Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | O, Hari yang Panjang

5 Januari 2018   10:15 Diperbarui: 7 Januari 2018   22:44 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Instagram @oh_long_leslie

Hio berkata ada yang tak kumengerti. Semakin berusaha keras aku menjauhkan diri dengan orang lain, kesempatannya semakin besar ingin merasa dekat dengan mereka.

Sumpah, perutku sakit mendengar pernyataannya itu. Sebab kenyataannya sama sekali berlainan.

Hio menyelaku, "Kau boleh tertawa sepuasmu. Tapi kau akan segera minta maaf padaku jika yang kukatakan benar."

"Aku janji. Aku hidup untuk meminta maaf pada orang lain. Tapi jika kau berkeras bahwa dua orang berbeda bisa saling memahami satu sama lain, kukira kau salah."

"Temui saja dulu."

"Yah, aku akan menemuinya, sepuluh menit cukup untuk saling menyapa, berjabat tangan menyebutkan nama, dan pulang. Lalu dua minggu kemudian saling melupakan satu sama lain tanpa berniat menyingung."

"Kalani akan mengingatmu dalam daftar orang yang perlu diingat."

"Semoga rencanamu berhasil."

"Itu rencana untukmu. Ah. Kenapa aku jadi tergoda mengatakan: betapa tolol kau ini," Hio kesal.

"Kau benar. Tapi, aku tolol karena aku juga punya teman yang lumayan tolol."

"Terserah saja. Tapi kau harus menemuinya. Lima menit lagi dia tiba. Persiapkan dirimu."

"Jika rencana ini gagal," aku berkata, "jangan bilang aku tak menasehatimu."

Hio tidak menjawab. Dia mungkin begitu kesal sehingga dia kehilangan suaranya sendiri.

Aku menyambar jaket di balik pintu kamar, lalu meraih kunci sekuter matik milik Hio, dan langsung tancap gas ke taman kota. Lima belas menit kemudian aku sampai. Aku sengaja mengulur waktu dengan melambatkan laju sekuter matikku. Perempuan itu pasti belum datang. Aku mengira, dia pasti seperti kebanyakan orang yang suka bertindak ceroboh dan membuang-buang waktunya sendiri.

Dugaanku selalu benar. Dia memang belum tiba. Yah, bagaimana mungkin aku berharap dia sempurna, kalau ternyata dia sudah mengecewakanku sejak awal.

Aku berjalan ke arah warung biasa aku dan Hio memesan kopi. Dulu komentar pertamaku soal kopi di warung itu, adalah, kopi yang sama sekali tidak enak yang pernah kurasakan selama hidup di bumi, tapi Hio menasehatiku bahwa aku hanya belum terbiasa. 

Hio benar. Yep. Tapi meskipum Hio benar, dalam kasus ini, kupikir tetap saja tidak mengubah penilaianku terhadap kopi luwak itu. Sebab ketika aku minum kopi di tempat lain, kopi luwak yang selalu diunggul-unggulkan oleh Hio, rangkingnya akan jauh merosot ke dasar, seolah-olah itu layak ia dapatkan.

Aku hanya belum terbiasa, pikiran itu menasehatiku lagi. Dan seringnya terulang-ulang. Kadang kala justru kata-kata itu keluar sendiri, namun dalam kasus yang berbeda.

Aku melangkah hampir sepuluh meter tiba di warung, ketika kedua mata kepalaku tak mempercayai apa yang dilihatnya. Warung kopi itu sepi. Warung kopi itu tidak buka. Mengapa bisa begitu? Mengapa bisa begini? Mengapa ada warung kopi yang tidak enak dan dia tidak buka? Apa yang dia pikirkan? Apa karena aku telah menyinggung perasaannya hingga dia buka namun tutup lebih awal? Pasti ada yang salah. Pasti ada yang tidak beres. Tapi apa?

Warung kopi itu benar-benar sepi. Taman kota masih terlalu pagi sehingga tak orang yang sanggup menjawab rasa penasaranku itu. Sehingga mau tidak mau, aku harus menjawabnya sendiri. 

Mungkin ini, mungkin itu, dan mungkin tidak seperti itu. Aku duduk di bangku kayu panjang, dan mulai berspekulasi dengan otak monyetku yang liar dan pecicilan. Sampai kemudian seseorang menyentuh ujung bangku kayu yang kududuki dan dia duduk di sampingku. Aku dapat merasakan kehadiraannya seakan-akan aku ini tokoh supranatural yang dapat mengawasi pergerakan kecil elemen metafisika yang berada di sekitarku.

Tapi elemen itu ternyata sama sekali bukan hantu atau makhluk astral lainnya yang berkunjung ke warung kopi, yang menyediakan kopi luwak yang tidak enak ini. Dia seorang manusia, lengkap dengan ketidaksempurnaannya, dan dia duduk di sebelahku dengan mengenakan tubuh perempuan.

"Aku tahu, kau pasti kecewa kalau warung ini tidak buka? Hio harusnya memberitahumu sejak awal."

"O, kau Kalani?" Aku bertanya.  

"Kau pasti Caius-caius itu kan? Anak laki-laki yang suka mendemontrasikan dirinya berusia 200 tahun itu?"

"Apa Hio yang bilang seperti itu padamu?"

"Yang konon lagi, percaya kalo perempuan itu cuma jenis hantu jadi-jadian yang diciptakan guna meneror hidup para laki-laki?"

"Hio terlalu banyak bicara."

"Yang merasa dirinya bukan bagian penting dari peradaban, meski bisa dibilang, suka menanam pohon di pot samping rumahnya?"

"Yang--," Kalani hendak mengoceh lagi.

Aku buru-buru menghentikannya sebelum dia berkata yang keterlaluan. "Kau tak boleh menilaiku hanya karena kau memperoleh cerita itu dari orang lain. Kau tak berhak menghakimiku."

"Oh, sekarang kau juga seorang, um," dia menghentikan ocehanya. "Baiklah. Kau mau minum kopi? Aku membawa kopi di dalam tasku."

Kalani sebenarnya, seperti yang Hio bilang, manis dan berpengetahuan luas dan paling penting ajaib. Dia selalu mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna. Itu komentar Hio untuknya. Maka tak heran jika di dalam tasnya ada kopi. Semuanya senantiasa terukur dan mencukupi. Dia sempurna, hanya saja aku yakin, pasti ada celah sebagai sosoknya sebagai manusia biasa yang cenderung penuh ketidaksempurnaan. Tapi apa? Aku pasti tertidur ketika Hio sedang menceritakan kelemahan Kalani di hadapanku tadi malam.

Kalani mengeluarkan dua cangkir kopi kecil dan sebuah termos dari dalam tasnya. Lalu mulai membuat jarak untuk menaruh cangkir itu di tengah-tengah kami. Lantas dia menuang termos itu ke dalam cangkir kopi kecil.
"Ini minumlah," Dia mengulurkan cangkir itu ke arahku. Asap keluar dari dalam cangkir kopi, mencari suhu yang lebih dingin.

"Terimakasih." Aku mengucapkan.

Lantas Kalani juga menuang termos kopi untuk dirinya sendiri, dan meminumnya dengan bersemangat.

Sementara itu aku memandangnya dengan penuh ketakjuban. Sebenarnya ini lebih mirip perasaan takut ketimbang mengagumi. Sebab, aku terlalu takut jika kekagumanku itu berlebihan, justru akan membuatku jatuh cinta padanya. Aku takut mencintainya dan itu membuat peluangnya semakin besar untuk menyakitiku? Dan bagaimana caranya aku bisa membela diri?

Selama bertahun-tahun aku menjadi seorang suku Eskimo, yang membangun banteng di tengah gurun salju untuk bertahan hidup dari dunia luar yang dingin dan hendak menyakitiku. Aku tak pernah berkencan dengan seorang perempuan, aku menyukai kamar balok esku. Kupikir, aku akan baik-baik saja. Tapi masalahnya aku punya teman, dan dia terus membujukku bahwa dunia luartidak sekejam yang kupikirkan.

