Mohon tunggu...
Andri Kurniawan
Andri Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tulislah apa yang kamu pikirkan, cintailah apa yang menjadi milikmu. Kita semua berjalan menuju kesuksesan dengan caranya masing-masing, sebab ada yang harus dinanti, didoakan, serta diusahakan.

Selanjutnya

Tutup

Kkn Pilihan

[Cerpen] Cinta KKN, Romansa Palsu dari Mahasiswa

9 Juni 2024   13:43 Diperbarui: 9 Juni 2024   22:02 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bayangan pria dan wanita sebagai pasangan (sumber: my.theasianparent.com)

Romansa awal

KKN kali ini membawa seorang mahasiswa polos dari kota besar ke sebuah desa terpencil di lereng Gunung Teduh. Amir nama mahasiswa tersebut.

Terletak jauh dari hiruk-pikuk kota, desa ini menawarkan pemandangan alam yang memukau dengan sawah terhampar luas dan sungai yang jernih mengalir.

Di antara rombongan KKN, ada seorang gadis yang mencuri perhatian semua orang, termasuk Amir. Namanya Aluna, gadis tercantik yang pernah Amir lihat.

Aluna bukan hanya cantik, tapi juga cerdas dan penuh semangat. Wajahnya selalu dihiasi senyum manis yang membuat siapapun yang melihatnya ikut tersenyum.

Hari pertama di desa, Amir dan teman-teman KKN disambut oleh Kepala Desa Pak Budi. 

"Selamat datang di Desa Teduh. Kami harap kalian bisa membantu kami di sini, sekaligus belajar dari kehidupan desa," ucap Pak Budi penuh keramahan.

Amir dengan ketidakpercayaan dirinya selalu merasa canggung saat berada di dekat Aluna. Dia hanya bisa mengagumi dari jauh, sementara Aluna tampak sibuk dengan tugas-tugasnya, berinteraksi dengan penduduk desa dengan mudah dan memimpin kegiatan KKN dengan cekatan.

Suatu hari, kelompok KKN mendapat tugas untuk mengajari anak-anak desa di sekolah. Amir yang sebenarnya lebih suka bekerja di balik layar, harus mengumpulkan keberanian untuk mengajar anak-anak. 

Ketika dia mulai gugup di depan kelas, Aluna dengan lembut datang membantunya. 

“Ayo, kamu bisa kok, Amir. Anak-anak ini hanya butuh kasih sayang dan kesabaran,” katanya sambil tersenyum.

Kehadiran Aluna di sampingnya memberi Amir kekuatan. Dengan bimbingan Aluna, Amir mulai lebih percaya diri. Anak-anak desa pun dengan cepat menyukai cara Amir mengajar, terutama karena kebaikan hatinya yang tulus.

Malam harinya, rombongan KKN sering berkumpul di balai desa. Mereka mengadakan berbagai kegiatan, mulai dari diskusi program hingga berbagi cerita. Amir yang biasanya pendiam, mulai merasa nyaman dan ikut berbicara.

“Luna, terima kasih sudah membantuku tadi. Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana kalau kamu tidak ada,” kata Amir dengan malu-malu saat mereka duduk di bawah pohon besar dan menatap bintang-bintang yang bersinar terang.

“Tidak apa-apa Mir. Kita di sini untuk saling membantu. Kamu sebenarnya sangat baik, hanya perlu sedikit lebih percaya diri,” jawab Aluna dengan senyum yang membuat hati Amir berdebar.

Hari demi hari, kedekatan mereka semakin tumbuh. Aluna mulai melihat ketulusan dan kebaikan hati Amir, dan Amir semakin kagum dengan kecantikan luar dalam Aluna. Mereka sering berbicara hingga larut malam, berbagi cerita tentang hidup, impian, dan harapan.

Suatu hari, rombongan KKN merencanakan sebuah acara besar berupa pentas seni untuk merayakan kebudayaan desa. 

Amir yang memiliki bakat bermain gitar diminta untuk tampil. Namun, rasa gugupnya kembali muncul. 

“Aku takut kalau aku melakukan kesalahan di depan semua orang,” ungkap Amir dengan nada cemas.

Aluna memberikan semangat ke Amir dengan lembut. 

“Kamu tidak perlu takut. Aku akan ada di sampingmu, kita bisa melakukannya bersama,” ucapnya dengan penuh keyakinan.

Pada malam pentas seni, Amir dan Aluna tampil bersama. Mereka membawakan lagu tradisional yang diaransemen ulang dengan nuansa modern. 

Suara merdu Aluna berpadu dengan petikan gitar Satria menciptakan harmoni yang indah. Penonton terpukau dan memberikan tepuk tangan meriah.

Setelah penampilan yang sukses, Amir dan Aluna duduk di pinggir sungai, di bawah cahaya bulan yang memantul di air. 

“Terima kasih, Luna. Karena kamu, aku bisa melewati semua ini,” kata Amir dengan mata berbinar.

Aluna menatap Amir dengan lembut. 

“Aku senang bisa membantu. Kamu sebenarnya punya banyak potensi, Satria. Kadang, kita hanya butuh seseorang untuk melihatnya dan mengingatkan kita.”

Dalam keheningan malam, Satria merasakan perasaan yang semakin kuat terhadap Aluna. 

“Luna, aku… aku rasa aku jatuh cinta padamu,” kata Satria akhirnya, dengan suara gemetar.

Aluna terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Satria, aku juga merasakan hal yang sama. Kamu adalah seseorang yang spesial.”

Kebahagiaan meliputi mereka berdua. Di tempat yang sederhana, di desa yang jauh dari keramaian, mereka menemukan cinta sejati. 

KKN yang awalnya hanya sebuah kewajiban, berubah menjadi kisah cinta yang tak terlupakan. Saat KKN berakhir, mereka kembali ke kota dengan janji untuk selalu bersama. 

Kisah cinta Amircdan Aluna adalah bukti bahwa di balik kepolosan dan kecantikan, terdapat hati yang tulus dan ikatan yang kuat.

Desa kecil di lereng Gunung Teduh menjadi saksi bisu romansa cinta mereka, sebuah kenangan yang akan selalu terukir dalam hati mereka.

Diujung tanduk

Setelah KKN berakhir, Satria dan Aluna kembali ke kota dengan perasaan campur aduk. Mereka tahu bahwa kehidupan kampus dan kesibukan masing-masing akan menuntut perhatian mereka, namun perasaan cinta yang mereka temukan di desa itu terlalu kuat untuk diabaikan. 

Mereka berjanji untuk tetap bersama, meski jarak dan waktu bisa menjadi penghalang.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Kegiatan kampus yang padat dan tugas-tugas akademik mulai menyita waktu mereka. 

Amir sibuk dengan proyek akhir dan magang, sementara Aluna juga tenggelam dalam berbagai kegiatan organisasi dan penelitian. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha untuk menjaga komunikasi, sering bertukar pesan dan menelepon di malam hari.

Seiring berjalannya waktu, kesibukan dan jarak mulai terasa semakin berat. 

“Amir, aku merasa semakin sulit untuk bertemu denganmu. Kita sama-sama sibuk dan jarang punya waktu luang,” ungkap Aluna suatu malam melalui telepon.

Amir menghela napas, merasakan hal yang sama. “Aku tahu, Luna. Aku juga merasakannya. Tapi aku percaya kita bisa melewati ini. Cinta kita cukup kuat, bukan?”

Aluna tersenyum pahit. “Ya, kita harus percaya itu. Aku hanya berharap waktu bisa lebih berpihak pada kita.”

Mereka tetap berusaha menjaga hubungan, kenyataannya semakin sulit untuk bertemu. Pertemuan mereka menjadi semakin jarang, hanya bisa bertemu di akhir pekan atau saat liburan. Setiap kali mereka bertemu, ada perasaan gembira sekaligus sedih karena tahu waktu kebersamaan mereka terbatas.

Suatu hari, Aluna mendapat kabar dari kampus bahwa dia terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar selama satu semester di luar negeri. Kesempatan ini adalah impian yang sudah lama dia nantikan, namun juga berarti dia harus berpisah dengan Amir untuk sementara waktu.

“Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahumu Amir,” kata Aluna ketika mereka bertemu di sebuah kafe. Matanya berkaca-kaca, dan Amir bisa melihat kekhawatiran di wajahnya.

“Ada apa, Luna?” tanya Amir dengan lembut, menggenggam tangan Aluna.

“Aku… aku diterima dalam program pertukaran pelajar. Aku akan pergi selama enam bulan,” jawab Aluna pelan, menundukkan kepalanya.

Amir terdiam, mencoba mencerna kabar tersebut. Perasaan bahagia dan sedih bercampur dalam hatinya. 

“Itu kabar yang luar biasa, Luna. Aku sangat bangga padamu,” katanya akhirnya, meski hatinya terasa berat.

“Tapi itu berarti kita harus berpisah lagi, kali ini lebih lama,” tambah Aluna dengan suara gemetar.

Amir menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

“Kita sudah pernah melewati jarak, Luna. Aku yakin kita bisa melakukannya lagi. Aku akan mendukungmu, apapun yang terjadi.”

Perpisahan mereka di bandara penuh dengan air mata dan harapan. Amir menatap dalam Aluna, mencoba menahan kesedihannya. 

“Jaga dirimu baik-baik di sana. Aku akan selalu menunggumu,” bisiknya.

Aluna mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Kamu juga, Amir. Kita akan tetap kuat.”

Hari-hari tanpa Aluna terasa sepi bagi Amir. Dia merindukan senyum manisnya, obrolan mereka di malam hari, dan kebersamaan yang selalu membuatnya merasa utuh. Meskipun begitu, dia tetap berusaha untuk kuat dan mendukung Aluna dari jauh. 

Mereka sering bertukar pesan dan video call, meski perbedaan waktu sering kali menjadi tantangan. Di sisi lain, Aluna juga merasakan hal yang sama. 

Kehidupan baru di negeri orang memberinya banyak pengalaman dan pelajaran, tapi ada kekosongan yang selalu mengikutinya. Setiap kali melihat sesuatu yang indah, dia berharap Amir ada di sampingnya untuk berbagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun