"Ya."
"Yah, jangan salah sangka. Aku datang ke sini dengan membawa perdamaian, dan aku ingin membaginya untukmu."
"Benarkah?" Aku meledek. "Kalau kau tahu, aku sudah cukup damai dengan diriku sendiri."
"Kau tak pernah berubah sampai kapan pun!"
"Aku memang tak akan pernah berubah demi orang lain."
"Hei," katanya. "Kau begitu marah?"
"Menurutmu begitu?"
"Ya. Dan, apa menurutmu kita sudah mirip sepasang kekasih yang sedang bertengkar?"
"Kalau pun iya," sergahku, "Kau pastilah yang akan menuduhku bahwa akulah yang mulai lebih dulu."
"Hai, Caius," Kalani menepuk pundakku sekali lagi. Tapi dia tak memindahkan tangannya. Tangannya menempel di pundakku, "Aku sudah jadi orang yang berbeda loh, sejak berpisah denganmu. Aku sudah jadi yang orang santai, kau tahu?"
"Begitu ya?" Aku balik bertanya. Meminta kepastian. Apa dia benar-benar seperti sosok yang dikatakan.