Kalani mengeluarkan dua cangkir kopi kecil dan sebuah termos dari dalam tasnya. Lalu mulai membuat jarak untuk menaruh cangkir itu di tengah-tengah kami. Lantas dia menuang termos itu ke dalam cangkir kopi kecil.
"Ini minumlah," Dia mengulurkan cangkir itu ke arahku. Asap keluar dari dalam cangkir kopi, mencari suhu yang lebih dingin.
"Terimakasih." Aku mengucapkan.
Lantas Kalani juga menuang termos kopi untuk dirinya sendiri, dan meminumnya dengan bersemangat.
Sementara itu aku memandangnya dengan penuh ketakjuban. Sebenarnya ini lebih mirip perasaan takut ketimbang mengagumi. Sebab, aku terlalu takut jika kekagumanku itu berlebihan, justru akan membuatku jatuh cinta padanya. Aku takut mencintainya dan itu membuat peluangnya semakin besar untuk menyakitiku? Dan bagaimana caranya aku bisa membela diri?
Selama bertahun-tahun aku menjadi seorang suku Eskimo, yang membangun banteng di tengah gurun salju untuk bertahan hidup dari dunia luar yang dingin dan hendak menyakitiku. Aku tak pernah berkencan dengan seorang perempuan, aku menyukai kamar balok esku. Kupikir, aku akan baik-baik saja. Tapi masalahnya aku punya teman, dan dia terus membujukku bahwa dunia luartidak sekejam yang kupikirkan.
Maka ketika aku berpikir meninggalkan kamar, tak ada yang bisa menjamin aku akan kembali dengan selamat. Tapi semoga saja ada pilihan yang lebih baik ketimbang kembali. Seseorang mengajakku bergabung, misalnya, untuk makan malam di rumahnya. Dan mengajakku menetap, tinggal bersama.
Aku menarik napas. Ketakutan demi ketakutan yang sebelumnya saling susul-menyusul kini berhenti di bagai di lampu merah. Aku berharap bisa menerobosnya, sehingga aku memiliki jarak panjang untuk meninggalkan mereka di belakangku.
"Hai," Kalani mengagetkanku. Dia sungguh mengagetkanku. "Kau melamun!"
Buru-buru aku mengelak. Sebab kalau tidak, itu sama saja membiarkan dia bertanya apa yang sedang kupikirkan. Dia tak boleh yang kupikirkan.
"Hio juga bilang kalau kau ini orang yang suka melamun."
"Dan kau percaya apa yang dikatakannya?"