyebur ke sungai .

Jakarta, 9 April 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun