"Setelah kehilangan suamiku, sekarang aku kehilangan Lavenia," katanya.
"Miss, apa yang terjadi?" tanyaku.
Tangan tua yang berkerut itu mengambil tisu yang aku sodorkan. Lalu aku biarkan dia menangis sepuasnya. Dan aku menunggui dengan sabar sambil sesekali aku pegang pundaknya yang kurus itu.
"Apa yang terjadi, Miss?" tanyaku lagi.
"Lavenia akan memasukkanku ke panti jompo," ujarnya sedih.
"Oh, apakah itu sudah keputusan final?"
"Baginya, aku ini hanya seperti perempuan tua yang tak berguna yang merepotkan. Aku melakukan semua pekerjaanku dengan sepenuh hatiku menjadi guru. Mendidik murid-muridku agar menjadi manusia yang berbudi dan utama, tetapi aku tidak memiliki keluarga yang hebat, keluargaku kacau balau, bahkan saat ini aku sedang bersiap untuk mati sendirian."
Aku terus menyimak. Perempuan itu semakin terhanyut dalam kesedihannya. Aku melihatnya terlihat kesepian dan merasa tak berguna. Setelah puas menangis, aku mengantarkannya pulang dan memintanya untuk bersabar. Aku juga berkata bahwa Miss harus banyak berdoa, agar Nia membatalkan keinginannya memasukkan ibunya ke panti jompo.
Kehilangan anak memang berbeda dengan kehilangan suami. Bahkan ketika bercerai. Miss Siska terlihat lebih tegar dan percaya diri. Waktu bercerita tentang perceraiannya, Miss menganggap bahwa semua jalan yang ditempuhnya adalah pilihan hidupnya, panggilan jiwanya, dan tak mungkin dia melepaskan itu.
Aku bahkan tak menduga, bahwa Miss datang ke rumahku sore itu hanya untuk menceritakan perceraiannya.
"Dulu Ridwan memang melarangku menjadi guru, alasannya, Lavenia menjadi tak terurus," kata Miss.