"Menurutmu?"
"Entahlah," aku mengungkapkan keraguanku. "Tapi setelah bertahun-tahun kita berpisah, pasti ada sesuatu yang berubah darimu dan ada sesuatu yang tak bisa kau ubah dari dirimu. Pasti ada."
"Ah," Kalani mendesah. Lalu bagai seekor cicak, ia mengecapkan lidahnya sebanyak tiga sekali dan berkata. "Kau separuh benar."
Lantas setelah dia berkata seperti itu, tanpa persetujuanku, Kalani menarik pergelangan tanganku dengan agak memaksa supaya ikut bersamanya.
Aku bertanya kita mau kemana? Kalani menjawa dengan sedikit berkelakar: menjauhi tepi pagar agar aku tak punya kesempatan bunuh diri, katanya. "Karena masih banyak hal yang asik buat dimainkan."
Aku tidak tahu apa yang menurutnya asik dimainkan itu. Tapi sebagai gantinya Kalani membawaku ke permainan anak-anak yang sering dinamakan Time Zone.
Apa yang akan kami lakukan di sini pikirku. Kalani melepaskan pergelangan tangannya dari tanganku lantas langsung menuju meja kasir. Tak butuh waktu lama buat dia kembali. Kemudian untuk kedua kalinya Kalani menarik pergelangan tanganku lagi.
Kini kami berdiri di depan mesin warna-warni seperti meja namun permukaannya dipenuhi lubang. Lubang itu berjumlah sepuluh dengan diameter kira-kira tujuh senti. Di samping kanan kiri meja mesin itu ada dua buah palu karet yang diikat dengan tali kawat. Ada layar digital yang dipenuhi lampu warna-warni dan kedap-kedip yang menunjukkan angka nol. Kalani merogoh saku jaketnya lalu memasukkan sekitar sepuluh uang koin ke dalam mesin itu.
"Nah," katanya. "Ayo kita bersenang-senang."
Bersenang-senang? Aku terbengong-bengong dengan ucapan Kalani 'bersenang-bersenang'.
"Ini untukmu," pintanya sambil memberiku sebuah palu karet berwarna biru. Lalu seolah-olah ingin membuatku kaget seekor boneka tikus tanah keluar dari dalam lubang mesin itu. Menyembulkan dirinya di antara kita. Kalani segera mengambil palu bagiannya dan memukul dengan keras tikus tanah itu. Tapi kukira pukulannya tak meleset.