"Tidak, Ma, jangan banyak pikiran, pikirkan kesehatan Mama," jawabku.
"Iya, Nak, kalau Mama sembuh, kita akan tinggal bersama lagi ya?"
Aku kembali gelagapan. Tetapi karena terlanjur membohonginya, aku pun dengan niat baik mencoba menenangkan pikirannya. Pasti ada sesuatu yang ingin dia selesaikan dengan puterinya. Aku raih tangannya yang keriput. Tangan itu dingin.
"Tentu, Ma, aku akan tinggal dengan Mama, sekarang istirahat, jangan banyak pikiran, Ma," ujarku.
"Maafkan Mama selama itu tak peduli padamu, bahkan Mama lebih peduli dengan murid-murid Mama," air mata meleleh di pipi perempuan itu.
"Iya, Ma, Nia sudah maafkan," jawabku.
Tiba-tiba tangan yang aku genggam itu bergerak tak beraturan. Seperti layaknya orang yang sedang kejang-kejang. Aku menggenggamnya makin erat. Perempuan itu tubuhnya bergerak-gerak seperti ada yang menariknya dari atas. Wajahnya kosong menengadah. Nafasnya satu-satu dan sudah hilang kesadaran.
Aku memanggil suster. Dua orang suster masuk ke kamar. Lalau membantuku memegang Miss Siska. Mantan guru TK itu terus mengejang. Aku berpandangan dengan suster setengah baya itu. Dia tampak begitu tenang. Mungkin karena sudah terbiasa menghadapi situasi semacam ini. Sedangkan aku, jadi ingat kisah-kisah orang yang sakratul maut. Keringat dingin mengucur di tubuhku. Dan air mata tak bisa aku bendung, meluncur dari mataku.
Dari gerakan-gerakan kejang-kejang yang simultan dan terus menerus, kemudian berakhir dengan hentakan kejang yang luar biasa. Aku melihat wajah tanpa daya. Matanya terbuka, mulutnya tertutup seperti menahan sakit yang teramat sangat. Setelah kejang dengan hentakan yang paling kuat, tubuh kurus kering itu lunglai. Lemas. Lalu diam.
Perawat meraba denyut nadinya dengan meraba pergelangan tangannya. Lalu menatap mataku dengan sedih.
"Sudah tiada," ujarnya.