"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". (QS. an-Nisa': 34)
      Poin penting ayat ini adalah adanya alasan (illat) dibalik laki-laki didapuk menjadi kepala keluarga. Alasan fundamentalnya karena Allah menganugerahkan keunggulan kepada laki-laki dibanding perempuan. Namun yang perlu dianalisis serta dicermati adalah tuhan menyebutkan menggunakan kata sebagian, bukan kata semua. hal ini mengandung arti bahwa tidak semua laki-laki diberikan keunggulan atas semua perempuan. Dengan begitu tidak semua perempuan tidak diberikan keunggulan atas laki-laki. Sehingga apabila alasan kepala rumah tangga itu disebabkan "keutamaan" yang disandang laki-laki, maka perempuan juga berhak menjadi kepala keluarga, karena kata keutamaan (fadl) di ayat tersebut hanya disematkan pada sebagian laki-laki saja tidak semuanya .
      Poin kedua adalah adanya dua alasan mengapa laki-laki diberikan otoritas dan tangung jawab atas perempuan dan keluarganya. Pertama, dengan kemampuan nalar dan kekuatan fisik; kedua, fungsi tanggung jawab finansial. Jika ditelisik alasan pertama, apakah hal keutamaan itu bersifat kodrati sehingga tidak bisa berubah atau dirubah?. Mayoritas penafsir menyebutkan bahwa hal tersebut bersifat kodrati atau paten yang mengesankan suatu yang tidak bisa diusahakan, dirubah atau dipelajari . Namun hal ini perlu dipertanyakan, melihat fakta sosial dewasa ini banyak perempuan memiliki tingkat kecerdasan yang setara dengan laki-laki atau bahkan melebihi. Hal ini membuktikan bahwa faktor kecerdasan nalar, kedalaman ilmu pengetahuan dan sebagainya adalah sesuatu yang relatif belaka, bisa diusahakan, dipelajari dan dipertukarkan satu sama lain. Sifat relatifitas ini sebenarnya bisa dipahami dari "ba'dhuhum ala ba'din". Sehingga status kepala keluarga yang dimonopoli oleh kaum adam agaknya kurang berdasar jika menggunakan alasan ini.
      Demikian juga dengan soal nafkah yang menjadi alasan ke dua. bekerja mencari nafkah untuk menafkahi bukan khas orang laki-laki. Tidak dapat dipungkiri perempuan juga bisa mencari nafkah untuk menafkahi. Pada realitanya alangkah banyak perempuan-perempuan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga bahkan diantara mereka ada yang pergi keluar negeri. alangkah sangat "kesusu" jika dikatakan bahwa perempuan itu tidak memiliki kompetensi dalam bekerja. Bahkan lebih parahnya adanya adagium Jawa yang menyebutkan perempuan itu berkecimpung "didapur, sumur dan kasur".
      Telaah kritis lain dari KH. Husain Muhammad tarhadap ayat di atas adalah kalimat yang digunakan adalah pernyataan informatif (kalam khabar), yang sifatnya sebagai berita bukan kalimat normatif (kalam thalabi atau insya'i) yang sifatnya wajib atau harus berlaku sepanjang masa. Pernyataan informatif ayat di atas hendak mengabarkan dan merefleksikan tentang sistem sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sekaligus pembagian kerja laki-laki dan perempuan yang secara umum berlaku atau diberlakukan pada masa itu . Ayat ini tidak bermaksud untuk memberlakukan sistem yang telah mengakar pada bangsa Arab kepada seluruh kaum muslim. Menyeret ayat ini dengan pemahaman kaku (keharusan laki-laki sebagai pemimpim) ke ranah biduk rumah tangga kaum muslim secara universal justru menciptakan pola pikir sempit yang hendak meminggirkan perempuan dalam memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam rumah tangga.
Perempuan Makhluk Kelas Dua
      Dalam tatanan kehidupan dewasa ini, perempuan kerap berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan. budaya patriarki yang mengakar di Indonesia telah menempatkan mereka berada dibawah derajat laki-laki. Perempuan tidak bisa mendapatkan kesempatan sebanyak dan sebaik laki-laki. Perempuan hanya dianggap sebagai makhluk yang berkewajiban melayani laki-laki. Diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang sudah sepantasnya mengabdikan dirinya kepada laki-laki. Budaya menomor duakan perempuan kerap menjadi sumbu pemarginalan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
      Realitas kehidupan meminggirkan perempuan sangat menodai keadilan tuhan dalam menciptakan seluruh makhluknya. laki-Laki dan perempuan diciptakan dari entitas yang sama sebagai manusia. Masing-masing dari mereka dititahkan untuk saling berkompetisi dalam kebaikan serta berinteraksi dalam memajukan kehidupan.Â
Namun sayangnya, fakta demikian kerap terabaikan. Ironisnya justru agamalah yang dijadikan kambing hitam asal muasal perempuan mejadi terpinggirkan. Agama dengan beragam ajarannya disinyalir memberi doktrin untuk bersikap menyudutkan perempuan. Hal demikianlah yang menggugah Kh. Husain Muhammad untuk menjawab dan meluruskan pemahaman melenceng seperti ini dengan rangkuman dalil di bawah ini.
      Islam mengagas adanya kesetaraan diantara manusia. Secara tegas Islam menyatakan bahwa manusia adalah mahluk tuhan yang memiliki kedudukan sama dihadapan tuhannya, al-Qur'an menyatakan:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu". (QS. an-Nisa': 1)