Ridian hanya mengangguk, lantas berlalu menuju terminal keberangkatan. Hanya tas punggung hitam saja bawaan yang ada.
Shima menghela napas panjang. Untuk menghentikan niat Ridian kembali ke Asahan, sepertinya sudah tidak mungkin lagi.
Tak Banyak hal yang bisa dilakukan Ridian selama dalam penerbangan. Lamunan panjang yang entah bila kan berakhir. Bahkan wajah-wajah jelita dengan suara-suara sapa manis pramugari tak mampu mengusik lamunannya.
Setiap kali kelopak mata menutup pandangan, setiap kali itu pula wajah Diah menghantui pikiran. Memenuhi setiap jengkal sudut yang ada. Dan setiap kali tirai itu membuka, selalu diiringi bulir-bulir hangat yang menetes turun perlahan.
Hanya kenangan manis yang mampu kini ia simpan rapat di dalam sudut hati, sedikit itu saja mampu menghadirkan senyum di sudut bibir, meski bernaungkan kesedihan.
“Maaf, alamat ini di mana, ya?”
Itulah kalimat pertama yang tak bisa ia hilangkan. Kebingungan gadis Sunda dan dua sahabatnya, seakan diatur oleh Dewi Cinta membimbing gadis manis bertanya pada Ridian kala itu. Perkenalan singkat yang akhirnya mengantarkan Ridian untuk mengenal lebih jauh sosok Diah.
Kebersediaan Ridian menemani liburan Diah dan kedua temannya menumbuhkan keakraban lain. Secercah, tapi menyesakkan. Di saksikan Air Terjun Alam Tani dan panorama indah bak pelaminan megah yang menyatukan rasa kedua insan.