“Tapi, ngkoa doho,” lanjut pria berbadan tegap itu. “Ngkoa samua ngambarant, sidi galiknya urakng-urakng dari suku luar tarhadap urakng tuha nyu. Urakng panjagu nang na galik ngadapi ahe pun,”
(translet; “Tapi, itu dulu. Itu semua menggambarkan, betapa takutnya orang-orang dari suku luar terhadap Leluhurmu. Seorang Kesatria yang tidak akan gentar menghadapi apa pun,”)
“Tapi, aku na paranah nuan,” sahut Aryan, “Nana paranah balajar lemae jadi urakng panjagu. Pangalima,”
(translet; “Tapi, saya tidak pernah tahu. Tidak pernah belajar bagaimana menjadi seorang pejuang. Kesatria,”)
Pria itu kembali hadirkan seulas senyum memandang Aryan. Ia melepas tombak di punggungnya, dan menancapkan tombak tersebut di sisi api unggun.
“Aku… cuma kapengen ngalimungk ngi abut,” Aryan mendesah sedih mengingat perlakuan orang-orang kota tadi terhadap hutan dan hewan liar di dalamnya. “Ngkoa ja,”
(translet; “Saya… hanya ingin melindungi hutan. Itu saja,”)
“Kamuda baga,” pria itu tertawa halus. “Jadi urakng panjagu na arus munuh urakng lain. Dan ngalimungk ngi abut-abut nian, alam nian, kao udah jadi urakng nang jagu,”
(translet; “Anak bodoh. Menjadi seorang Kesatria tidak harus membunuh orang lain. Dengan melindungi kehidupan hutan ini, alam ini, kau sudah menjadi seorang Kesatria,”)
Aryan mengangkat wajahnya. Ia begitu senang mendengar itu. Tentu saja ia berharap memiliki kekuatan lebih, agar tidak ada lagi pohon-pohon tua tumbang, agar tak ada lagi hewan-hewan yang mati dibunuh sia-sia. Agar… tidak ada lagi orang yang ia sayangi seperti pria dari Tanah Jawa dulu itu, mati.
Aryan tahu, pria itu pastilah dengan senang hati mengajarinya cara melindungi hutan. Membawanya ke jalan seorang Kesatria.