Aryan bergegas meraih Mandau yang bersisian dengan kedua ekor ikan di atas batu saat sang bocah mendengar suara beberapa orang, dan segera menghunus senjata tajam bercorak banyak ukiran di kedua sisi lempengannya tersebut.
Namun Aryan boleh bernapas lega, ternyata tiga orang pria dari Suku Dayak Kanayatn yang kebetulan melintas di dekat sang bocah berendam. Seorang di antara ketiga pria itu mengenakan baju Marote dan cawat berbahan kulit yang sama dengan baju tanpa lengan yang ia kenakan. Dan menggunakan hiasan kepala dari sirip daun Anjuang Merah. Sementara dua rekannya hanya mengenakan cawat dari kain saja. Masing-masing mereka membekal sebuah Pisau Lantik yang tergantung di sisi pinggang, dan sebuah Lonjo dalam genggaman.
Sepertinya ketiga pria Kanayatn itu baru pulang dari berburu. Dua orang yang hanya mengenakan cawat, masing-masing membawa hasil buruan. Seorang memanggul seekor kijang dewasa, sementara seorang lagi menjinjing belasan ikan dalam jalinan tali akar.
Aryan naik ke tepian, menghampiri ketiga pria tersebut. Meski ia dari keturunan suku tertua, namun usia yang jauh lebih muda, Aryan tetap terlebih dahulu bertutur sapa. Dan tentu saja, Aryan tidak berharap ketiga pria di hadapannya kini itu tahu perihal darah keturunan yang mengalir di dalam tubuhnya.
Lama Aryan merenungi ucapan ketiga pria Kanayatn siang tadi. Menurut ketiganya, “orang-orang kota” telah membuka lahan baru untuk mendirikan sebuah kilang penyulingan kelapa sawit. Bahkan, kijang yang mereka dapat bukanlah hasil dari berburu, namun kijang itu mereka temukan tergeletak di dekat kilang baru tersebut. Tentu saja telah dalam keadaan mati beberapa saat sebelumnya, sehingga mereka berpikir daripada mubazir, akhirnya mereka membawa tubuh kijang tersebut sebagai bahan makanan. Toh, tubuh kijang masih terasa hangat. Masih mengalirkan darah dari luka di tubuhnya.
Amarah dan kesedihan jelas menaungi wajah yang masih polos itu. Di satu sisi, Aryan bersyukur mengetahui kabar dari pria Kanayatn itu—selain berterima kasih dengan pemberian dua ekor ikan Baung dari ketiga pria tersebut—dengan begitu mungkin ia akan melakukan sesuatu terhadap kilang itu—entah apa pun itu nanti. Namun di sisi lain, Aryan tidak rela jika orang-orang kota itu membabat habis hutan yang selalu dijaga dengan kearifan sukunya selama ini. Itu artinya, turut pula “membabat” kehidupan satwa liar yang bernaung di hutan tersebut.
Yaa, selama ini Aryan tidak pernah melihat kebaikan dari apa yang dilakukan manusia-manusia serakah yang mengaku lebih modern dari sukunya itu. Tidak semenjak dari zaman ayahnya yang dulu adalah Kepala Suku—setidaknya Aryan mengetahui ini dari ibunya.
Satu dekade yang lalu, sang ayah harus menghabiskan waktunya demi memperjuangkan hutan agar tetap utuh, tanpa tersentuh. Meninggalkan Aryan yang baru berusia setahun lebih bersama sang ibu. Hingga akhir hayat sang Kepala Suku—memang, kematian sang ayah bukan karena ulah orang-orang kota itu, tapi karena penyakit yang mendera—hingga sang ibu pun “menyusul”, janji tak jua pernah terbukti.
Janji orang-orang kota—bahkan pemerintah sekalipun—yang diikrarkan begitu lantang pada suku-suku yang ada, tak lebih dari harapan kosong berbalut madu. Lebih banyak kehancuran daripada kebaikan itu sendiri.
Dan coba tebak?
Setiap kehancuran—entah itu penebangan, hingga kebakaran—selalu masyarakat setempat yang disalahkan. Menjadi kambing hitam atas lahan secuil yang mereka garap demi kehidupan yang arif.