Mohon tunggu...
Andri Lesmana
Andri Lesmana Mohon Tunggu... Lainnya - Maju atau tidak sama sekali

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah dan Keringat

21 Februari 2021   17:54 Diperbarui: 24 Februari 2021   07:48 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Awan kelabu menutupi negeri yang kaya raya ini. Negeri yang ratusan tahun dibayang-bayangi oleh bangsa asing. Negeri yang rakyatnya diinjak-injak harga dirinya oleh bangsa lain. Negeri ini seakan tak mampu bertahan dari serangan-serangan yang merusak cita-cita bangsa. Cita-cita yang luhur dari nenek moyang kami. Harus rela direnggut oleh keserakahan bangsa asing.

         Keceriaan wajah yang terpancar dari para rakyat perlahan mulai memudar setelah mereka tahu bahwa mereka sedang dikendalikan seperti boneka kayu oleh bangsa lain. Dengan tali-tali yang mengikat tangan dan kakinya, boneka kayu itu dapat dengan mudah di gerakan sesuka hati mereka. Rasa kemanusiaan yang hilang dari tatanan dunia menandakan awal kehancuran bagi bumi yang di huni oleh manusia di dalamnya.

         Tahun 1643 seluruh wilayah negeri ini diduduki oleh bangsa asing. Monopoli ekonomi menjerat rakyat pribumi yang tak berdaya. Semuanya mati dan harus tunduk pada penjajah yang biadab itu. Sejalan dengan waktu yang berjalan cepat maka semakin banyak pula rakyat pribumi yang tertindas.

         Desa Mangun Rejo yang para penduduknya bergantung pada hasil alam, harus mampu bertahan dari pajak yang seperti mencekik leher kambing dan diikat di sebuah batang pohon. Maka dengan itu jelas para penduduk tak bisa berkutik dengan keadaan. Ditambah para tentara kolonial yang tak segan menembak mati rakyat yang tidak mau menuruti perintah kolonial.

         Di hari yang sangat terik Sutan berjalan di pematang sawah yang becek dan licin. Sebuah teriakan terdengar di telinganya. Dengan begitu sigap ia tahu siapa yang memanggilnya itu. Segera aku hampiri menuju sumber suara itu.

" Ada apa kau memanggilku Danu?" kataku

" Aku butuh bantuanmu Sutan. Tolong aku membawa jerami-jerami ini." Pinta Danu

" Baiklah, tapi ini banyak sekali jerami yang harus di angkut." Kataku

" Ya mau bagaimana lagi. Tapi aku sudah mencoba segala cara tetap saja tidak bisa. Makannya aku meminta bantuanmu." Sambung Danu

" Ya ayolah semakin cepat kita mengangkut jerami ini semakin cepat kita beristirahat." Kataku

         Pemandangan yang tak aneh didesa ini jika seorang anak yang usianya saja belum genap 8 tahun harus mengangkut jerami yang banyak sendirian. Para orang tua sibuk mengurusi ladangnya masing-masing. Sementara anak-anaknya harus membantu pekerjaan yang lain. Keadaan yang memaksa mereka seperti ini karena biasanya tentara kolonial akan menarik pajak ke desa ini satu minggu sekali.

         Aku dan Danu mencari kayu dan tali dari bambu yang akan kami gunakan untuk mengikat dan mengangkut jerami tersebut ke rumah Danu. Untungnya tidak jauh dari tempat kami berdiri ada tali dari bambu yang tergantung di sebuah pohon. Segera aku ambil untuk mengikat jerami yang sudah seperti gunung itu. Lalu ku ikat dengan tali jerami-jerami itu dan kami memikulnya dengan berjalan cepat melalui pematang sawah yang becek dan licin.

         Di tengah-tengah perjalanan kami terjatuh karena tanah yang licin. Untungnya ada Rinto dan Dara yang melihat kami terjatuh. Segera mereka menghampiri kami.

" Hey kalian! Kalau jalan itu lihat-lihat biar gak jatuh kayak gini. Hahaha!" kata Rinto sambil tertawa

" Kakak sudah jangan tertawa, cepat bantu Sutan dan Danu!" kata Dara kepada Rinto

        Mereka adik kakak yang sudah seperti sendal jepit yang selalu bersama ke mana-mana. Walaupun keduanya berbeda satu tahun umurnya. Mereka sama-sama anak yang setia kawan. Keluargaku dan keluarga mereka selalu saling membantu jika ada yang kesusahan.

" Iya-iya, sini aku bantu memikulnya." Kata Rinto

        Kami berempat bersama-sama memikul jerami yang banyak itu. Rasa gatal tidak kami pedulikan yang terpenting adalah tugas kami membantu orang tua selesai dengan cepat. Lalu tibalah kami di pelataran rumah Danu. Kemudian kami turunkan jerami-jerami yang kami bawa di depan rumahnya.

" Ah terima kasih banyak. Kalian sudah membantuku untuk mengangkat jerami-jerami ini ke rumahku." Kata Danu

" Iya, tenanglah kami ini harus saling membantu sesama teman." Kataku

" Betul apa yang dikatakan Sutan. Kita harus saling membantu sesama teman." Kata Rinto menambahkan

        Sesungguhnya harapan yang besar terpancar dari jiwa anak-anak seperti kami. Yang kami inginkan adalah melihat negeri menjadi damai, aman dan tenteram tanpa harus dicampuri oleh bangsa lain. Tanggung jawab para leluhur akan diturunkan secara turun temurun kepada generasi selanjutnya. Generasi yang akan melanjutkan perjuangan bangsa ini dan generasi yang harus menjadi pemimpin di negeri sendiri. Semua hal itu masih menjadi angan-angan yang menempel dihati rakyat pribumi.

         Segera setelah pekerjaan anak-anak di desa ini sudah selesai. Mereka langsung kembali ke rumah mereka masing-masing dengan badan yang bau dan berkeringat. Dari wajah mereka tidak terlihat ekspresi yang mengeluh sedikit pun. Mereka selalu mengikuti perintah orang tua mereka. Karena mereka sadar jika mereka tidak menuruti perintah orang tua mereka maka mereka hanya akan menyusahkan orang tua.

         Pagi hari tiba dimana hari ini adalah hari penyetoran pajak kepada pemerintah kolonial. Para tentara yang datang dengan membawa bedil yang di letakkan di punggung dan tangan mereka membuat siapa saja takut melihatnya. Dengan seorang pemimpin mereka yang bernama Van Rhims mengumumkan bahwa hari ini setoran pajak dinaikkan menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Sontak para penduduk desa memprotes kebijakan itu secara langsung.

         Seketika para tentara kolonial langsung menodongkan senjata mereka ke arah penduduk. Penduduk langsung ketakutan setengah mati dan mereka terdiam seribu bahasa. Lalu dimulailah penarikan pajak kepada para penduduk. Satu persatu penduduk menyerahkan pajaknya kepada pemerintah kolonial.

          Lalu ada satu keluarga yang tidak bisa membayar pajak yang dua kali lebih banyak itu. Mereka memohon ampun dengan bersimpuh dan menciumi kaki pemimpin mereka. Aku yang melihatnya merasa tertegun saat melihat tuan rumah harus tunduk di bawah tamu yang tak diundang ini. Sebuah rasa muncul dihatiku yang sangat ingin memberontak kepada mereka, namun apa daya aku hanya seorang anak kecil yang masih bau kencur ini.

          Melihat rakyat yang memohon ampun karena tidak bisa membayar pajak bukan menjadi jaminan orang itu akan selamat. Justru mereka akan semakin di atas angin. Karena mereka merasa semakin disegani oleh penduduk pribumi. Van Rhims memerintahkan satu prajurit untuk mendekat. Dia memerintahkan untuk menodongkan senjata ke kepala orang yang bersimpuh itu. Dengan satu perintah prajurit itu menekan pelatuk yang ada di senapannya. Seketika sebuah peluru menembus kepala orang pribumi itu.

          Semua orang ketakutan dan terdengar sebuah suara teriakan. Teriakan itu keluar dari mulut istri orang yang di tembak itu. Bergetar rasanya kakiku mendengar teriakan itu. Sebuah teriakan yang mengisyaratkan kesedihan dan kegelapan batin. Semuanya tertegun melihat kebiadaban penjajah yang mereka saksikan secara langsung.

          Tanpa sepatah kata pun setelah mereka menarik pajak dari para penduduk, mereka langsung pergi untuk memungut pajak di desa lain. Entah berapa kepala yang mereka tembak hari ini. Yang jelas dengan kejadian tadi keamanan warga setiap desa pasti dalam masalah besar.

          Dengan rasa yang masih waswas para penduduk desa Mangun Rejo segera mengurusi jenazah warga yang ditembak itu. Segera setelah selesai mengurusi jenazahnya para penduduk langsung kembali ke rumah masing-masing. Pintu-pintu dan jendela-jendela rumah penduduk ditutup. Semuanya berdiam diri di rumah mereka masing-masing.

          Malam hari tiba suara jangkrik mulai terdengar di sudut-sudut rumah penduduk. Lampu-lampu pelita dinyalakan. Tak ada orang yang keluar dari rumahnya. Masing-masing keluarga hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri. Suasana desa menjadi hening seperti tidak ada kehidupan yang masih tersisa di sini.

          Di tengah heningnya malam aku bisa mendengar obrolan yang di bicarakan oleh ibu dan bapakku.

" Bu, bagaimana kalau kita pindahkan saja Sutan ke pesantren?" kata bapakku

" Untuk apa pak?" tanya ibuku

" Keadaan sudah semakin tidak aman, bapak takut kalau nanti para tentara kolonial itu tidak segan untuk membunuh anak-anak." Jawab bapakku

" Tapi pak, siapa yang akan membantu kita di ladang nanti kalau bukan Sutan?" tanya lagi ibuku

" Kita tidak usah takut. Yang terpenting Sutan selamat lebih dulu." Jawab lagi bapakku

" Ibu sih, terserah bapak saja bagaimana baiknya." Kata ibuku sambil menghela nafas. " Lalu mau kita masukan ke pesantren mana pak?" sambung ibuku

" Kita masukkan Sutan ke pesantrennya pak Kyai Khalil Nurrahman." Kata bapakku

" Ya sudah ibu menurut saja apa kata bapak." Kata ibuku

            Lalu aku diberitahu oleh bapak dan ibuku terkait aku yang akan di masukkan ke pesantren. Sebenarnya aku tak mau meninggalkan kedua orang tuaku. Tapi mau bagaimana lagi kalau mereka yang meminta aku pasti tidak bisa menolaknya. Jadilah aku menyetujui permintaan bapakku itu.

            Esok paginya aku sengaja menemui Danu, Rinto, dan Dara. Aku mengajak mereka ke sebuah pohon jambu yang ada di pinggiran sungai. Kami duduk di bawahnya sembari menghadap ke arah sungai.

" Ada apa kau memanggil kami kemari Sutan?" tanya Rinto

" Aku mengundang kalian kemari hanya untuk memberi tahu sesuatu." Kataku

" Apa yang akan kau beri tahu?" tanya Danu

" Ya aku akan pergi dari desa ini. Orang tuaku memintaku agar aku tinggal di pesantren pak Kyai Khalil." Kataku

            Mereka semua terdiam mendengar aku memberi tahu bahwa aku akan di masukkan ke pesantren.

" lalu kapan kau akan ke sana?" tanya Danu

" Minggu depan." Jawabku

" Kalau keputusanmu sudah bulat mengikuti kemauan orang tuamu, kami hanya bisa mendukungmu." Kata Rinto

" Ya benar kak Sutan. Kami berharap nanti kak Sutan bisa mengubah keadaan jika telah pulang dari sana." Kata Dara

" Walaupun aku masih ingin bersama kalian, karena kalian adalah sahabatku dari kita masih kecil." Kataku

" Jika kau kembali Sutan, maka Ingatlah ini. Kami akan menanti kau sebagai orang yang akan membawa perubahan di negeri ini." Ungkap Rinto

" Ya  benar. Dan kami akan mengikuti jejakmu." Tambah Danu

" Dan kakak tenanglah di pesantren biar kami yang akan menjaga bapak dan ibumu." Kata Dara

          Sungguh aku beruntung sekali bisa hidup sebagai salah satu anak yang punya banyak teman yang mendukungku. Di saat aku tidak percaya kepada diriku sendiri, ingatlah pasti selalu ada orang yang mendukungmu dari belakang.

          Tepat satu hari sebelum pemungutan pajak aku dimasukkan ke pesantren diantar oleh kedua orang tuaku. Berat rasanya meninggalkan kampung halamanku. Terlebih lagi harus jauh dari orang tua dan teman-teman di desa. Ini memang bukan keinginanku tapi aku harus melakukan ini demi hidup yang lebih baik.

          Memang pesantren di masa ini adalah tempat yang paling aman bagi siapa saja yang ada di dalamnya.  Para tentara kolonial itu tidak akan berani ketika membelot masuk ke area pesantren. Jika hal itu dilakukan maka rakyat akan memberontak apa pun risikonya. Bukan hanya aman tapi juga orang-orang yang ada di dalamnya dibekali dengan ilmu-ilmu yang berguna bagi siapa saja yang mengamalkannya.

" Kamu baik-baik di sini ya cah bagus." Kata ibu sembari mengusap kepalaku

" Jaga kepercayaan bapak dan ibumu nak." Kata bapak " Jadilah seseorang yang bisa mengubah suatu keadaan dengan bijak." Sambung bapakku

" Jaga kesehatanmu. Jangan biarkan kamu sakit di sini." Tambah ibuku

" Nggih pak, bu." Jawabku

" kalau begitu bapak dan ibu pergi dulu. Nanti kamu baru boleh keluar dari sini hanya setelah pak Kyai menyuruhmu keluar dari sini. Kau akan tahu sendiri nanti." Kata bapakku

           Mereka berdua pergi setelah mengantarkanku sampai di depan pintu masuk pesantren. Suara langkah kaki orang tuaku terdengar semakin menjauh dari tempatku berdiri.  Kata-kata yang ingin kuucapkan tak bisa diucapkan. Hanya terngiang-ngiang perkataan kedua orang tuaku tadi.

           Setelah beberapa lama aku terdiam di depan pintu masuk. Perlahan kakiku mulai melangkah menuju sisi dalam pesantren. Tempat yang konon katanya bisa mengubah seseorang menjadi disegani oleh siapa saja. Bukan karena orang itu menjadi kuat. Tapi, karena memiliki ilmu dan adab yang dijunjung tinggi sampai tidak bisa digoyahkan oleh apa pun.

           Hari pertama aku berada di sini membuatku sedikit kaku. Tapi untunglah ternyata orang-orang di sini semuanya berbudi pekerti yang luhur tanpa pamrih. Semuanya menyambutku dengan baik. Dan mulailah aku berteman dengan anak-anak seusiaku.

           Hadi menjelaskan apa-apa saja yang ada di pesantren ini dari setiap detailnya ia hafal betul tempat ini. Seperti ia lahir dari dalam tanah yang di atasnya dibangun sebuah bangunan. Tetapi sebenarnya Hadi adalah salah satu korban kekejaman pemerintah kolonial. Orang tuanya tewas ditembak oleh tentara kolonial ketika ia masih berumur 4  bulan.

           Suara azan magrib berkumandang terdengar ke segala penjuru. Para santri bergegas untuk pergi ke Masjid. Mengenakan sarung dan berpeci hitam sembari membawa Al-Qur'an ditangannya. Lampu-lampu yang terbuat dari obor dinyalakan satu persatu. Menandakan bahwa waktu malam telah tiba.

           Semua orang yang ada di dalam Masjid beribadah dengan sangat khusyuk. Sehingga semakin terasalah keheningan malam yang semakin gelap ini. Terlepas dari kemungkinan buruk yang terjadi pada orang-orang didesaku. Aku berusaha untuk fokus menjalankan amanah dari kedua orang tuaku. Sampai-sampai aku lupa bahwa aku sedang merasakan ketakutan yang dalam dengan situasi yang ada di negeriku saat ini.

           Seorang anak laki-laki yang seperti keturunan dari orang-orang asing itu menyapaku dengan menepukkan tangannya ke pundakku. Wajahnya begitu mencolok dimataku. Ditengah-tengah orang yang berkulit sawo matang ada seorang anak yang berkulit putih dengan bercak kemerah-merahan di kulitnya.

" Siapa namamu? Boleh aku berkenalan denganmu?" tanya ia sembari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.

" Sutan. Namaku Sutan. Lalu siapa namamu?" tanyaku sembari membalas jabat tangannya

" Nama Saya Whillem Osteric." Jawabnya

            Kami mengobrol sambil berjalan menuju kobong masing-masing.  Dia orang yang ramah dan terlihat ia mudah bergaul dengan orang sekitarnya.

            Sampai waktu subuh tiba semua santri bergegas kembali ke Masjid untuk melaksanakan kewajiban dari Tuhan yang Maha Esa. Aku lihat Whillem berjalan dengan sangat tenang menuju Masjid. Lalu aku menghampirinya dan berjalan menuju Masjid bersamaan. Sementara banyak santri yang berlari untuk segera sampai ke Masjid.

            Di saat matahari mulai memunculkan sinarnya aku melihat Whillem berjalan keluar dari pesantren. Aku mengikutinya dari belakang. Ternyata ia sudah dijemput oleh sebuah kereta kuda dengan seorang kusir di depannya dan banyak orang yang mengawalnya. Pikiranku penuh dengan tanda tanya. Mengapa bisa ia keluar masuk seenaknya dari sini. Apakah mungkin ia hanya dititipkan di sini atau memang ia diperintahkan untuk menimba ilmu bersama orang-orang pribumi. Padahal anak-anak kolonial punya sekolah khusus  bagi mereka.

            Cukup lama aku memperhatikan kapan Whillem kembali ke sini. Ternyata ia hanya pergi selama satu hari dalam seminggu. Entah ada hal apa aku pun tidak mengetahuinya. Aku semakin penasaran dan akhirnya aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini kepada Whillem.

" Whillem aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu." Kataku memulai pembicaraan

" Pertanyaan apa itu?" tanyanya

" Mengapa kau bebas untuk keluar masuk dari sini?" tanyaku

" Sebenarnya saya adalah seorang anak kompeni. Saya dititipkan kesini untuk belajar di sini, agar saya bisa berbaur dengan anak-anak pribumi." Tuturnya

" Kalau begitu, itu hal yang sangat bagus." Kataku

" Ya. Saya banyak belajar di sini. Maka dari itu saya selalu senang di sini." Katanya

             Kami menjadi semakin akrab dari hari ke hari. Setiap latihan bela diri kami selalu menjadi partner untuk bertarung. Sampai akhirnya kami bertumbuh dengan sangat cepat. Masing-masing dari kami selalu mempunyai ide dan gagasannya sendiri. Sungguh beruntung aku bisa berteman baik dengan anak seorang kompeni.

             Satu ketika Whillem dipanggil oleh ayahnya untuk kembali pulang dan tidak meneruskan belajarnya di pesantren ini. Karena ada isu yang mengatakan bahwa pesantren ini akan di tutup dan akan dijadikan sebuah bangunan baru. Semua orang sudah mendengar gosip itu.

             Tak luput dari pandanganku yang mungkin mereka akan menutup pesantren ini karena pak Kyai sudah sangat sepuh. Tapi itu tidak masuk akal karena masih ada anaknya yang bisa meneruskan pesantren ini. Mungkin hanya sebuah isu saja tanpa ada tindakan apa pun.

             Tepat pada malam kamis pahing aku di panggil oleh pak Kyai yang rumahnya masih berada di kompleks pesantren ini.

" Assalamualaikum." Kataku sembari mengetuk pintu

" Waalaikumsalam" jawab dari dalam rumah, dan aku dibukakan pintu oleh anaknya. " Silahkan masuk." Sambungnya

             Aku dipersilahkan menunggu diruang tamu yang kursinya masih terbuat dari anyaman bambu itu. Terdengar suara tongkat yang menyentuh lantai kayu. Dengan suara yang berdecit dan muncullah pak Kyai yang terlihat sudah sangat sepuh itu. Dengan pelan dan hati-hati pak Kyai melangkahkan kakinya untuk menemuiku.

             Lalu pak Kyai duduk dan terdiam sejenak untuk mengistirahatkan badannya. Aku masih tidak berani melihat pak Kyai secara langsung. Jadi, aku hanya menundukkan kepalaku tanpa sepatah kata pun keluar  dari mulutku. Suasana hening cukup lama kira-kira sepuluh menit pak Kyai terpejam matanya. Lalu pak Kyai menyuruh anaknya untuk menyuguhiku air minum.

" Kamu ini yang namanya Sutan?" tanya pak Kyai

" Be..betul pak Kyai saya Sutan." Jawabku

" Baguslah kau masih ada disini" kata pak Kyai " Bapakmu sudah menitipkan kamu kepada saya, ia minta agar saya memulangkan kamu kembali saat usiamu sudah menginjak 18 tahun. Dan sekarang berapa usiamu nak?" tanya Pak Kyai

" Tepat hari ini saya 18 tahun pak Kyai." Jawabku

" Kalau begitu sekaranglah saatnya. Kamu akan menjumpai takdirmu yang sebenarnya." Tutur pak Kyai

" Maksud pak Kyai bagaimana?" tanyaku

" Setiap manusia akan mengalami masa paling sulit dihidupnya. Namun jika ia berhasil melewatinya maka derajatnya akan naik di hadapan Allah. Setiap orang berhak memimpin dirinya masing-masing dan berhak pula memimpin orang lain. Namun semua itu perlu satu keteguhan dalam hati. Jangan sampai imanmu goyah." Tutur pak Kyai. Lalu terdiam kembali sejenak dan memejamkan matanya.

Lalu pak Kyai memberiku nasihat sebelum aku dikembalikan ke orang tuaku

" Ingat Sutan selalu jaga keimananmu. Jangan biarkan apa pun merusak imanmu di luar sana." Tutur pak Kyai

            Setelah itu aku dipersilahkan meninggalkan pesantren kapan pun aku suka dan bisa kembali kapan pun aku suka. Lalu aku berjalan keluar dari rumah pak Kyai. Saat-saat seperti inilah ujian dalam kehidupan yang sesungguhnya itu datang. Ujian itu datang dari segala penjuru baik secara internal atau eksternal.

            Selepas subuh aku menenteng sebuah tas di pundakku. Aku berjalan menuju ke dunia luar yang kejam itu. Tepat berada di depan pintu masuk pesantren aku terdiam sejenak. Membalikkan badanku dan memandangi tempat di mana aku dididik. Sekaranglah saatnya aku harus menghadapi  dunia luar yang kejam. Di bawah bayang-bayang kekuasaan bangsa asing di negeri sendiri.

            Ketika ayam jantan mulai berkokok karena melihat cahaya dari ufuk timur. Aku berjalan sendirian menuju desa. Di saat ini biasanya para penduduk desa banyak yang sudah pergi ke ladang mereka masing-masing. Mengurusi sawah ataupun membuat bahan makanan untuk dimakan hari ini.

            Di sebuah jalan setapak aku melangkahkan kakiku dengan cepat dan berhentilah aku di sebuah jembatan. Dari atas aku lihat seseorang yang aku kenal. Rupanya itu Danu yang sedang membersihkan hasil panennya di sungai di pinggiran sungai. Segera bergegas aku menemuinya.

" Hey Danu!" sapaku dari tepi sungai

            Danu mengerutkan dahinya, lalu matanya terbelalak seakan tak percaya melihatku kembali

" Sutan kaukah itu?" tanyanya

" Ya benar aku Sutan temanmu." Jawabku

            Segera ia langsung berlari menghampiriku.

" Benar kau rupanya!" kata Danu sambil menepuk-nepuk pundakku. " Sudah lama sekali rasanya. Bagaimana kabarmu?" tanyanya

" Baik. Aku baik. Sedang apa kau?" tanyaku

" Ah biasa seperti inilah aku setiap hari. Membersihkan singkong untuk di jual." Katanya

" Kalau begitu akanku bantu kau membersihkan singkong-singkong itu." Kataku menawarkan bantuan

            Kami berdua membersihkan singkong dengan cepat. Karena Danu bilang ia akan segera menemaniku menuju desa. Lalu kami berdua memikul singkong-singkong itu sama seperti kami memikul jerami waktu dulu. Kami bergegas berjalan sembari memikul singkong-singkong itu.

            Segera kami tiba di desa. Setelah itu aku bergegas menemui orang tuaku di ladang. Ternyata di sana hanya ada bapakku. Tak mengapa mungkin hari ini ibuku tidak pergi ke ladang pikirku.

" Assalamualaikum pak." Kataku mengucap salam

             Bapakku lalu menoleh ke belakang. Sama seperti Danu bapakku  mengerutkan dahinya dan matanya terbelalak begitu menyadari bahwa anaknya sudah kembali.

" Sutan engkaukah itu nak?" tanya bapakku sembari memelukku

" Iya pak. Ini anakmu Sutan." Kataku

            Begitu senang bukan main. Rasa rindu yang sudah lama dipendam sekarang sudah bisa terobati melihat bapakku masih sehat walaupun umurnya tidak muda lagi.

" Di mana ibu pak?" tanyaku

" Ibumu sudah pergi nak. Ia tak lagi ada di dunia ini." Jawab ayahku

" Apa maksud bapak? Jadi ibu sudah mati?" tanyaku yang mulai merasa tak enak hati

" Iya nak. Maafkan bapak tidak bisa menjaga ibumu dengan baik." Tuturnya sambil matanya berkaca-kaca.

            Seketika air mataku menetes. Tak bisa terbayangkan bagaimana rasanya kehilangan seorang wanita yang rela bersusah payah mengandung dan bertaruh nyawa untuk melahirkanku ke dunia ini. Sungguh kejam dunia ini dirasa.

            Bapakku menghela nafas dan mulai menjelaskan apa yang terjadi selama aku di pesantren. Pungutan pajak dari bulan ke bulan meningkat beberapa persen. Hal itu membuat warga desa menjadi kelimpungan harus memenuhi kebutuhan pribadi mereka dan harus pula membayar pajak.

            Banyak orang yang ditembak mati atau diberi hukuman karena tidak bisa membayar pajak yang diminta. Rupanya Van Rhims telah digantikan oleh orang dari kalangannya yang tak kalah kejam darinya. Orang-orang itu semakin seenaknya di negeri ini. Serasa tanpa urat malu yang melekat di dalam diri mereka.

            Begitu pula dengan para wanita didesa ini yang diambil secara paksa untuk dijadikan pelayan di rumah-rumah mereka. Dan ibuku salah satu orang yang terpilih oleh mereka. Entah sebab apa mereka membawa ibuku. Yang jelas aku sudah muak dengan orang-orang itu.

           Saat itu ketika ibuku akan dibawa menuju rumah-rumah mereka ibuku melawan dan memukul salah satu tentara kolonial. Inilah hal yang tak mau aku dengar sebenarnya. Ibuku ditembak tepat di bagian perutnya. Yang ketika itu banyak sekali warga desa yang menyaksikannya.

           Hari menjelang sore dan kami pulang dengan membawa hasil dari ladang bapakku. Lampu-lampu pelita mulai di nyalakan di setiap rumah-rumah penduduk. Hujan deras mengguyur desa, menutupi rasa kesedihan yang dialami oleh desaku. Semua orang mulai terlelap dan mulai melupakan kejadian yang telah lalu.

           Ketika malam sedang berada pada fase keheningannya. Tiba-tiba muncullah orang-orang  yang membawa obor dan senjata ke desa ini. Mereka menerobos masuk ke setiap rumah-rumah penduduk. Membawa paksa anak-anak kecil dan para wanita. Seperti biasanya bagi siapa saja yang melawan tak segan mereka akan menembaknya di tempat dan tanpa pandang bulu. Ketika semuanya sudah selesai tak banyak yang bisa diperbuat para lelaki di desa ini. Mereka semua takut dengan senjata yang dibawa oleh para tentara kolonial itu.

           Lalu ada seorang yang sepertinya pemimpin dari mereka berdiri di atas kereta kudanya. Lalu ia memandangi sekeliling dan segera ia membuka mulutnya.

" Hey para pribumi yang lemah! Dengarkanlah ini!" teriaknya " Mulai hari ini kalian semua harus mengikuti perintah saya. Jika tidak! Kalian akan saya tembak mati atau di masukkan ke dalam penjara dan dihukum seberat beratnya." Sambung ia

             Di saat malam yang masih gelap itu dengan bantuan cahaya dari obor yang ada aku melihat wajah orang itu yang masih samar-samar terlihat. Seperti aku mengenalnya namun masih belum bisa dipastikan. Aku pandangi terus ia. Mataku mulai melotot memandanginya seakan ingin menghajarnya.

             Lalu rombongan itu pergi dan mengambil paksa anak-anak dan para wanita di desa ini. Teriakan dan tangisan mereka saling bersahutan. Betapa pilunya nasib yang harus dialami oleh mereka. Dan suara-suara tangisan mereka masih membekas walaupun rombongan itu sudah mulai pergi. Ini adalah hal gila. Pagi-pagi buta begini mereka berani mengganggu ketenangan para penduduk pribumi.

             Matahari mulai menampakkan dirinya dari ufuk timur. Tak ada orang yang berangkat ke ladang pagi ini. Semuanya masih bersedih atas kejadian tadi malam. Tampak raut wajah yang penuh dengan amarah terlihat dari para penduduk desa. Banyak yang menggunjing akan membalas dendam pada orang-orang itu dan pada akhirnya tidak ada tindakan apa pun yang dilakukan.

             Aku segera bergegas menemui Danu di rumahnya. Selepas itu kami pergi ke rumah Rinto. Kami di sana melakukan siasat untuk berusaha melakukan perlawanan terhadap tentara-tentara kolonial itu.

" Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan? Aku sudah muak dengan mereka." Kata Danu

" Kita serbu saja markas mereka! Kita lakukan seperti apa yang mereka lakukan kepada kita." Ujar Rinto

" Ya aku setuju!" Danu berteriak " Bagaimana denganmu Sutan mengapa kau diam saja? Apa kau tidak ingin membela harga diri bangsamu ini?" Tanyanya

" Tunggu dulu. Kita jangan gegabah begitu saja. Mereka tidak mudah dikalahkan. Kita harus menyusun rencana yang tepat jika ingin melakukan perlawanan." Kataku

" Lalu bagaimana?" kata Rinto

" Kita ikuti permainan mereka lebih dulu. Jika ada kesempatan kita lakukan perlawanan. Jika kita lakukan sekarang kita akan kalah telak. Kita tidak punya senjata apa pun untuk melawan mereka. Jika dengan tekad saja itu tidak cukup." Kataku

             Tidak lama setelah itu di sore hari seorang ajudan dari golongan pribumi datang memberikan informasi.

" Dengarkan ini para penduduk Desa Mangun Rejo!" kata ajudan itu

             Seketika langsung berkumpul semua orang yang ada di desa

" Pemerintah kolonial meminta kesediaan kalian untuk menjadi pekerja yang ditugaskan untuk mengurusi rumah-rumah orang kolonial, membangun sebuah jalan, dan juga mengurusi ladang" katanya

" Apa untungnya bagi kami!?" teriak salah seorang warga

" Kalian akan diberikan jaminan keselamatan oleh mereka!" kata ajudan itu

" Ah kami tidak percaya. Mereka itu hanya anjing penjilat!" teriak seorang warga

" Ya Betul!" teriak semua warga

" Baiklah kami akan bicarakan ini terlebih dahulu!" kataku

" Baiklah saya akan kembali lagi nanti!" kata ajudan itu

               Ajudan itu pun pergi dan para penduduk menggerutu kepadaku.

" Apa yang kau lakukan Sutan? Kau mau menjadi budak mereka?" teriak salah seorang warga

" Begini. Kita ini satu darah. Satu tanah air. Satu bangsa. Kita satu warna kulit. Bahasa kita ini sama! Kalian sadar itu kan?" kataku

" Benar itu! Kita ini satu bangsa. Tanah air kita jangan sampai diambil alih oleh orang-orang penjilat itu!" kata Rinto

" Ya kalau kita bersatu kita pasti bisa mengusir mereka dari tanah air kita!" kataku

" Kalau begitu kita harus bersama-sama membela tanah air kita ini!" teriak seorang warga

" Ya benar!" disambut dengan jawaban serentak dari para penduduk lain.

              Lalu kami mengabdikan diri kepada orang-orang itu. Selama beberapa hari memang kami diberikan hak-hak kami seperti makan dan tempat tinggal. Namun, memasuki satu bulan kami mengabdi orang-orang itu mulai acuh. Seketika itu banyak korban yang berjatuhan di kalangan kami. Kerja yang sifatnya memaksa dan tanpa memedulikan hak asasi manusia. Rasa kemanusiaan sudah hilang dirasa dari muka bumi ini.

              Satu ketika di hari yang sangat panas penduduk pribumi harus rela menyeret sebuah batu yang cekup besar dengan bertelanjang dada. Ada yang mengangkut pasir di punggungnya menggunakan karung goni. Ada pula yang bertugas membuat aliran air di sisi jalan dengan menggunakan cangkul. Di bawah sengatan cahaya matahari yang sangat panas ini bangsa kami seperti dibakar di neraka. Tak ada keadilan, tak ada kebijakan yang menguntungkan kami, tak ada lagi rasa saling menghormati antar sesama manusia yang ada hanyalah siksaan fisik dan batin yang dirasakan.

" Cepat! Cepat! Kerjamu  lamban sekali!" teriak seorang pengawas dengan memukulkan tongkat kayu ke punggung salah seorang penduduk pribumi

              Aku yang melihat itu dari atas bukit merasakan rasa yang sama dengan apa yang dirasakan orang itu. Sebuah pukulan mengenai kulit yang tersengat oleh matahari itu menjadikannya lebam di belakang dadanya. Satu hal yang ingin aku balaskan kepada mereka suatu saat nanti.

              Suara kereta kuda terdengar dari kejauhan. Rupanya pemimpin mereka datang untuk mengontrol keadaan. Suara itu terhenti. Dan aku teringat wajah orang yang berada di atas kereta kuda di waktu malam yang mencekam itu. Timbullah rasa penasaranku untuk mengetahui siapa dia.

              Suara kereta kuda itu kembali muncul dan semakin jelas suaranya. Aku menghentikan pekerjaanku untuk melihat kereta kuda itu. Aku menunggu cukup lama dengan memperhatikan jalan yang tepat berada di bawah. Lalu seorang tentara berteriak dalam bahasa mereka yang menandakan pemimpin akan segera tiba di lokasi ini.

              Sebuah kereta muncul dari sebuah tebing yang menghalangi dan aku lihat ada seorang yang duduk dikereta itu. Aku perhatikan betul orang itu dengan tatapan yang tajam. Mataku yang mulai memerah karena tak berkedip demi mengetahui siapa orang itu. Lalu kereta kuda itu berhenti di sebuah tanah yang cukup luas yang akan dijadikan sebuah jalan itu.

              Seseorang yang  duduk di kereta kuda itu berdiri dan mulai memperhatikan sekitar. Alangkah terkejutnya mataku saat aku tahu bahwa orang itu adalah Whillem. Ya Whillem yang semasa kecil satu pesantren denganku. Rupanya dia menjelma menjadi seseorang yang kejam. Dengan cangkul yang digenggam oleh tanganku rasa ingin melemparkan cangkul ini ke kepalanya sudah menjadi-jadi.

              Semua orang dipanggil untuk menemui Whillem. Aku bergegas turun ke bawah dari bukit. Segera semuanya berkumpul dan semua kepala yang ada tertunduk karena ketakutan. Kecuali mataku yang terus melihat ke arah Whillem. Dengan lantang ia berteriak.

" Para penduduk pribumi yang lemah! Selesaikanlah segera pekerjaan kalian! Jangan ada yang melawan kepada saya. Dan siapa saja yang melawan kepada saya akan saya hukum dengan seberat-beratnya." Teriak Whillem

              Ia turun dari keretanya dengan membawa sebuah pistol ditangan kanannya dan sebuah cerutu yang ada dimulutnya. Ia menghampiri seorang kakek tua yang sudah sangat renta itu. Ai tarik tangan kakek tua itu sampai ke hadapan semua orang. Dengan pistolnya ia angkat kepala kakek itu. Dan terdengar suara tembakan tepat mengenai kepala kakek itu.

" Itulah yang akan terjadi jika kalian berusaha melawan saya!" Tutur Whillem

              Anak yang dahulu aku kenal baik itu rupanya sama saja dengan antek-anteknya. Bahkan sekarang ia menjadi pemimpin mereka. Mungkin selama ia di pesantren ia hanya menjadi mata-mata terkait pendidikan yang diberikan kepada orang-orang pribumi. Ataukah memang doktrin yang diberikan oleh para kolonial itu terlalu kuat sehingga ia kehilangan pengendalian dirinya.

              Satu malam ketika semua tertidur pulas aku, Danu, dan Rinto berdiskusi terkait perlawanan rakyat pribumi.

" Jadi bagaimana, kapan kita akan melakukan perlawanan terhadap mereka?" kata Rinto

" Tunggu dulu. Kita harus mengumpulkan orang untuk mau bersama-sama melawan mereka." Kataku

" Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat untuk melakukan penyerangan?" tanya Danu

" Ya memang. Tapi keberanian kita masih lemah. Kita masih takut dengan senjata yang mereka bawa. Maka dari itu kita juga harus punya senjata untuk melawan mereka." Kataku

" kita gunakan saja bambu yang diruncingkan ujungnya, bagaimana?" Usul Danu

" Ya benar itu." Kata Rinto

             Hari demi hari kami mengajak rakyat untuk melakukan perlawanan. Bukan untuk mengkudeta tapi sebagai bentuk pembelaan harga diri sebuah bangsa yang sedang tertindas di bawah kepemimpinan orang-orang yang tidak berperikemanusiaan.

             Saatnya telah tiba untuk melakukan pembelaan terhadap harga diri bangsa ini. Senjata-senjata yang kami buat kami sembunyikan di tempat-tempat yang tidak bisa terjamah oleh mereka. Semangat perjuangan yang sudah membara di dalam jiwa ini harus tersalurkan demi bangsa yang dicinta ini. Jangan sampai semuanya menjadi sia-sia jika tidak dilakukan.

             Penyerangan dimulai dari atas bukit dengan menusuk para pengawas yang sedang berjaga. Setelah itu penyerangan tadi dilanjutkan ke bagian bawah bukit yang untung saja tidak ada tentara yang berjaga di sana. Lalu semuanya bergerak menuju pusat pos penjagaan yang di mana kami melumpuhkan para penjaga yang membawa senjata itu dan mengambilnya.

             Pergerakan kami diketahui oleh para petinggi-petinggi kolonial. Dengan segera mereka mengirimkan para tentaranya untuk menghentikan perlawanan kami. Lalu pasukan dibagi menjadi beberapa bagian. Ada yang diwilayah hutan ada yang masuk ke rumah-rumah penduduk untuk berjaga-jaga dan ada yang bergerak ke pusat kota.

             Aku sendiri mengikuti rombongan yang bergerak menuju pusat kota dengan membawa bambu runcing ditangan. Ketika ada tentara yang melintas kami langsung bersembunyi agar tidak ketahuan. Sampai larut malam kami melakukan perlawanan itu. Dengan rasa yang mendebarkan kami harus bisa membela harga diri bangsa ini.

             Aku melihat sebuah kereta kuda melintas di depan sebuah bangunan tua aku terus mengikutinya sampai ke dekat sebuah pintu masuk bangunan yang cukup besar itu. Dari jendelanya tampak ada orang yang tengah berbincang-bincang. Rupanya itu adalah Whillem, ia tinggal di sini. Dan aku mengendap-endap masuk ke dalam kompleks rumah itu. Untungnya hanya beberapa orang yang berjaga di sana. Jadi aku dengan mudahnya masuk ke dalamnya.

             Saat-saat semua orang tertidur aku mengendap-endap di dalam rumah ini. Aku mencari-cari kamar Whillem. Saat aku lihat ada sebuah pisau segera aku ambil untuk berjaga-jaga. Lalu aku naik ke lantai dua rumah ini saat ada sebuah pintu berwarna coklat di  hadapanku aku dengan perlahan masuk ke kamar itu. Dan ternyata benar ini adalah kamarnya Whillem.

             Aku pelan-pelan mendekatinya dan berusaha  membunuhnya di saat itulah ia langsung menahan tanganku. Dengan ilmu bela diri yang ia pelajari dengan mudahnya ia menangkis seranganku. Dengan segera ia mengambil pistol di lacinya dan menodongkannya kepadaku.

" Oh Sutan temanku. Rupanya kau yang akan mencoba membunuhku. Hahaha." Katanya sambil tertawa " Ayolah kita duduk dulu sebentar Sutan." Sambungnya

" Kau Whillem. Kau sudah berkhianat. Kau berpura-pura baik di hadapan anak-anak pribumi. Dasar licik kau!" umpatku

" Mengapa begitu? Aku ini seorang Belanda yang tidak mungkin berkhianat pada bangsaku sendiri. Hahaha!" katanya sembari mengepulkan asap cerutu yang keluar dari mulutnya.

" Munafik kau!" kataku

" Kalau begitu apa yang akan kau lakukan Sutan?" tanyanya

" Aku akan menggerakkan semua rakyat pribumi untuk melakukan perlawanan terhadap kalian!" kataku

" Silakan saja kalau kau bisa, hahaha!" jawabnya sambil tertawa

              Lalu ia bangkit dan menodongkan pistol miliknya lagi  kepadaku. Dengan segera aku juga mengacungkan pisau yang kupegang ke arah lehernya. Kami sama-sama menodongkan senjata kami satu sama lain. Tak ada pembicaraan di antara kami berdua yang ada hanyalah tatapan yang saling menyimpan dendam satu sama lain.

              Setelah beberapa lama terdengar suara orang berlari ke arah kami. Dengan segera aku pergi dari sana dengan melewati jendela Whillem. Saat itu tidak langsung menembakku  tetapi ia memberikan kesempatan bagiku untuk pergi dari rumahnya. Dan aku segera berlari dari rumah itu dengan Whillem yang menatapku dari jendela kamarnya.

              Satu pukulan keras bagi kita selaku tuan rumah yang dijajah oleh tamu yang tak diundang ini. Kami harus bisa membalikkan keadaan. Dengan tujuan keadaan yang baik itu memihak kepada kami. Jangan sampai perjuangan berakhir hanya sampai di sini saja. Masih banyak waktu untuk memperjuangkan bangsa kita. Selama darah masih mengalir di dalam nadi kita selama itu pula wajib bagi kita membela bangsa dan tanah air tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun