" Ibumu sudah pergi nak. Ia tak lagi ada di dunia ini." Jawab ayahku
" Apa maksud bapak? Jadi ibu sudah mati?" tanyaku yang mulai merasa tak enak hati
" Iya nak. Maafkan bapak tidak bisa menjaga ibumu dengan baik." Tuturnya sambil matanya berkaca-kaca.
      Seketika air mataku menetes. Tak bisa terbayangkan bagaimana rasanya kehilangan seorang wanita yang rela bersusah payah mengandung dan bertaruh nyawa untuk melahirkanku ke dunia ini. Sungguh kejam dunia ini dirasa.
      Bapakku menghela nafas dan mulai menjelaskan apa yang terjadi selama aku di pesantren. Pungutan pajak dari bulan ke bulan meningkat beberapa persen. Hal itu membuat warga desa menjadi kelimpungan harus memenuhi kebutuhan pribadi mereka dan harus pula membayar pajak.
      Banyak orang yang ditembak mati atau diberi hukuman karena tidak bisa membayar pajak yang diminta. Rupanya Van Rhims telah digantikan oleh orang dari kalangannya yang tak kalah kejam darinya. Orang-orang itu semakin seenaknya di negeri ini. Serasa tanpa urat malu yang melekat di dalam diri mereka.
      Begitu pula dengan para wanita didesa ini yang diambil secara paksa untuk dijadikan pelayan di rumah-rumah mereka. Dan ibuku salah satu orang yang terpilih oleh mereka. Entah sebab apa mereka membawa ibuku. Yang jelas aku sudah muak dengan orang-orang itu.
      Saat itu ketika ibuku akan dibawa menuju rumah-rumah mereka ibuku melawan dan memukul salah satu tentara kolonial. Inilah hal yang tak mau aku dengar sebenarnya. Ibuku ditembak tepat di bagian perutnya. Yang ketika itu banyak sekali warga desa yang menyaksikannya.
      Hari menjelang sore dan kami pulang dengan membawa hasil dari ladang bapakku. Lampu-lampu pelita mulai di nyalakan di setiap rumah-rumah penduduk. Hujan deras mengguyur desa, menutupi rasa kesedihan yang dialami oleh desaku. Semua orang mulai terlelap dan mulai melupakan kejadian yang telah lalu.
      Ketika malam sedang berada pada fase keheningannya. Tiba-tiba muncullah orang-orang  yang membawa obor dan senjata ke desa ini. Mereka menerobos masuk ke setiap rumah-rumah penduduk. Membawa paksa anak-anak kecil dan para wanita. Seperti biasanya bagi siapa saja yang melawan tak segan mereka akan menembaknya di tempat dan tanpa pandang bulu. Ketika semuanya sudah selesai tak banyak yang bisa diperbuat para lelaki di desa ini. Mereka semua takut dengan senjata yang dibawa oleh para tentara kolonial itu.
      Lalu ada seorang yang sepertinya pemimpin dari mereka berdiri di atas kereta kudanya. Lalu ia memandangi sekeliling dan segera ia membuka mulutnya.