Pagi itu, aku berangkat sekolah seperti biasa. Aku menunggu bus sekolah di halte dekat gerbang perumahan. Pagi itu halte masih sangat sepi. Aku sendirian. Aku terperangah hingga refleks berdiri. Kulihat Abang sedang berjalan kaki di sebrang jalan dan berhenti kemudian melambaikan tangan ke arahku. Wajah Abang terlihat sangat tenang. Tuh kan, firasat aku benar. Abang hanya sibuk mengurusi klien. Abang pun menyebrangi jalan dan menghampiriku.
"Eh, Dik? Kenapa kamu gak berangkat sekolah? Nanti Papa dan Mama marah loh tau kamu masih disini," suara Abang yang sangat kurindukan, sudah duduk di sampingku.
"Abangg... Abang kemana aja selama ini?" kataku sambil menahan tangis. Aku merasa ada yang tidak beres.
"Kau kan yang paling tau Abangmu... Abang hanya ingin pergi, Dik. Sepertinya saat kita di mobil waktu itu, alam benar-benar berpihak pada Abang. Abang sudah tenang sekarang," kata Abang dengan tatapan sejuk dan damai. Abang menggenggam tanganku lembut.
Tiba-tiba saja aku tidak bisa menahan air mata yang mengumpul. Aku merindukan Abang. Terakhir kali aku menggenggam tangannya seperti ini.
"Bang, Mama dan Papa sekarang ini jadi benar-benar aneh. Aku gak ngerti. Mama sering sekali menangis tersedu-sedu. Papa juga jadi lebih pendiam dari sebelumnya. Kepalaku juga sering tiba-tiba sakit sekali."
"Pantai. Kau tau kan, Abang suka pantai? Abang sekarang bisa sering melihat ombak tenang dan pasir putih yang sangat lembut. Indah sekali. Seindah surga. Kalau kau ada sesuatu, suasana hatimu sedang buruk, pergilah ke sana," kata Abang tiba-tiba.Â
"Ya sudah, Abang pergi dulu yaa. Sekolah sana..."
"Oh iya, Mama seperti itu karena masih gak bisa merelakan kepergianku. Aku mohon satu hal padamu, kau harus bisa ikhlas ya... Kau harus tetap melanjutkan hidupmu, seperti kata yang Papa selalu bilang kepada kita. Hiduplah dengan baik, Dik. Abang pergi."
Abang perlahan pergi dan menghilang dari pandanganku. Aku tiba-tiba tersadar. Aku harus cepat ke sekolah kalau tidak, aku akan terlambat.
Sepulang sekolah, aku bercerita kepada Mama dan Papa. Papa hanya terdiam. Mama yang biasanya diam malah memarahiku. Dia bilang aku berbohong sampai hampir melayangkan tangannya ke arah mukaku. Aku terkejut, ini pertama kalinya Mama melayangkan tangannya ke arahku. Sebenarnya apa yang terjadi? Aku kan hanya menceritakan apa yang aku alami.Â