“Ar—yan… la—lari!”
Hanya dua kata, dan kepala itu terkulai, terhempas ke tanah seiring air mata mengalir deras di kedua pelupuk mata Aryan.
“Woiii, kenapa kau membunuhnya…?!” seseorang memprotes tindakan rekannya.
“Relax men… gak akan ada yang tahu. Tenang aja!”
Pria bertato itu terkekeh. “Ya sudah. Terpaksa kau juga harus membunuh bocah di sana itu!”
Ketakutan menjalari sekujur tubuh Aryan. Ia cukup mengerti ucapan preman-preman bayaran perusahaan itu, dua tahun kebersamaannya dengan pria yang tersungkur di hadapannya itu, Aryan telah belajar banyak hal. Bahasa, juga arti pentingnya hutan ini bagi kehidupan.
Aryan beringsut cepat, bangkit dan lantas berlari menuju pedalaman hutan. Hanya sebilah Mandau yang mampu ia bawa.
Suara tangis menggelegar. Meraung panjang, bersahutan dengan suara-suara hewan liar, seakan ikut menangisi kematian pria dari Tanah Jawa yang selama dua tahun ini “merawat” mereka.
Cahaya lampu yang tak sengaja berkelabat di wajah Aryan menyadarkan lamunannya. Aryan berdiri di cabang pohon itu, tak lagi ingin menyembunyikan diri. Mengusap lelehan air mata. Meraih Tengkulas di pinggang dan mengikatkannya ke kepala, lantas menghunus Mandau. Tekadnya sudah pasti.
Lincah, Aryan turun dari satu cabang ke cabang lain, hingga kedua kaki nan telanjang menginjak tanah.