Mohon tunggu...
Rahmah Aulia N
Rahmah Aulia N Mohon Tunggu... Dokter - Pelajar SMAN 28 Jakarta

Rahmah Aulia Nandita (29) - XI MIPA 4

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semua Terasa Begitu Nyata

29 November 2020   20:12 Diperbarui: 29 November 2020   20:15 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sekian pemaparan proyek yang telah rampung diselesaikan oleh tim kami. Terima kasih semua atas kerja kerasnya. Selamat malam."

Tepukan tangan yang meriah diberikan kepadaku. Bahkan petinggi-petinggi di kantorku ikut bertepuk tangan. Proyek pekerjaan yang telah aku kerjakan sukses besar. Sebagai ketua tim, aku merasa sangat bahagia dan lega.

Aku adalah pria berumur 28 tahun, seorang karyawan yang memiliki jabatan dan pekerjaan yang sangat bagus untuk usia pria yang belum genap 30 tahun. Semua orang di kantor memuji kualitas kerjaku. Bisa dibilang, kehidupanku saat ini hampir sempurna. Aku memiliki keluarga kecil yang sangat bahagia. Ada istriku yang selalu menemani dan mendukungku dan juga seorang putri kecilku, Kyara, yang masih berumur 3 tahun. Tetapi, tak ada satu pun orang yang tau, apa yang sudah aku lewati selama ini.

Dreeeetttt dreettttt

Handphoneku bergetar tanda ada telepon yang masuk. Nama istriku tertulis di layar handphone.

"Iyaa halo, Bun?"

"Ayaahhh.... Yara udah kangen Ayah. Mau pulang aja biar ketemu Ayah...." anak itu langsung merengek.

"Hahaha kemaren siapa coba yang maksa-maksa minta liburan di rumah Eyang padahal tau Eyang lagi sakit," jawabku sambil tertawa.

Eyang adalah ibu mertuaku.

"Gak papa, Yah. Kan Eyang udah ketemu aku, jadi udah sembuh, kan aku obatnya," celetuk anak kecil itu.

"Yara mau main kuda-kudaan, tapi Bunda bilang Eyang gak bisa jadi kuda-kudaan Yara. Cuma Ayah yang bisa. Yara kangen Ayah.... Huhuhu", lanjutnya tiba-tiba.

"Iyaa jangan ya, Nak. Kasian Eyang, kan lagi sakit,"

"Iya deh, Yah. Dadah Ayah, tunggu Yara pulang yaa. Low you, Ayah...." kata Kyara yang selalu salah menyebut kata 'love'.

"Love, Ra... bukan low. Iyaa, dadah....."

Nuttt nutt nutt

Aku berjalan ke tempat mobilku terparkir. Aku akan langsung pulang. Hari ini aku cukup lelah dan hanya ingin langsung istirahat dan tertidur. Aku segera melaju menuju apartemen tempat aku dan keluargaku tinggal.

Sesampainya, aku langsung bersih-bersih dan siap untuk tidur. Merebahkan diri di atas kasur yang empuk. Seharusnya aku bisa langsung tertidur karena aku sudah sangat lelah. Tetapi aku tidak bisa tertidur. Gelisah. Tiba-tiba aku teringat album foto masa kecilku. Huh, lagi-lagi aku masih mengingat masa itu. Hatiku benci, tetapi tanganku malah sibuk mencari album foto yang sudah usang yang aku sembunyikan di dalam lemari pakaian. Akhirnya ketemu. Album kecil yang sangat aku benci, tetapi aku tidak pernah bisa melupakan kenangan di dalam album foto itu.

Lembar demi lembar aku buka. Aku merindukan mereka. Terlihat Papa, Mama, Abang, dan aku tersenyum bahagia di semua foto itu. Mulai dari foto di atas perahu, foto kami membuat istana pasir, hingga foto di pantai sambil memegang kelapa utuh, kaki yang basah terkena deburan ombak. Semua foto itu adalah momen kebahagiaan Abang. Abang sangat menyukai pantai. Mukanya sangat bahagia di foto-foto itu. Aku terus membuka album, sampai pada lembar terakhir, dimana aku dan Abang sedang di dalam mobil. Aku memakai setelan jas kebesaran. Itulah awal dari semuanya.

"Hati-hati, Bang, bawa mobilnya. Ikuti rambu lalu lintas, jangan ngebut-ngebut," kata Papa. Abang langsung mengacungkan jempolnya. Tanda mengiyakan.

"Kami pergi dulu, Ma, Pa, doain Dika semoga lancar acaranya," kataku sambil mengikat tali sepatu yang Abang pinjamkan untukku.

Setelan jas yang agak kebesaran dan sepatu mahal yang aku pakai ini adalah milik Abang. Aku tidak punya sendiri karena belum butuh pakaian seperti itu.

Aku pun menaiki mobil dan Abang sudah ada di bangku supir, menungguku sejak tadi.

"Sini Mama foto kalian dulu sebelum pergi. Mumpung anak bungsu Mama yang ganteng pakai setelan yang keren seperti ini," Mama tiba-tiba memfoto aku dan Abang dari pintu mobil. Aku dan Abang yang setengah terkejut langsung tersenyum agar tampak bagus di foto.

"Kami pergi dulu, selamat tinggal, Ma, Pa," kata Abang sambil melambaikan tangan. Aku pun mengikutinya.

Kondisi jalan pagi ini tidak terlalu padat. Kami memutuskan santai karena masih cukup lama sebelum acaranya dimulai. Kami terlalu cepat berangkat. Itu karena kebiasaan orang tuaku yang selalu disiplin waktu. 

'Lebih baik kita yang menunggu, Nak, daripada membuat orang lain menunggu' itulah kata-kata yang selalu diucapkan kedua orang tuaku.

"Haaahh.... sejuk sekali udara pagi ini, sepertinya alam sedang mendukungku. Serasa seperti kita sedang di pantai saja ya, Bang," kataku sambil menghirup udara kuat-kuat.

"Jika dilihat-lihat dari udaranya, sepertinya hari ini akan ada klien yang datang menemui Abang. Mungkin saja Abang akan dipanggil ke luar kota mengurusi proyek ini," Abang tiba-tiba memecah lamunanku yang sedang asyik menikmati udara sejuk di pagi ini.

"Kau tau, atasan Abang akan segera menaikkan Abang ke posisi yang lebih tinggi karena kinerja Abang selama ini sangat bagus. Nanti kau, Dika, kalo sudah besar jadilah pria sejati yang baik dan bisa diandalkan, kelak dunia akan mengikuti kebaikan kau. Seperti Abang contohnya," lanjutnya.

Ya, Abang sudah bekerja sedangkan aku baru mau masuk kuliah. Abang membantu membiayai sekolahku karena Papa sudah pensiun. Semua orang tau Abang itu seperti tulang punggung dan kebanggaan keluarga kami. Aku saja sejak kecil sangat mengidolakan Abang. Abang selalu menemaniku, menjadi kakak yang baik, melindungiku, menjadi anak yang bisa diandalkan kedua orang tuaku. Sepertinya semua hal baik dimiliki Abang. Hanya saja Abang adalah orang yang cukup pendiam, tidak sering mengungkapkan apa yang dia inginkan.

TIIIIINNNNN....... BRAAAKKKKKKK

Sebuah mobil merah melaju dengan cepat dari sisi kanan mobil Abang. Aku tidak ingat kenapa dunia seolah berputar. Tiupan angin sepoi-sepoi yang sedari tadi aku dan Abang nikmati berubah menjadi tiupan serpihan kaca pecah yang mengisi mobil Abang. Aku berusaha keras memutar kepala ke arah kanan dan mengecek kondisi Abang. Kepala Abang berdarah. Aku mencoba meraih dan menggenggam tangannya. Pandanganku mulai kabur. Berusaha tetap sadar, aku melihat wajah Abang lamat-lamat. Abang tersenyum damai. Seolah masih bisa merasakan angin sejuk menerpa wajahnya. Setetes air mata turun membasahi pipiku. Gelap. Semuanya menjadi gelap. Kurasa aku dan Abang akan pergi ke tempat yang jauh.

Cukup lama hingga aku sembuh dan pulih dari kejadian tersebut. Yang terakhir aku ingat hanyalah wajah Abang yang tersenyum damai dan tanganku yang menggenggam tangannya. Setelah kejadian tersebut, Mama menjadi sangat diam. Sering kali aku melihat Mama duduk terdiam di teras rumah sambil memegang foto terakhir yang diambil sebelum aku dan Abang berangkat. Papa masih saja terus berusaha terlihat tegar. Aku yang terkadang masih mengalami reaksi-reaksi aneh di kepalaku, mulai membaik. Kata dokter, aku mengalami trauma. Tetapi, aku tetap melanjutkan sekolah. Papa bilang kehidupan ini harus terus berjalan. Ingatanku masih samar-samar, lebih tepatnya aku tidak tau kemana Abang selama ini, setelah aku menggenggam tangannya. Mungkin Abang pergi ke luar kota karena kliennya, pikirku.

Pagi itu, aku berangkat sekolah seperti biasa. Aku menunggu bus sekolah di halte dekat gerbang perumahan. Pagi itu halte masih sangat sepi. Aku sendirian. Aku terperangah hingga refleks berdiri. Kulihat Abang sedang berjalan kaki di sebrang jalan dan berhenti kemudian melambaikan tangan ke arahku. Wajah Abang terlihat sangat tenang. Tuh kan, firasat aku benar. Abang hanya sibuk mengurusi klien. Abang pun menyebrangi jalan dan menghampiriku.

"Eh, Dik? Kenapa kamu gak berangkat sekolah? Nanti Papa dan Mama marah loh tau kamu masih disini," suara Abang yang sangat kurindukan, sudah duduk di sampingku.

"Abangg... Abang kemana aja selama ini?" kataku sambil menahan tangis. Aku merasa ada yang tidak beres.

"Kau kan yang paling tau Abangmu... Abang hanya ingin pergi, Dik. Sepertinya saat kita di mobil waktu itu, alam benar-benar berpihak pada Abang. Abang sudah tenang sekarang," kata Abang dengan tatapan sejuk dan damai. Abang menggenggam tanganku lembut.

Tiba-tiba saja aku tidak bisa menahan air mata yang mengumpul. Aku merindukan Abang. Terakhir kali aku menggenggam tangannya seperti ini.

"Bang, Mama dan Papa sekarang ini jadi benar-benar aneh. Aku gak ngerti. Mama sering sekali menangis tersedu-sedu. Papa juga jadi lebih pendiam dari sebelumnya. Kepalaku juga sering tiba-tiba sakit sekali."

"Pantai. Kau tau kan, Abang suka pantai? Abang sekarang bisa sering melihat ombak tenang dan pasir putih yang sangat lembut. Indah sekali. Seindah surga. Kalau kau ada sesuatu, suasana hatimu sedang buruk, pergilah ke sana," kata Abang tiba-tiba. 

"Ya sudah, Abang pergi dulu yaa. Sekolah sana..."

"Oh iya, Mama seperti itu karena masih gak bisa merelakan kepergianku. Aku mohon satu hal padamu, kau harus bisa ikhlas ya... Kau harus tetap melanjutkan hidupmu, seperti kata yang Papa selalu bilang kepada kita. Hiduplah dengan baik, Dik. Abang pergi."

Abang perlahan pergi dan menghilang dari pandanganku. Aku tiba-tiba tersadar. Aku harus cepat ke sekolah kalau tidak, aku akan terlambat.

Sepulang sekolah, aku bercerita kepada Mama dan Papa. Papa hanya terdiam. Mama yang biasanya diam malah memarahiku. Dia bilang aku berbohong sampai hampir melayangkan tangannya ke arah mukaku. Aku terkejut, ini pertama kalinya Mama melayangkan tangannya ke arahku. Sebenarnya apa yang terjadi? Aku kan hanya menceritakan apa yang aku alami. 

Kenapa hanya aku yang tidak mengerti situasi ini? Papa juga tidak berkata-kata lagi setelah sore itu. Malam ini aku memutuskan untuk mendesak Papa agar berbicara.

"Pa... sebenernya apa yang Dika udah lewatin?" tanyaku saat menemukan Papa sedang duduk membaca koran di halaman belakang rumah.

"Dika, Papa mau nanya. Terakhir yang kamu ingat apa, Nak?" Papa bertanya balik.

"Dika hanya ingat Dika dan Abang pergi ke acara naik mobil, Abang yang menyetir. Dika pakai baju rapi. Udara sangat sejuk. Abang berkendara santai kemudian Dika pegang tangan Abang. Abang tersenyum dengan damai," jawabku panjang lebar.

"Dika... Kamu tau Abang kemana saja selama ini?"

"Abang ada proyek dan harus bertemu klien kan? Kata Abang, Abang akan naik pangkat," itulah kata-kata Abang yang aku ingat hari itu.

"Tidak, Nak... Abangmu telah tiada. Kalian ditabrak oleh mobil dari samping. Pelakunya sudah berhasil ditangkap. Abangmu sudah tenang disana,"

Aku tidak percaya apa yang Papa katakan malam itu. Apa? Abang sudah tiada? Jelas-jelas tadi pagi sebelum ke sekolah aku berbincang dengan Abang.

"Tidak mungkin, tadi aku melihat Abang, aku juga sempat mengobrol banyak sama Abang... Pantai, Abang bilang Abang sering melihat ombak dan pasir yang sangat indah!" ketusku. Aku hanya tidak percaya dengan semua kebohongan ini. Papa hanya terdiam.

"Setelah kalian mengalami kecelakaan hari itu, Abang tiada dan kamu mengalami trauma, Dik. Dokter melarang Mama dan Papa menceritakannya padamu. Papa pikir, ini waktu yang tepat untuk memberi taumu. Sudah 5 bulan sejak kau pulih. Mama juga sudah sangat terpuruk dengan Abang. Jadi, janganlah kau tambah rumit keadaan ini, ya?" bujuk Papa.

Aku masih tidak mengerti apa yang Papa bicarakan. Aku langsung pergi ke kamar. Perasaanku tidak jelas. Aku masih percaya Abang masih ada. Jelas sekali aku melihatnya dan menggenggam tanganku. Aku marah pada semua orang. Kenapa tidak ada yang memercayaiku dan malah memberi tau kebohongan seperti ini. Jelas-jelas aku mengobrol dengan Abang.

Keesokan harinya aku berangkat sekolah. Aku masih marah kepada orang tuaku. Aku merasa dikhianati oleh keluargaku sendiri. Jarang sekali aku seperti ini. Tapi saat ini aku benar-benar kecewa. Masa aku bertemu Abang disangka berbohong.

Aku tidak berjalan ke arah sekolah. Aku melarikan diri. Aku kesal dan marah. Hari itu, aku tidak peduli. Aku hanya sangat kesal. Ya, aku memutuskan pergi ke Bali, pantainya sangat indah. Aku berharap dapat bertemu Abang di sana. Nyatanya, orang tuaku tidak berbohong. Bertahun-tahun aku tidak bisa menemukan Abang.

-

HAHHH HAHHH

Kenapa aku bermimpi itu?

Matahari pagi menyinari kamarku. Sekujur tubuhku berkeringat. Perasaanku tidak enak.

Ting tong ting tong

Bel berbunyi. Aku langsung mengecek siapakah yang datang.

Seketika, tubuhku membeku. Ternyata Mama dan Papa yang datang. Mereka masih terlihat seperti terakhir bertemu. Perasaanku campur aduk. Aku ingat terakhir kali mereka memarahiku. Tiba-tiba Mama memelukku erat. Pelukan yang hampa. Aku tidak bisa merasakan kehangatan yang biasa aku dapat saat kecil. Papa hanya tersenyum sendu melihat aku dan Mama. 

"Kok kalian bisa tau rumah Dika?" tanyaku setelah mengajak mereka masuk.

"Mama dan Papa sudah mencarimu kemana-mana... Akhirnya ketemu juga. Papa kangen Dika...." jawab Papa dengan tatapan sedih.

Tangisanku pecah saat itu juga. Perasaan kesal dan marah yang sudah aku pendam selama bertahun-tahun meluap begitu saja.

"Syukurlah kau hidup dengan baik, Dik. Duh... Anak bungsu Mama udah sukses.. Hebat kamu, Dik," puji Mama sambil menatap wajahku lamat-lamat.

"Maaf, Ma, Pa.. Dika gak pernah pulang dan menemui kalian lagi sejak hari itu. Dika merasa menjadi anak yang gak baik," kataku.

"Itu bukan salahmu, Dik. Mama Papa tenang melihat kamu hidup bahagia. Itu saja sudah cukup untuk kami," Papa menjawab.

"Mama minta maaf karena dulu sempat kasar dan bilang kamu berbohong. Akhirnya Mama tau kamu gak berbohong. Buktinya kamu bisa melihat Mama dan Papa saat ini. Mama dan Papa tenang tau kamu hidup dengan baik."

Aku sangat kaget mendengar kata-kata Mama. Aku merasa sangat menyesal. 

"Ma... Pa... maafin Dika...." aku tak dapat menahan tangis.

"Tak apa, Dik. Mama Papa pergi dulu ya, hiduplah dengan baik."

Mama dan Papa akhirnya melangkah menjauh.... sampai akhirnya hilang dari pandangan.

Apartemenku kembali sepi. Seperti tidak ada yang datang. 

Aku masih duduk terdiam. Hatiku sangat hancur. Semua terasa begitu nyata.

"Ayah.... Yara pulang....." suara anak kecil itu menyadarkanku. Aku harus tetap melanjutkan hidupku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun