Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | "Hitting Mices"

29 Desember 2017   06:03 Diperbarui: 30 Desember 2017   00:53 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami berpisah setelah tahun-tahun panjang bersama.
Kami berpisah karena masing-masing merasa tidak cocok. Atau mungkin sebenarnya cocok tapi tujuan kami berbeda. Kalani ingin ke utara sementara aku ingin ke selatan. Kalani ingin aku jauh lebih baik, namun Kalani tidak tahu, aku bahkan jauh lebih buruk dari waktu ke waktu.

Kami berpisah hari itu. Namun karena aku punya firasat kami tak akan bertemu lagi untuk waktu yang lama, aku pun beranikan diri untuk bertanya: apa kau punya nasehat untukku? Dia jawab tidak ada. Tapi aku akan berdoa untukmu, katanya.

Kami berpisah dan setelah tahun-tahun panjang entah bagaimana caranya kami dipertemukan lagi.

Ceritanya agak panjang dan melebar dan menjemukkan. Seperti trick sulap yang ingin kau pelajari secara otodidak dari buku yang kau beli di pasar loak. Karena bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sulap terlalu sulit ditemukan, akhirnya kau menyerah bahkan sebelum kau berhasil memulai. Sungguh menyebalkan belajar dengan cara seperti itu.

Hari itu aku agak suntuk. Aku bosan membaca buku, aku bosan di dalam kamar berlarut-larut, dan seperti banyak penyakit yang umumnya menjangkit seluruh umat manusia: aku kesepian.

Lantas karena aku kesepian dan tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, aku keluar kamar. Berjalan sekitar 50 meter ke jalan raya, lalu menyetop angkot pertama yang melintas di hadapanku. Kupikir aku tak punya tujuan. Tapi siang itu cuacanya sangat terik dan kurasa, aku akan pergi ke mal karena hanya di sanalah tempat dimana hutan pernah dibangun dan dipaslukan kesejukannya. Selain itu mal juga kurasa bukan pilihan buruk untuk kesepianku yang akut. Di mal pasti banyak sekali orang, dengan begitu aku tak lagi merasa kesepian.

Aku turun dari angkot dan berjalan ke arah pintu masuk mal. Pintu otomatis itu terbuka agak kikuk karena aku sempat berdiri lama di situ. Mulanya aku sendiri sempat ragu-ragu apa yang akan kuperbuat di dalam mal.

 Aku tidak membawa uang. Beberapa orang berjalan melintasiku. Mereka memang selalu melintasiku. Seorang sekuriti berseragam gelap, bertubuh besar dan tegap sesekali melirik ke arahku. 

Mungkin tengah mengira kalau kawasan amannya sedang dimasuki seorang penyusup. Tapi ia segera sadar bahwa aku, bukanlah seorang penyusup yang perlu dikhawatirkan. Maka dari itu ia kembali ke fokus matanya untuk memandang ke segala arah.

Setelah cukup bagiku lima belas detik berdiri tanpa makna, akhirnya kuputuskan masuk ke dalam mal. Aku mungkin akan agak jalan-jalan, melihat-lihat jenis orang di dalam mal sebelum akhirnya kuputuskan pulang lagi. Nah sekarang aku mulai mencium aroma aneh yang kuat yang menguar dari dalam tubuhku. Aroma itu bernama kurang kerjaan. Tapi nampaknya menghina orang yang kurang kerjaan, sama saja dengan mencela orang yang bekerja. Sebab manusia yang bekerja adalah manusia yang kurang kerjaan.

Aku berkeliling mal sekitar enam puluh menit tanpa sedikit pun berhenti dan baru bisa berhenti ketika sadar lantai yang kunaiki sudah paling atas. Lalu karena tak bisa berputar-putar lagi, rasanya aku ingin marah karena merasa terjebak.

Tapi entah apa yang menjebakku. Oleh siapa. Aku bahkan tidak yakin jika yang menjebakku adalah seseorang, memangnya siapa orang yang tega menjebakku untuk datang ke sini. Aku begitu marah. Namun ketika kulihat orang-orang di dalam mal, hatiku sedikit tentram. Ternyata bukan hanya aku saja yang diundang, tapi mereka semua.

Aku memutuskan turun. Aku mendekati eskalator yang akan membawaku turun. Namun segera berubah pikiran ketika dari pandanganku, kupikir aku akan berdiri sebentar di tepi pagar eskalator untuk menyaksikan orang-orang di berada bawahku.

Menyaksikan orang-orang di bawahku nampaknya bisa jadi kegiatan menarik. Aku tidak tahu dimana sisi menariknya. Tapi melihat mereka seperti bidak catur di atas papan yang dapat bergeser-geser sendiri membuatku merasa nyaman. Namun jauh dari itu sebetulnya aku cuma ingin tahu apa yang mereka pikirkan. Apa tanggapan mereka ketika tahu bahwa diri mereka sedang mendekati jebakan? Apa yang akan mereka lakukan? Apa mereka tak pernah khawatir?

Aku selalu khawatir terjebak di suatu tempat dan tak bisa keluar dari dalamnya. Akhir-akhir ini aku bahkan sering merasa terjebak di dalam tubuh sendiri dan itu membuatku ingin menangis. Bukan karena tak bisa menemukan jalan keluarnya. Melainkan aku ragu apa jalan itu masih ada.

Aku melamun lama di tepi tangga eskalator sampai kukira seseorang menepuk pundakku sekali dan dia berkata, "Mau bunuh diri ya?"

Aku memutar leherku tiga puluh derajat. Kalani. Lalu karena aku tahu dia Kalani aku segera menjawab, "Jangan sok tahu."

"Jika bukan, berarti kau harus berpikir ulang kalau mau melompat dari atas sini. Kata orang, manusia itu dilahirkan dengan sepasang sayap. Tapi kalau kau percaya padaku, rata-rata sepasang sayap itu tak bisa diandalkan ketika kita sedang butuh. Dan ketika kau mendapati dirimu sendiri melayang di udara bebas dan sepasang sayap itu tidak muncul mengepakan dirinya  maka sebaiknya kusarankan jangan menyesal."

"Sudah kubilang. Aku tak ingin bunuh diri."

"Aku tidak membenci kok, sama orang yang memutuskan bunuh diri."

Kata-katanya sungguh kasar. "Kenapa kau bersikap kasar padaku?"

"Dengan berharap kau bunuh diri, maksudmu?"

"Ya."

"Yah, jangan salah sangka. Aku datang ke sini dengan membawa perdamaian, dan aku ingin membaginya untukmu."

"Benarkah?" Aku meledek. "Kalau kau tahu, aku sudah cukup damai dengan diriku sendiri."

"Kau tak pernah berubah sampai kapan pun!"

"Aku memang tak akan pernah berubah demi orang lain."

"Hei," katanya. "Kau begitu marah?"

"Menurutmu begitu?"

"Ya. Dan, apa menurutmu kita sudah mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar?"

"Kalau pun iya," sergahku, "Kau pastilah yang akan menuduhku bahwa akulah yang mulai lebih dulu."

"Hai, Caius," Kalani menepuk pundakku sekali lagi. Tapi dia tak memindahkan tangannya. Tangannya menempel di pundakku, "Aku sudah jadi orang yang berbeda loh, sejak berpisah denganmu. Aku sudah jadi yang orang santai, kau tahu?"

"Begitu ya?" Aku balik bertanya. Meminta kepastian. Apa dia benar-benar seperti sosok yang dikatakan.

"Menurutmu?"

"Entahlah," aku mengungkapkan keraguanku. "Tapi setelah bertahun-tahun kita berpisah, pasti ada sesuatu yang berubah darimu dan ada sesuatu yang tak bisa kau ubah dari dirimu. Pasti ada."

"Ah," Kalani mendesah. Lalu bagai seekor cicak, ia mengecapkan lidahnya sebanyak tiga sekali dan berkata. "Kau separuh benar."

Lantas setelah dia berkata seperti itu, tanpa persetujuanku, Kalani menarik pergelangan tanganku dengan agak memaksa supaya ikut bersamanya.

Aku bertanya kita mau kemana? Kalani menjawa dengan sedikit berkelakar: menjauhi tepi pagar agar aku tak punya kesempatan bunuh diri, katanya. "Karena masih banyak hal yang asik buat dimainkan."

Aku tidak tahu apa yang menurutnya asik dimainkan itu. Tapi sebagai gantinya Kalani membawaku ke permainan anak-anak yang sering dinamakan Time Zone.

Apa yang akan kami lakukan di sini pikirku. Kalani melepaskan pergelangan tangannya dari tanganku lantas langsung menuju meja kasir. Tak butuh waktu lama buat dia kembali. Kemudian untuk kedua kalinya Kalani menarik pergelangan tanganku lagi.

Kini kami berdiri di depan mesin warna-warni seperti meja namun permukaannya dipenuhi lubang. Lubang itu berjumlah sepuluh dengan diameter kira-kira tujuh senti. Di samping kanan kiri meja mesin itu ada dua buah palu karet yang diikat dengan tali kawat. Ada layar digital yang dipenuhi lampu warna-warni dan kedap-kedip yang menunjukkan angka nol. Kalani merogoh saku jaketnya lalu memasukkan sekitar sepuluh uang koin ke dalam mesin itu.

"Nah," katanya. "Ayo kita bersenang-senang."

Bersenang-senang? Aku terbengong-bengong dengan ucapan Kalani 'bersenang-bersenang'.

"Ini untukmu," pintanya sambil memberiku sebuah palu karet berwarna biru. Lalu seolah-olah ingin membuatku kaget seekor boneka tikus tanah keluar dari dalam lubang mesin itu. Menyembulkan dirinya di antara kita. Kalani segera mengambil palu bagiannya dan memukul dengan keras tikus tanah itu. Tapi kukira pukulannya tak meleset.

"Ayo, Caius, apa yang kau tunggu!"

Seekor tikus tanah, menyembul lagi dari balik lubang.

Kalani segera mengusirnya dengan memukul kepala tikus tanah itu sekuat tenaga yang dia harapkan.

Aku berpikir sepertinya mengasikan juga bisa memukul sesuatu tanpa membuatnya rusak.

Kini laju sembulan tikus tanah itu semakin cepat. Meja mesin itu lumayan sepit. Tapi ada sepuluh lubang yang harus dijaga. Namun kurasa kami bisa berbagi tugas. Lima lubang untukku dan lima lubang untuk Kalani. Tapi kurasa, Kalani tak ingin berbagi lahan denganku karena dia ingin memiliki segalanya.

Kalani kembali memukul seekor tikus tanah dari lubangnya yang dekat dengan paluku. Kali ini ayunannya tepat. Poin kami pun bertambah. Kupon kami pun perlahan-laham keluar.

"Yah, ayo kita lakukan!" Aku bersemangat. Aku mengayunkan paluku dan lamat-lamat aku dapat merasakan dewa Odin memberi energi positif ke dalam palu karetku seperti yang dilakukannya pada mjolnir, palu milik putranya, Thor.

Tak bisa dipungkiri, permainan pukul kepalaku, kata si tikus tanah, sungguh menyenangkan. Aku bahkan tak bisa berhenti berkeringat ketika melakukannya. Maka untuk mengatasi rasa penasaranku, aku pun bertanya pada Kalani, seorang perempuan yang berdiri di sampingku, jenis permainan apa ini, apa nama permainan ini?

Kalani sama bersemangatnya dengan tikus-tikus tanah yang menyembul dan menunggu dipukul kepalanya, menjerit tanpa menatap mukaku, menjawab, "Hitting Mice!" Kalani  memukul satu kepala tikus tanah lagi.

Di Time Zone, suaranya sungguh berisik. Kami tak punya pilihan kecuali bercakap-cakap dengan cara menjerit-jerit macam orang kesurupan.

"Kau sering melakukannya?" Teriakku.

"Tidak!" Kalani membentak sambil memukul satu kepala tikus tanah. "Tidak sampai kita putus, dan aku begitu marah karena sejak awal tak pernah tahu kita tak pernah cocok dalam segala hal."

"Dan kau sempat marah padaku juga?" Aku mengetok satu kepala tikus dengan pelan. Lalu menengok ke muka Kalani.

"Sangat marah. Bahkan aku ingin memukul kepalamu seperti kepala tikus-tikus ini."

"Kau bukan orang yang kejam," Aku berteriak.

"Aku orang yang kejam," Kalani membalas.

Kalani memukul lagi. Aku juga ikut memukul tikus tanah itu. Sesekali kadang karena firasat kami benar bahwa lubang berikutnya adalah lubang si tikus tanah akan muncul, kami sama-sama mengayunkan pukulan. Tapi bukan kepala tikus yang kami dapat, justru kepala kami lah yang serasa dipukul ketika tak sengaja saling berbenturan. Saat itu situasinya mendadak kikuk, tapi segera kembali normal seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku berteriak, "Aku juga membencimu yang semena-mena hadir di hidupku." Aku memukul satu kepala tikus dengan kuat. Seakan-akan aku mendapatkan tambahan energi di sekitarku. Seakan-akan aku begitu marah dan tak bisa dibendung, lantas menyalurkannya dengan pukulan yang begitu kuat.

Kepala tikus tanah tadi, yang kupukul kepalanya dengan keras, dengan cepatnya masuk ke dalam sarang. Poin kami menambah drastis. Meningkat tajam.

Lalu, Kalani, untuk pertama kalinya sejak permainan dimulai, menengok ke arahku. Dari matanya aku bisa melihat kalau dia merasa sangat heran sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Lantas tiba-tiba tikus-tikus tanah itu tidak muncul lagi dari balik lubang.

Kalani berkata, "Kau kenapa?"

Kujawab, "Aku tidak apa-apa."

"Baiklah," katanya.

Kalani kembali memasukkan uang koim ke dalam lubang mesin. Kali ini lebih banyak dari pada sebelumnya.

Raut muka Kalani kini berubah amat serius. Aku tak pernah melihat dia seserius itu. Kalani memegang palu karet di tangan kanannya kurasa dengan kekuatan begitu penuh. Dia menanti dengan khimad seekor kepala menyembul dari balik lubang. Dan.... Ketika seekor kepala tikus tanah menyebul penuh ketakutan, Kalani memukulnya dengan amat kuat, begitu kuat, bahkan kurasa lebih kuat dari pada pukulanku sebelumnya.

Poin kami pun bertambah sangat banyak. Kupon kami keluar tergulung-gulung.

Kalani kembali berteriak sambil mengayunkan pukulannya, "Aku juga sangat membenci orang di sampingku. Sangat membencinya seperti seharusnya pepatah membenci tupai yang jatuh dari atas pohon."

Brak!

Tak mau kalah, aku pun membalas, "Bahkan kebencianku tak tertangguhkan!"

Brak!

"Seharusnya dia tak diciptakan di dunia ini."

Brak!

"Dan dia sungguh tidak layak untuk dimaafkan!"

Brak!

"Aku tidak akan memafkannya. Bahkan sekalipun dia bersujud kepayahan menyembah-nyembahku seperti tuhan."

Aku yang mulanya, juga, ingin meluapkan kekesalanku kepada Kalani malah justru urung, karena dengan kemarahannya dia sempat-sempatnya membuat kalimat humor.

Aku segera membalas, "Tentu saja aku tidak akan meminta maaf padanya. Bahkan kalau dia berharap aku menyebahnya seperti tuhan, aku pastilah umatnya yang bandel dan kafir. "

Brak!

"Aku akan membunuh umatku yang bandel dan kafir."

Brak!

"Dengan ijinmu, aku tak akan terbunuh. Bahkan sekalipun orang di sampingku boleh dipinjami palu dewa Thor."

Brak!

Kalani tertawa. Kalani tertawa. Kenapa dia tertawa? Pikirku. Tidak. Tidak. Itu tidak penting. Aku tidak akan menggangunya saat dia tertawa. Aku tidak akan bertanya kenapa dia tertawa.

Sebab aku mengira mungkin inilah hari terakhir aku bisa melihatnya tertawa. Aku mungkin tak akan melihatnya tertawa seceria itu. Yah, maka aku harus. Mengambil inisiatif segera mengabadikan tawanya itu.

Aku lekas-lekas merekam tawanya di kepalaku, merekam ekspresi bibirnya, dahinya, pipinya yang berkerut ketika ia sedang tertawa.

Aku buru-buru memindai perangai Kalani di arsip pikiranku ketika ia hari ini ia tertawa.

Kelak aku tahu betul, aku membutuhkan tawa cerianya itu untuk menghibur diriku sendiri ketika kesepian. Ketika dia tak lagi berada di sampingku. Ketika dia tak berada di sampingku seperti hari ini.

Mengingat kami sudah berpisah, aku tak yakin apa yang bisa kupastikan di masa mendatang. Pertemuan dan perpisahan, dua hal yang berbeda. Meski begitu kurasa keduanya sama-sama sebuah program yang dikemas dalam bentuk permainan.

Aku dan Kalani adalah korban. Tikus-tikus malang itu. Yang tak sengaja melongokkan kepalanya, ingin melihat matahari bersinar, udara bersih, namun tiba-tiba sesuatu memergoki kami, menggetok ubun-ubun kami. Memukul kami.

Aku sudah muncul. Dan kurasa ingin segera menarik leherku, tapi tak bisa. Aku sudah kepergok.

Andi Wi

Ajibarang, 29 Desember 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun