Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | O, Hari yang Panjang

5 Januari 2018   10:15 Diperbarui: 7 Januari 2018   22:44 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika rencana ini gagal," aku berkata, "jangan bilang aku tak menasehatimu."

Hio tidak menjawab. Dia mungkin begitu kesal sehingga dia kehilangan suaranya sendiri.

Aku menyambar jaket di balik pintu kamar, lalu meraih kunci sekuter matik milik Hio, dan langsung tancap gas ke taman kota. Lima belas menit kemudian aku sampai. Aku sengaja mengulur waktu dengan melambatkan laju sekuter matikku. Perempuan itu pasti belum datang. Aku mengira, dia pasti seperti kebanyakan orang yang suka bertindak ceroboh dan membuang-buang waktunya sendiri.

Dugaanku selalu benar. Dia memang belum tiba. Yah, bagaimana mungkin aku berharap dia sempurna, kalau ternyata dia sudah mengecewakanku sejak awal.

Aku berjalan ke arah warung biasa aku dan Hio memesan kopi. Dulu komentar pertamaku soal kopi di warung itu, adalah, kopi yang sama sekali tidak enak yang pernah kurasakan selama hidup di bumi, tapi Hio menasehatiku bahwa aku hanya belum terbiasa. 

Hio benar. Yep. Tapi meskipum Hio benar, dalam kasus ini, kupikir tetap saja tidak mengubah penilaianku terhadap kopi luwak itu. Sebab ketika aku minum kopi di tempat lain, kopi luwak yang selalu diunggul-unggulkan oleh Hio, rangkingnya akan jauh merosot ke dasar, seolah-olah itu layak ia dapatkan.

Aku hanya belum terbiasa, pikiran itu menasehatiku lagi. Dan seringnya terulang-ulang. Kadang kala justru kata-kata itu keluar sendiri, namun dalam kasus yang berbeda.

Aku melangkah hampir sepuluh meter tiba di warung, ketika kedua mata kepalaku tak mempercayai apa yang dilihatnya. Warung kopi itu sepi. Warung kopi itu tidak buka. Mengapa bisa begitu? Mengapa bisa begini? Mengapa ada warung kopi yang tidak enak dan dia tidak buka? Apa yang dia pikirkan? Apa karena aku telah menyinggung perasaannya hingga dia buka namun tutup lebih awal? Pasti ada yang salah. Pasti ada yang tidak beres. Tapi apa?

Warung kopi itu benar-benar sepi. Taman kota masih terlalu pagi sehingga tak orang yang sanggup menjawab rasa penasaranku itu. Sehingga mau tidak mau, aku harus menjawabnya sendiri. 

Mungkin ini, mungkin itu, dan mungkin tidak seperti itu. Aku duduk di bangku kayu panjang, dan mulai berspekulasi dengan otak monyetku yang liar dan pecicilan. Sampai kemudian seseorang menyentuh ujung bangku kayu yang kududuki dan dia duduk di sampingku. Aku dapat merasakan kehadiraannya seakan-akan aku ini tokoh supranatural yang dapat mengawasi pergerakan kecil elemen metafisika yang berada di sekitarku.

Tapi elemen itu ternyata sama sekali bukan hantu atau makhluk astral lainnya yang berkunjung ke warung kopi, yang menyediakan kopi luwak yang tidak enak ini. Dia seorang manusia, lengkap dengan ketidaksempurnaannya, dan dia duduk di sebelahku dengan mengenakan tubuh perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun