Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf

25 Desember 2015   11:47 Diperbarui: 25 Desember 2015   13:06 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Tiada apa yang dapat kurasakan

Selain dari cintaku padamu

Tiada Lafaz sendu yang terindah

Yang dapat kugambarkan padamu

 

Pikiran Ridian menerawang jauh, melewati batas dari objek yang berkejaran. Hamparan sawah yang menghijau, kelebatan pepohonan yang menyejukkan, tiada mampu memberi kehangatan dalam pandangan.

“Rid,”

Teguran Shima—yang untuk kesekian kalinya—membuahkan hasil. Memaksa Ridian kembali menapak bumi.

Namun hanya sesaat, dan kembali Ridian mencumbu kesunyiannya. Berulang kali Shima menghempaskan napas berat. Dan pada akhirnya, Shima menepikan kendaraan dan berhenti. Memaksa Ridian menoleh kepadanya, meski itu sangat-sangat lemah, tiada gairah sama sekali.

“Kalau kek gini terus, aku gak tahu lagi harus ngapain.” Shima menjadikan setir mobil sebagai bantal untuk keningnya. Rambutnya yang sebahu cukup sempurna menyembunyikan air matanya. Air mata kesedihan atas apa yang dialami sahabatnya itu.

“Kalau kau capek, biar aku yang nyetir.”

Shima mendengus, sesaat melirik Ridian sebelum menghempaskan punggungnya ke sandaran. “Jangan harap! Secapek apa pun, tidak akan kubiarkan kau yang nyetir!”

Dan hening kembali. Saat Shima kembali memerhatikan riak wajah sahabatnya itu, lagi-lagi ia mendapati lamunan yang sama.

“Sudahlah! Kita kembali saja!”

“Shima!” pandangan Ridian memerah. “Cukup,” lirihnya. “Secepatnya sampai di Jakarta… itu lebih baik.”

Perlahan, mobil kembali meluncur. Dari kaca spion, Ridian melihat gapura besar semakin menjauh dan menjauh. Gapura bertuliskan “Selamat Jalan” batas terakhir Kota Tasikmalaya.

 

Bersama janji kita dipadukan

Seindah rindu yang dirasakan

 

“Sampaikan salam sama Mamakku. Awas kau kalau lupa,” ancam Shima di sela pelukannya pada Ridian di bandara Soekarno-Hatta. “Rid,” Shima coba hadirkan senyum dan menyeka kedua matanya. “Jangan kau pikirkan lagi. Kuharap kau bisa mendapat gadis lain…”

Ridian hanya mengangguk, lantas berlalu menuju terminal keberangkatan. Hanya tas punggung hitam saja bawaan yang ada.

Shima menghela napas panjang. Untuk menghentikan niat Ridian kembali ke Asahan, sepertinya sudah tidak mungkin lagi.

 

Tak Banyak hal yang bisa dilakukan Ridian selama dalam penerbangan. Lamunan panjang yang entah bila kan berakhir. Bahkan wajah-wajah jelita dengan suara-suara sapa manis pramugari tak mampu mengusik lamunannya.

Setiap kali kelopak mata menutup pandangan, setiap kali itu pula wajah Diah menghantui pikiran. Memenuhi setiap jengkal sudut yang ada. Dan setiap kali tirai itu membuka, selalu diiringi bulir-bulir hangat yang menetes turun perlahan.

Hanya kenangan manis yang mampu kini ia simpan rapat di dalam sudut hati, sedikit itu saja mampu menghadirkan senyum di sudut bibir, meski bernaungkan kesedihan.

 

“Maaf, alamat ini di mana, ya?”

Itulah kalimat pertama yang tak bisa ia hilangkan. Kebingungan gadis Sunda dan dua sahabatnya, seakan diatur oleh Dewi Cinta membimbing gadis manis bertanya pada Ridian kala itu. Perkenalan singkat yang akhirnya mengantarkan Ridian untuk mengenal lebih jauh sosok Diah.

Kebersediaan Ridian menemani liburan Diah dan kedua temannya menumbuhkan keakraban lain. Secercah, tapi menyesakkan. Di saksikan Air Terjun Alam Tani dan panorama indah bak pelaminan megah yang menyatukan rasa kedua insan.

 

Iringan bayu senja yang bertiup

Membisikkan cintaku padamu

 

Seminggu dalam kebersamaan, cinta tumbuh mekar dalam sekejap. Menautkan dua hati dalam janji ikatan. Cinta pertama yang datang bersamaan, mengguris dalam dengan tinta keindahan.

Bahkan Ridian tidak memiliki keraguan sedikit pun dalam hati kala mempertemukan Diah dengan kedua orang tuanya, meski harus dengan alasan ingin mengambil pakaian cadangan.

Tutur yang halus, dan laku yang lembut telah menarik hati kedua orang tua Ridian. Diah tak ubah Dewi yang hadir menyegarkan suasana rumah. Mencoba masakan Melayu, satu candu baru bagi Diah. Memantapkan hatinya bila Ridian adalah cinta pertama dan terakhirnya.

Melepas Diah kembali ke Pulau Jawa adalah sesuatu yang teramat menyakitkan bagi Ridian. Meski jalinan asmara tetap terjaga lewat suara manja di balik ponsel. Namun tiada mengapa, janji telah diikrarkan, pantang bagiku untuk mengingkari, begitu sumpah Ridian di hati.

 

Bagaikan dedaun layu

Yang gugur kekeringan

Dahaga

Mengharapkan rindumu

 

Pagi itu, kabar dari Diah seakan menjawab kerinduan yang ditahan Ridian. Dengan izin orang tua, Ridian berangkat ke Jakarta. Rasa yang ditahan sedikit demi sedikit semakin menyesakkan dada. Menyiksa hayalan Ridian dengan mesra, bergelayut manja.

Berbekal alamat yang tertera di pesan ponselnya, Ridian melanjutkan perjalan menuju Kota Tasikmalaya, diantar sepupu sekaligus satu-satunya sahabat yang ia punya di Jakarta—Shima.

Tingkah Ridian yang begitu tidak sabaran, dan selalu menggebu-gebu kala membicarakan sosok Diah, membuat Shima geli sendiri. Sepupu yang ia kenal dulu jauh lebih pendiam dan mampu mengekang rasa. Namun kini, jauh berbeda. Senyum itu, raut wajah itu, mimik tubuh itu… semuanya mewakili perasaan pria itu. Ya, cinta. Shima ikut merasa bahagia untuk sepupunya tersebut.

 

Oh berikanku sinaran

Agar dapat kutempuh perjalanan hidupku

 

Jalan cerita anak manusia, tiada yang bisa menerka. Sesampai di Kota Tasikmalaya, Ridian dihadapkan akan kenyataan… memilukan.

Benar, ia dan Shima disambut keluarga Diah. Bukan dengan senyum bahagia merekah, namun dengan tangis yang merebak. Menghantam kuat relung yang baru terbina, remuk tak berbentuk.

 

“Ha—ai,”

Ridian tak kuasa menjawab, sapa lemah dari sosok yang yang selama ini mengambil alih pikiran dan hatinya, bahkan mimpinya sekalipun itu.

Tidak seorang pun di dalam ruangan bersih beraroma obat-obatan itu, hanya Ridian yang duduk di samping Diah. Menemani gadis yang di sekujur tubuhnya terdapat luka menganga, perban, dan selang infus, bahkan selang oksigen. Di mata Ridian, semua itu terlalu menyakitkan. Untuk Diah, untuk hatinya sendiri.

Ke mana perginya rambut panjang dan hitam legam yang dulu tergerai indah?

Ridian melenguh menahan sesak, mendekap erat tangan Diah ke dadanya.

“Ma—afkan, aku,” lirih Diah. “Ka—mu tahu, mung—kin benar u-ucapan orang tua. Tidak ba-baik ter—lalu berharap…”

“Diah, sudah. Jangan teruskan.”

Ridian menggerung, membelai kepala Diah yang nyaris tertutup perban keseluruhannya. Bahkan gadis itu hanya mampu memandang pria pujaan dengan sebelah mata saja. Satu yang lainnya… Ahh… Ridian tak lagi kuasa menahan isak. Sengaja membenamkan wajahnya di pinggiran ranjang, meredam tangisnya sendiri.

Diah memaksa bibir yang kaku untuk mengulas senyum. Paling tidak, untuk yang terakhir kalinya pada orang terkasih.

“A-aku terlalu senang,” bulir hangat akhirnya jatuh juga, namun Diah menekan sesak yang ada dengan sisa kehidupan yang tinggal tak seberapa. “Ing—in menjemputmu ke… ke Jakarta.Ta-tapi—“

Diah terdiam, ucapannya hanya bergema di tenggorokan. Bibir Ridian menjawab semuanya, memaksa bulir hangat jatuh lebih banyak lagi, dan lagi.

“Ma—afkan aku, Rid…”

 

Senyum tangis sendamu

Sentiasa di hatiku

 

Selama prosesi pemakaman itu, tak sedikit pun Ridian beranjak. Nanar menatap tubuh orang terkasih dikuburkan, dan menghilang di balik timbunan tanah. Hanya air mata tanpa suara yang menjawab setiap ada tangan-tangan yang menyentuh pundaknya.

Shima tak banyak bicara. Bagaimanapun, ia ikut merasakan kepedihan itu. Setia mendampingi Ridian, bahkan hingga orang-orang berangsur-angsur meninggalkan makam.

“Nak,” satu tangan menyentuh lembut pipi Ridian. “Relakan, Diah, ya? Mungkin—bukan jodoh… ka-kalian.”

Runtuh sudah pertahanan Ridian, ucapan ibunda dari orang terkasih memaksa lututnya bertekuk. Tertunduk di depan kubur basah. Diah, sang gadis pujaan hati telah pergi. Kecelakan maut yang menimpa Diah, memisahkan asa dua hati yang kini telah pun memiliki dunia berbeda.

“Rid,” panggil Shima di sela isak.

Ridian meluahkan sesak di dada, tangis menjadi-jadi melumpuhkan logika, memeluk kuburan orang tercinta.

“Sudah, Rid, sudah.” Shima memeluk punggung sepupunya itu. Getaran tubuh Ridian, sungguh menggambarkan betapa ia sangat kehilangan, itu yang dapat Shima rasakan.

 

Namun kini

Kau tiada di sisi

 

Di sinilah Ridian kini. Di atas pesawat yang akan membawanya kembali ke Tanah Sumatera. Namun tidak lagi dengan harapan di hati, semua hilang. Hampa…

 

Mengapakah perpisahan terjadi dalam cintaku

Ketika kumemerlukan kasihmu

Kota Tasikmalaya mencermin kenangan syahdu

Berderai air mata piluku

 

-----o0o-----

Sumber syair dari lirik lagu; Cinta Tasikmalaya – Asahan.

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 25 Desember 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun