“Apak nyu sae?” – ( Bapak siapa? ) tanya Aryan, tidak sedikit pun ada bias takut pada pria itu, meski ia sangat asing dalam pandangan Aryan. “Jahe sidi babeda dari kami? Ahe ke Apak dari urakng kota ngkoa?”
(translet: “Kenapa terlihat sangat berbeda dari kami? Apa Bapak bagian dari orang-orang kota itu?”)
Pria itu mengumbar tawa. Entah kenapa, bagi Aryan tawa itu terdengar mengagumkan, bukan sesuatu yang harus ia takutkan. Paling tidak, begitulah hasutan hatinya. Pria itu bukanlah sosok monster—atau apa pun itu istilahnya. Tidak, aura yang terlihat, dia justru seperti seorang yang mencintai alam.
“Kamu itu—“ ujar pria yang membekal ransel besar di punggungnya itu, setelah puas tertawa. “—Masih kecil, tapi sudah punya penglihatan yang tajam,” pria tersebut sengaja mengalihkan kata; kecurigaan, dan menggantinya dengan; penglihatan tajam. Ia tidak ingin menyinggung perasaan bocah itu, meski ia ragu jika sang bocah mengerti bahasa yang akan ia gunakan.
“Nian… ahe?” Aryan begitu tertarik melihat peralatan pria itu. (“Ini… apa?”)
“Senter,”
“Sen—ter?” ulang Aryan.
Pria itu mengangguk sembari mengelus kepala sang bocah. Aryan tiba-tiba terkesiap saat tak sengaja jemarinya menekan tombol untuk menyalakan senter. Hingga, cahaya yang muncul tiba-tiba tepat menerpa wajahnya. Aryan gelagapan, sepasang mata silau. Pria itu tertawa terbahak-bahak.
Dorrr…
Pria dari Tanah Jawa tersungkur di samping jasad tiga ekor Orangutan. Sebutir peluru menembus punggung hingga ke dadanya. Menyemburkan darah segar seakan menangisi ibu bumi. Menciprat ke wajah dan tubuh Aryan.