"Nia, saat-saat terakhir Beliau, hanya kamu yang dirindukannya, bukan aku," kataku.
Wanita cantik dengan gaun hitam itu memandangku. Lalu dia membetulkan kerudung hitam transparannya yang melorot di pundaknya. Ada ekspresi yang tak aku pahami.
"Tak perlu membohongi aku, bertahun-tahun Mama menghabiskan hidup, pikiran dan memberikan hatinya untuk murid-muridnya. Bahkan wajah dan namaku saja mungkin sudah tak ingat," sergahnya dengan keras.
"Itu betul, Nia, aku tidak bohong, Beliau mencarimu, Beliau minta kamu memaafkannya, karena telah mengabaikanmu, aku dengar sendiri sebelum saat-saat terakhirnya..."
Perempuan muda itu, mendengus kesal.
"Selama ini yang selalu dibicarakannya hanya kamu, Suzan, kamu adalah perempuan hebat, dan aku harus mencontoh kehidupanmu."
"Oh, itu hanya karena terbatasnya pergaulannya. Miss tidak punya banyak teman, jadi juga tidak punya banyak cerita, sebagai guru, sangat wajar kalau Miss hanya berbicara seputar sekolah dan murid-muridnya."
"Tetapi itu terjadi bertahun-tahun, Suzan, dan dia tak pernah peduli dengan perasaanku, dengan cemburuku."
"Baik aku mengerti perasaanmu, Nia, aku bersama beliau pada saat-saat terakhirnya. Waktu itu sempat beliau minta agar kamu kembali kepadanya, hidup bersama denganya di rumah lama di Jakarta, itu saja pesan beliau."
"Sekali lagi terima kasih, Suzan."
"Iya, sama-sama."