Triman membuka mata dan melihat sekeliling. Dinding bercat putih kusam, beberapa wajah perawat berdiri di samping bed tidurnya. Ada jarum di punggung kakinya yang disambungkan ke botol infus.
Di sisi yang lain, seorang perepuan menangis. Dan sebelah lagi beberapa lelaki tukang becak mengelus-elus kakinya. Bejo, Ahmad dan Dulatif memandangnya cemas, mereka adalah rekan sesama penarik becak.
Triman masih ingat pagi itu, dia berangkat dengan perut kosong. Bahkan tidak ada secangkir kopi atau pun segelas air hangat yang bisa dia minum karena gas habis.
Lelaki itu pun berangkat mengayuh becaknya perlahan. Daripada di rumah, pusing melihat wajah istri yang cemberut, dia memilih untuk pergi kerja. Lalu jalan mulai mendaki, menuju sebuah jembatan. Ini bukan jalur menuju perumahan tempat dia ngetem.
Di ujung jembatan, Triman turun dari becaknya dan berjalan ke tengah, lalu berdiri di samping pagar jembatan. Pagi masih sepi, dan yang riuh hanya suara dercingan kecipak riak sungai.
Sesekali dia menoleh ke becak tuanya yang menemaninya beberapa tahun ini untuk mencari nafkah. Becak itu sekarang hanya semacam rongsokan dan tidak begitu menghasilkan uang.
Bahkan untuk membayar sisa seragam anaknya saja dia tidak mampu. Triman memandangi sungai tenang itu. Konon sangat dalam. Â Dia mengusap matanya, namun sungai itu seakan memanggilnya.
Byur...
Triman melompat ke sungai.
*
"Kenapa Pakne, kok sampai kejadian begini," kata istrinya.