"Kapan kamu menikah, Nia, ingat usia." katanya lagi.
Hatiku hancur berantakan. Pikiranku kacau tak terkirakan. Ada dilema mengembang di otakku. Apa yang harus kukatakan. Mengatakan yang sebenarnya bahwa aku Suzan, bukan Nia. Atau aku berpura-pura menjadi Nia untuk menyenangkan hatinya. Karena aku tahu tak mungkin menghadirkan Nia di sini, setidaknya untuk saat ini.
Aku orang yang paling takut menghadapai seseorang yang sakit dalam usia tua begini. Dan dari wajah perempuan itu, aku melihat sudah begitu payah menghadapi beban hidupnya selama ini. Perempuan yang kesepian diantara keramahan dan keceriaan hidupnya. Â Dia mengurus anak banyak orang, tetapi anaknya sendiri tidak terurus. Itulah kelalaiannya, hingga puterinya pun mengabaikannya.
"Nia'" panggil perempuan itu.
Hatiku berdebaran dalam dilema. Dia menatapku dengan pandangan aneh. Bukan seperti pandangan orang kebanyakan. Bibirnya yang kusut tersenyum kecil.
"Apakah kamu mencintai Mama, Nak?"
"Ak... Ak..." aku tergagap, " tentu saja, Ma, Nia sangat mencintai Mama," ujarku membohonginya.
Mendengar jawabanku, perempuan itu tersenyum simpul. Senyuman puas dan bahagia.
"Mama juga sangat mencintaimu, Nak," lanjutnya.
"Tentu, Ma, Nia tahu itu," ucapku perlahan.
"Masihkah marah kepadaku, Nak?"