"Iyaa sih," kata istrinya menahan kesal.
"Ya udah aku jalan dulu."
Triman mengayuh becaknya perlahan. Udara mulai hangat. Menyentuh tangan-tangannya yang kokoh. Wajahnya menggambarkan hati yang pasrah. Pasrah, becak sudah tidak mendapatkan tempat lagi sebagai alat transportasi yang efektif. Lebih sebagai alat hiburan anak-anak.
Setiap sore, di pangkalan becak komplek perumnas itu ada lima becak menunggu penumpang. Untung ada seorang perempuan dengan anak yang berusia dua tahun naik hanya untuk berkeliling perumahan.
Bila perempuan itu datang, antar sesama penarik becak sudah sepakatan untuk giliran. Kalau hari kemarin jatahnya Triman, hari ini Bejo, lalu besoknya Ahmad, besoknya lagi Dulatif, begitu seterusnya. Hanya perempuan itu yang setia memakai becak mereka, setiap sore, setiap hari.
Penumpang biasa, tidak bisa diharapkan, kadang seharian menunggu penumpang tanpa hasil. Untung ada ibu muda itu, itupun harus bergiliran.
Dua bulan lalu Triman masih punya penumpang langganan. Bu Jarwo adalah satu-satunya penumpang yang menjadi tumpuan periuk Triman. Perempuan itu pemilik Soto Ayam Bu Jarwo. Dia menyewa becak untuk membawa soto dari rumahnya ke warung soto di ruko. Sekitar 2 kilometer dari rumahnya.
Becak Triman pun penuh, dengan segala tetek bengek warung soto, termos nasi, panci soto dan piring, sendok, stoples krupuk dan barang-barang keperluan warung. Lumayan, dia diongkosi 300 ribu tiap bulannya.
Lalu sebulan yang lalu, Bu Jarwo menyetop berlangganan. Yaitu setelah membeli mobil open kap. Triman tidak memberitahu istrinya kalau sudah sebulan tidak mengangkut soto.
"Istriku belum tahu aku sudah tak mengantar soto bu Jarwo."
"Kenapa tidak bilang?" tanya Bejo pagi itu sambil meminum kopinya.