Maka ketika aku berpikir meninggalkan kamar, tak ada yang bisa menjamin aku akan kembali dengan selamat. Tapi semoga saja ada pilihan yang lebih baik ketimbang kembali. Seseorang mengajakku bergabung, misalnya, untuk makan malam di rumahnya. Dan mengajakku menetap, tinggal bersama.

Aku menarik napas. Ketakutan demi ketakutan yang sebelumnya saling susul-menyusul kini berhenti di bagai di lampu merah. Aku berharap bisa menerobosnya, sehingga aku memiliki jarak panjang untuk meninggalkan mereka di belakangku.

"Hai," Kalani mengagetkanku. Dia sungguh mengagetkanku. "Kau melamun!"

Buru-buru aku mengelak. Sebab kalau tidak, itu sama saja membiarkan dia bertanya apa yang sedang kupikirkan. Dia tak boleh yang kupikirkan.

"Hio juga bilang kalau kau ini orang yang suka melamun."

"Dan kau percaya apa yang dikatakannya?"

"Tidak. Aku malah menyaksikannya sendiri."

"Oke. Apa lagi yang Hio katakan tentangku, tentang semua kelemahanku?"

Kalani meneguk cangkir kopinya lagi. "Itu bukan kelamahan, Caius!"

"Tapi?" tanyaku.

"Hanya hal yang perlu dimaklumi. Seperti saat kau jatuh sakit. Semua orang selalu jatuh sakit," Kalani menghembuskan napas. "Saat melamun. Semua orang butuh me-reset otaknya jika dirasa kerjanya kurang maksimal. Atau segalanya dalam keadaan kekacauan. Tapi akan menjadi salah kalau kau melamun sementara kau berada bersama orang lain. Karena dengan melakukannya kau akan dituduh memikirkan yang tidak-tidak."

"Mesum?" Aku menebak.

"Itu tidak berbahaya. Yang kejam justru kau memikirkan masa depan tapi kau sama sekali tidak mengangkat bokongmu dari tempat dudukmu."

Aku tertawa. Bukan karena dia tahu apa yang kupikirkan. Melainkan justru takut apa yang kupikirkan benar-benar terjadi. Meski pun aku tidak yakin berapa besar tingkat keakuratannya.  

"Hio bilang, " Hio lagi, pikirku. "Kau orang baik-baik. Jadi tidak mengejutkan kalau kau berpikir orang-orang jahat akan melukaimu, hingga kau merasa masa depanmu terancam akannya. Tapi yang jadi pertimbangan, kupikir kau harus mulai percaya pada orang lain."

Aku bertanya-tanya. Mengapa selalu Hio yang dia sebutkan untuk membuka percakapan. Apa dia tidak kenal orang selain Hio, Hio yang lebih menarik dari Hio yang ia kenal. Kupikir ada banyak sekali Hio di dunia ini. Hiu saja ada banyak jenisnya di lautan. Pasti ada jenis lain dari Hio yang ada dipermukaan bumi ini. Aku jadi curiga kalau mereka ada hubungan khusus sehingga merasa perlu menyebutkan nama satu sama lain dalam setiap percakapan.

"Aku selalu ingin menaruh kepercayaanku kepada orang lain. Masalahnya mereka tak punya meja untuk tempatku meletakan cangkir," kataku sambil benar-benar menaruh cangkir kopi di bangku kayu panjang yang kududuki.

"Lagi pula aku punya satu pertanyaan penting, yang lebih mendesak dari sebuah upaya menaruh kepercayaan pada orang lain. Apa hubunganmu denganmu dengan Hio? Kau selalu membawa nama Hio dalam setiap kata-katamu?"

Kalani tertawa. Dia menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Seperti menyembunyikan sesuatu. Aku jadi penasaran apa yang sedang dia sembunyikan itu.

Kalani membuka mulut, "Hio," katanya tertahan. "Bukan siapa-siapa."

Tidak. Itu tidak benar. Pasti ada sesuatu di antara mereka yang selama ini tidak tercium olehku. Pasti ada. "Tapi... Lalu... Apa?"

Kalani menoleh ke arahku. Aku membalas. Untuk beberapa saat mata kami saling bertautan. Kalani meletakkan sebelah tangannya di atas tanganku. Untuk beberapa saat pula, masing-masing tangan kami saling bertumpuk. Ini bahaya pikirku. Aku tak pernah merasa suka jika posisiku berada di bawah. Aku akan dikendalikan orang lain. Aku akan diperbudaknya. Aku pasti akan diperbudaknya. Ini tak boleh terjadi.

Akan tetapi, kata-kata itu muncul lagi. Aku hanya belum terbiasa. Ya. Aku hanya belum terbiasa dikendalikan oleh orang lain. Dan pagi ini, aku merasa benar-benar sedang dikendalikan oleh orang lain karena ketika Kalani meletakan sebelah tangannya di atas tanganku, aku diam saja. Tak bisa menolak alih-alih membiarkannya berada di atasnya untuk beberapa saat sampai kupikir dia telah berhasil menghipnotisku.

Kalani terus memandangku. Aku memandang matanya. Yang cerlang dan bercahaya. Pipi Kalani sungguh mulus dan merah muda. Rambutnya tergerai di pundaknya. Hidungnya kecil. Alisnya hitam jelaga dan dia memiliki kumis tipis di bawah hidungnya.

Aku tahu aku telah terhipnotis oleh kecantikannya. Oleh pengetahuannya membujuk orang lain untuk mendengar setiap kata-kata yang diucapkannya. Kini dari balik bola matanya, bisa kulihat diriku sendiri terjebak di sana. Diriku yang terjebak di dalam cermin. Wajahnya memelas seperti memohon supaya dikeluarkan. Di dalam hati, aku menjawab: aku tidak tahu caranya.

Lalu samar-samar kudengar seseorang perempuan mengatakan, "Hio, temanku. Dia menyukaiku. Tapi aku tak menyukainya. Namun aku menerima usulannya: kalau dia tak cukup hebat untuk diriku, dia bilang, dia masih punya satu orang lagi yang lebih hebat darinya. Dan dia ingin aku mengenalmu."

Kepalaku berputar-putar mendengar penjelasan itu. Bukan karena Hio tidak memberi tahuku sejak awal. Tapi lebih kepada, dia telah menjebakku untuk keluar kamar dan merelakanku supaya dimangsa serigala salju. Mengapa dia bisa begitu jahat?

Dia tak bisa mendapatkan Kalani. Dan agar dia tak mengalami penderitaan patah hati sendiri. Dia mengumpankanku ke arah binatang predator itu. Aku bertanya-tanya. Apa aku sudah cukup tercabik-cabik?

Ya Tuhan. Aku ingin lari.

"Sama seperti yang sudah kau lakukan kepada sahabatku. Kau juga akan melakukan hal sama denganku bukan?"

Kalani mengangkat sebelah tangannya dari tanganku. Tapi lalu dia menaruh dua telapak tangannya tepat di kedua tanganku. Lalu dia berkata, "Namaku Kalani. Aku jatuh cinta denganmu lima menit lalu. Tapi tidak cukup jatuh kalau kau tidak menangkapku. Apa kau ingin menangkapku?"

Demi tuhan. Aku tidak mendengar kata-kata yang diucapkannya. Apa yang baru saja dia katakan? Aku terdiam begitu lama.

"Caius," serunya. "Apa aku membuatmu takut ya?"

"Caius?"

"Caius?"

"Caius?"

Aku tidak menjawab. Aku cuma terbengong-bengong ketika Kalani berkali-kali menyerukan namaku. Lalu seolah khawatir aku berubah sinting, dia bangkit dari tempat duduknya dan segera berlutut di hadapanku. Padahal satu-satunya yang kupikirkan, cuma, aku takut kalau kami tak bisa saling memahami. 

O, hari yang panjang.

***

Ajibarang, 5 Januari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun