Potret pemikirian KH. Husain Muhammad adalah potret pemikiran yang jarang ditemukan di Indonesia. Beliau memiliki pemahaman yang cenderung berbeda dalam menyikapi tatanan sosial perempuan. Pemikiran-pemikiran beliau dapat dibaca melalui kajian gambaran perempuan dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang beliau suguhkan. Untuk menelusuri lebih jauh lagi pemikiran beliau tentang perempuan, akan diulas dengan tema-tema sebagai berikut:
Pemaknaan Nikah
      Nikah perspektif KH. Husain Muhammad lebih menekankan pada tujuan utama disyariatkannya nikah yang bermaksud mewujudkan kehidupan yang saknah (tentram) mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang)  sebagaimana termaktub dalam surat an-Nisa': 21
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (QS. an-Nisa':21)
      Ayat ini menegaskan bahwa saknah, mawaddah dan rahmah yang menjadi pilar nikah dapat memberi dampak (tarattub) timbal balik kemanfaatan yang bisa dirasakan oleh masing-masing suami istri. Hal ini akan justru bertolak belakang jika dibenturkan dengan perumusan nikah ala kitab-kitab sebagai: "Aqd wadha'ahu al-syaari' li yufid milku istimta' al-rajul bi al-mar'ah wa hill istimta' al-mar'ah bi al-rajul" (akad, transaksi atau ikatan yang diatur agama (syara') dengan memberi laki-laki penikmatan seksual atas istrinya dan halalnya istri menikmati tubuh suaminya) .
      Pernyataan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa penikahan hanya diperlukan bagi kepentingan seksual laki-laki pada satu sisi dan adanya hubungan yang tidak seimbang antara suami istri dalam sisi yang lain. Artinya definisi fikih di atas menunjukkan bahwa laki-laki bisa memperoleh kenikmatan seksual kapan saja dan istri berkewajiban memenuhinya. Sementara itu, istri hanya bisa memperolehnya manakala suami memberikannya.
      Ketimpangan relasi seperti ini sangat rentan terhadap keberlangsungan kehidupan perkawinan yang tidak sehat serta membuka peluan terjadinya KDRT. Definisi di atas secara tidak langsung menginformasikan bahwa laki-laki memiliki hak penikmatan seksual (milk istimta') sehingga memunculkan stigma istri sebagai barang yang bisa dimiliki manfaatnya. Tentu saja hal ini tidak bisa diseret dalam perkawinan di Indonesia, sebab menyeretnya dalam kehidupan perkawinan sama saja dengan menempatkan perempuan sebagai makhluk yang berfungsi reproduktif saja. Eksistensinya sebagai makhluk sosial, berpolitik, berkebudayaan akan menjadi terabaikan. Dalam proses peradaban hal ini justru tidak menguntungkan.
      Wacana KH. Husain Muhammad agar tidak hanya berkutat dalam definisi nikah memang perlu direnungkan. Merumuskan perkawinan sebagai akad yang hanya memberikan hak sepihak tentu tidak sejalan dengan pesan yang terkandung dalam ayat 21 surat al-Rum sebagaimana uraian di atas. Perkawinan menurut beliau alangkah lebih baiknya diartikan sebagai akad yang memberikan keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri, serta menjadikannya sebagai wahana kreatif untuk membangun peradaban manusia yang adil dan beradab .
 Perempuan Kepala Keluarga
      Corak pandang KH. Husain Muhammad menyikapi hal ini amatlah berbeda dengan pandangan keumuman orang. Beliau melihat bahwa perempuan sejatinya bisa berposisi sebagai kepala keluarga. Suksesnya kepemimpinan tidak bisa diukur dengan jenis kelamin. Sebab kepala keluarga adalah otoritas yang bertanggung jawab mengarahkan ke mana keluarga akan dibentuk dan dibawa. Barang tentu hal demikian tidak berkaitan dengan jenis kelamin melainkan pada kualilas leadership .
      Terdapat beberapa hal yang melatar belakangi pandangan beliau, diantaranya interpretasi al-Quran surat an-Nisa' ayat: 34
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". (QS. an-Nisa': 34)
      Poin penting ayat ini adalah adanya alasan (illat) dibalik laki-laki didapuk menjadi kepala keluarga. Alasan fundamentalnya karena Allah menganugerahkan keunggulan kepada laki-laki dibanding perempuan. Namun yang perlu dianalisis serta dicermati adalah tuhan menyebutkan menggunakan kata sebagian, bukan kata semua. hal ini mengandung arti bahwa tidak semua laki-laki diberikan keunggulan atas semua perempuan. Dengan begitu tidak semua perempuan tidak diberikan keunggulan atas laki-laki. Sehingga apabila alasan kepala rumah tangga itu disebabkan "keutamaan" yang disandang laki-laki, maka perempuan juga berhak menjadi kepala keluarga, karena kata keutamaan (fadl) di ayat tersebut hanya disematkan pada sebagian laki-laki saja tidak semuanya .
      Poin kedua adalah adanya dua alasan mengapa laki-laki diberikan otoritas dan tangung jawab atas perempuan dan keluarganya. Pertama, dengan kemampuan nalar dan kekuatan fisik; kedua, fungsi tanggung jawab finansial. Jika ditelisik alasan pertama, apakah hal keutamaan itu bersifat kodrati sehingga tidak bisa berubah atau dirubah?. Mayoritas penafsir menyebutkan bahwa hal tersebut bersifat kodrati atau paten yang mengesankan suatu yang tidak bisa diusahakan, dirubah atau dipelajari . Namun hal ini perlu dipertanyakan, melihat fakta sosial dewasa ini banyak perempuan memiliki tingkat kecerdasan yang setara dengan laki-laki atau bahkan melebihi. Hal ini membuktikan bahwa faktor kecerdasan nalar, kedalaman ilmu pengetahuan dan sebagainya adalah sesuatu yang relatif belaka, bisa diusahakan, dipelajari dan dipertukarkan satu sama lain. Sifat relatifitas ini sebenarnya bisa dipahami dari "ba'dhuhum ala ba'din". Sehingga status kepala keluarga yang dimonopoli oleh kaum adam agaknya kurang berdasar jika menggunakan alasan ini.
      Demikian juga dengan soal nafkah yang menjadi alasan ke dua. bekerja mencari nafkah untuk menafkahi bukan khas orang laki-laki. Tidak dapat dipungkiri perempuan juga bisa mencari nafkah untuk menafkahi. Pada realitanya alangkah banyak perempuan-perempuan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga bahkan diantara mereka ada yang pergi keluar negeri. alangkah sangat "kesusu" jika dikatakan bahwa perempuan itu tidak memiliki kompetensi dalam bekerja. Bahkan lebih parahnya adanya adagium Jawa yang menyebutkan perempuan itu berkecimpung "didapur, sumur dan kasur".
      Telaah kritis lain dari KH. Husain Muhammad tarhadap ayat di atas adalah kalimat yang digunakan adalah pernyataan informatif (kalam khabar), yang sifatnya sebagai berita bukan kalimat normatif (kalam thalabi atau insya'i) yang sifatnya wajib atau harus berlaku sepanjang masa. Pernyataan informatif ayat di atas hendak mengabarkan dan merefleksikan tentang sistem sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sekaligus pembagian kerja laki-laki dan perempuan yang secara umum berlaku atau diberlakukan pada masa itu . Ayat ini tidak bermaksud untuk memberlakukan sistem yang telah mengakar pada bangsa Arab kepada seluruh kaum muslim. Menyeret ayat ini dengan pemahaman kaku (keharusan laki-laki sebagai pemimpim) ke ranah biduk rumah tangga kaum muslim secara universal justru menciptakan pola pikir sempit yang hendak meminggirkan perempuan dalam memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam rumah tangga.
Perempuan Makhluk Kelas Dua
      Dalam tatanan kehidupan dewasa ini, perempuan kerap berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan. budaya patriarki yang mengakar di Indonesia telah menempatkan mereka berada dibawah derajat laki-laki. Perempuan tidak bisa mendapatkan kesempatan sebanyak dan sebaik laki-laki. Perempuan hanya dianggap sebagai makhluk yang berkewajiban melayani laki-laki. Diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang sudah sepantasnya mengabdikan dirinya kepada laki-laki. Budaya menomor duakan perempuan kerap menjadi sumbu pemarginalan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
      Realitas kehidupan meminggirkan perempuan sangat menodai keadilan tuhan dalam menciptakan seluruh makhluknya. laki-Laki dan perempuan diciptakan dari entitas yang sama sebagai manusia. Masing-masing dari mereka dititahkan untuk saling berkompetisi dalam kebaikan serta berinteraksi dalam memajukan kehidupan.Â
Namun sayangnya, fakta demikian kerap terabaikan. Ironisnya justru agamalah yang dijadikan kambing hitam asal muasal perempuan mejadi terpinggirkan. Agama dengan beragam ajarannya disinyalir memberi doktrin untuk bersikap menyudutkan perempuan. Hal demikianlah yang menggugah Kh. Husain Muhammad untuk menjawab dan meluruskan pemahaman melenceng seperti ini dengan rangkuman dalil di bawah ini.
      Islam mengagas adanya kesetaraan diantara manusia. Secara tegas Islam menyatakan bahwa manusia adalah mahluk tuhan yang memiliki kedudukan sama dihadapan tuhannya, al-Qur'an menyatakan:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu". (QS. an-Nisa': 1)
"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal". (QS. al-Hujurat: 13)
      Ayat ini menegaskan bahwa di sisi Allah Swt, kedudukan manusia, dari suku bangsa manapun, berjenis kelamin apapun, pada dasarnya adalah setara, yang membedakan kedudukan manusia di sisi Allah adalah hanyalah kualitas ketaqwaannya. ayat ini merupakan konsep kesetaraan paling final dalam Islam. Artinya, relaitas perbedaan dalam kehidupan, seperti penguasa dan rakyat jelata, miskin dan kaya, laki dan perempuan, warna kulit, suku bangsa, bahasa dll. bukanlah ukuran yang sah menjadi dalih perlakuan membeda-bedakan manusia . Ayat ini mengajarkan ukuran yang sah untuk dijadikan pembedaan perlakuan seseorang bukanlah faktor perbedaan "identitas", melainkan faktor kualitas yang dimiliki seseorang.
      Kesederajatan manusia dihadapan tuhan juga disebutkan dalam ayat-ayat berikut:
"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar".(QS. al-Hujurat: 35)
"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS. Ali Imran: 195)
"Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab". (QS, Ghafir: 40)
      Sementara itu, pernyataan paling eksplisit lainnya mengenai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dinyatakan dalam al-Quran sebagaimana berikut:
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. an-Nahl: 97)
      Doktrin egalitarisme (al-musawah) yang merupakan inti dari beberapa ayat di atas telah dipertegas oleh sabda sabda nabi:
"Wahai para manusia. ingatlah bahwa tuhan kalian semua itu satu serta ayah kalian itu satu. ingatlah tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab atas non Arab dan tidak ada keutamaan bagi non Arab atas bangsa Arab. tidak pula kulit merah atas kulit hitam, dan tidak kulit hitam atas kulit merah kecuali dengan taqwa". (HR. Ahmad)
"Sesungguhnya allah tidak melihat pada wajah kalian dan harta kalian, tetapi Allah melihat pada hati dan amal kalian". (HR. Muslim)
      Hadis ini memberikan gambaran bahwa keunggulan-keunggulan berdasarkan kriteria fisikal tidak berguna dihadapan tuhan. kekayaan yang dimiliki seseorang, tahta yang dijabat, wajah yang rupawan, jenis kelamin laki-laki dan perempuan, perbedaan warna kulit, serta keberagaman suku bangsa tidak berpengaruh apapun dimata Allah Swt. Rahmat Allah hanya berada pada hati seseorang yang dihiasi dengan keikhlasan, kejujuran serta kesalehan amalnya .
      Prinsip kesedarajatan manusia dihadapan tuhan merupakan konsekuensi paling logis dari doktrin kemahaesaan Allah (akidah tauhid). Keunggulan manusia satu atas manusia lain menurut doktrin tauhid semata-mata berdasarkan kedekatan dan ketaatan kepada tuhan (takwa). Makna takwa yang disebutkan dalam teks-teks suci berulang kali tidak hanya relasi manusia dengan tuhan (hablun min Allah), atau ekspresi spiritual atau praktik ritual belaka, melainkan pada ekspresi hubungan antar manusia dalam wilayah sosial. ekonomi, kebudayaan dan sebagainya (hablun min al-nas) .
      Konsekuensi lebih lanjut dari prinsip di atas mengisyaratkan bahwa manusia, siapa pun dan di mana pun, dituntut untuk saling menghargai eksistensi masing-masing dan bekerja bersama bagi upaya menegakkan kebaikan, kebenaran dan keadilan diantara manusia. Setiap munusia, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban sama untuk menjalani kehidupan yang diinginkan tanpa adanya gangguan dari siapapun. Karenanya nabi Muhammad berpesan:
"Sesungguhnya aku mengharamkan berlaku dzalim atas diriku dan atas hambaku, maka janganlah kalian berlaku dzalim". (HR. Muslim)
      Dengan mengkaji al-Quran secara lebih komprehensif sebagaimana di atas, maka akan muncul kesimpulan (natijah) bahwa sebenarnya agama menjunjung kesetaraan manusia, kemuliaan manusia di antara mahkluk tuhan yang lain, kesetaraan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di tengah-tengah kehidupan sosial serta keharusan untuk berbuat baik tanpa menyakiti siapaun. oleh karena itu, tudingan penyebab munculnya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang dialamatkan kepada agama sungguh tidak berdasar, sebab agama meletakkan pondasi kehidupan laki-laki dan perempuan secara proporsional.
      Kontroversi pemahaman adanya ajaran memarginalkan perempuan dalam al-Quran sebagaimana dalam surat an-Nisa' ayat 2-3 dan 34 disebabkan dari memahami al-Qur'an secara dzahir. Namun jika memahami al-Quran dengan melibatkan berbagai macam aspek seperti konteks ayat ini diturunkan, kondisi sosio historis pada masa serta memadukan dengan ayat al-Quran lain serta hadis nabi, tentu pemahamannya tidak akan sekaku demikian.Â
Sebab munculnya pemarginalan perempuan bukan merupakan adat yang dikembangkan oleh Islam. Sebelum Islam datang, tradisi meminggirkan perempuan serta menomor duakan mereka dalam berbagai macam aspek kehidupan amatlah kental dan mengakar kuat. Perempuan baik dalam sekup kaum Arab jahili atau yang lain tidak mendapatkan porsi kehidupan sosial senikmat laki-laki. Bahkan hadirnya mereka disambut dengan kebencian karena dianggap membawa sial . Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tradisi mengubur bayi perempuan hidup-hidup sebagaimana tertuang dalam Q.S al-Nahl: 58-59 dan al-Takwir: 8-9.
      Dari sini telah tergambar jelas bahwa pada masa diturunkannya al-Quran kondisi umum masyarakat Arab amatlah buruk. Laki-laki dalam budaya Arab lebih dominan dari pada perempuan. Sehingga dapat dimaklumi kehadiran al-Quran dalam kultur budaya patriarki menyebabkan seringnya menggunakan kata yang menunjuk kepada audien laki-laki, meski sebenarnya maksudnya ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya tidak bisa disimpulkan dari seringnya bahasa al-Quran menggunakan mudzakkar berarti al-Quran lebih mengistimewakan laki-laki dari pada perempuan. Karena al-Quran hadir di tengah konstruksi sosial patriarkis yang menyebabkan konteks mukhatab-nya tentu harus disesuaikan .
      Kontradiksi antara satu ayat al-Quran dengan yang lain juga bisa ditengahi dengan memahami subtansi masing-masing teks yang ternyata berbeda. Surat an-Nisa' ayat 34 seolah menempatkan seorang laki-laki di atas perempuan karena ia sebagai qawwam yang sering ditafsiri dengan pemimpin bagi perempuan. Namun ayat ini tidak bisa dipahami bahwa selamanya laki-laki akan menjadi pemimpin perempuan atau bahkan perempuan selamanya menjadi makhluk kelas dua. Sebab ayat ini hanya bicara fakta umum dari budaya patriarki Arab yang menjadikan laki-laki sebagai kepala keluarga wanita.Â
Oleh karena budaya Arab seperti itu, maka tindakan sewenang-wenang kepala keluarga sebagaimana yang dilakukan oleh Sa'ad bin Rabi' kepada isterinya Habibah binti Zaid dengan menamparnya yang menjadi asbabun nuzul dari ayat ini tidak dapat dibenarkan . Pemahaman demikian sama halnya seperti ketika Rasul bersabda: "Perempuan dinikahi sebab empat hal: hartanya, nasabnya, derajatnya dan agamanya, maka carilah yang beragama".Â
Maksud sabda Rasul adalah wanita umumnya dinikahi karena empat hal ini, bukan berarti Rasul bermaksud menyuruh mencari wanita yang berkriteria demikian . al-Quran surat an-nisa' ayat 34 maupun hadis nabi tentang kriteria perempuan untuk dinikahi tidak meniscayakan bahwa hal itu adalah paten atau ketetapan yang harus diikuti. Laki-laki sebagai qawwam hanya sebatas realitas keumuman orang Arab yang berbudaya patriarki begitupula menikah dengan sebab salah satu dari empat hal itu juga sebatas keumuman laki-laki memilih pasangannya.Â
Dengan demikian, maka duduk perkara kontradiksi antara ayat yang menyerukan kesetaraan perempuan dengan laki-laki dengan ayat yang mengistimewakan laki-laki sejatinya bisa diselesaikan. Ayat kesetaraan adalah kenisyacaan yang paten dan harus diikuti. Sementara ayat yang mengistimewakan sifatnya keumuman yang bersifat informasi tanpa ada muatan hukum untuk diikuti.
Melindungi Perempuan
      Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai realitas kehidupan yang tidak bisa terpisahkan. Perbedaan penciptaan tentu membuahkan hasil yang berbeda. Laki-laki terksesan dibekali dengan kekuatan yang lebih dari perempuan dan perempuan dibekali dengan kelembutan yang melebihi laki-laki. Oleh karena itu Islam memandang jenis kelamin atau seks merupakan kategori kodrati yang harus diperlakukan secara proporsional. Islam meletakkan dasar keagamaannya tidak pernah membeda-bedakan atas dasar perbedaan jenis kelamin. hal ini tercermin dari surat al-Imran:
"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain". (QS. Ali Imran: 195)
      Sifat keadilan yang diajarkan oleh al-Quran dewasa ini tidak dapat dipahami secara baik oleh umatnya. kerap didapati perempuan menjadi korban kekerasan dan menerima perlakuan tidak senonoh dari kaum Adam. Tindakan diskriminasi kepada perempuan ini sejak awal munculnya Islam sebenarnya telah ada dan hendak diberangus oleh Rasullah Saw. Dengan kehadiran Islam perempuan yang semula tidak mendapat waris akhirnya mendapat waris. Perempuan yang semula bisa nikahi dengan tanpa batas akhirnya dibatasi hingga empat dan berbagi macam hal lainnya. Umar pun dalam penggalan hadis nabi mengaku bahwa budaya jahiliyah tidak menggangap adanya hak bagi perempuan :
"Kami pada masa jahiliyah tidak menganggap perempuan sebagai sesuatu (yang layak diperhitungkan)". (HR. Bukhari) Â Â Â Â Â
      Dari sini tampak jelas bahwa sikap agama ini tegas anti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Namun ada segelintir orang yang menyebut bahwa dalam ajaran Islam terdapat informasi yang sebenarnya menyudutkan perempuan. Hal inilah yang direspon oleh KH. Husain Muhammad dengan mengklarifikasinya dengan tegas, seperti pidato nabi di Arafah yang berbunyi:
"Perhatikanlah (kata-kataku): hendaklah kalian memperlakukan kaum perempuan secara baik, karena mereka bagaikan tawananmu. sesungguhnya kalian tidak memiliki apapun selain hal (kebaikan) itu" (HR. Tirmidzi)
      Pernyataan ini pastilah akan membawa implikas-implikasi lain yang merugikan kaum perempuan. Pemenjaraan adalah pemasungan atas kebebasan seseorang. sebagai seorang tawanan, ia tentu tidak memiliki kebebasan, karena ia harus mengikuti tanpa bisa menentang apa yang diperintahkan sang tuan kepadanya dan seterusnya. Ini jelas tidak sejalan dengan perintah-perintah agama tentang perlunya kebebasan bagi aktivitas kaum perempuan muslim di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya . Hadis tersebut dapat dipahami dengan benar ketika kita melihatnya dalam konteks struktur sosial Arab dan semangat yang ingin disampaikan Nabi. Dikutip dari kitab Lisanul 'Arab:
"Kaum perempuan disebut tawanan adalah karena mereka selalu ditindas dan tidak mendapatkan pembelaan dari masyarakatnya. maka, hadis ini sebenarnya ingin memperingatkan kepada manusia, tentang realitas perempuan pada ruang dan waktu itu dan menyereukan mereka untuk menghentikan penindasan penindasan itu sekaligus memerintahkan agar memperlakukan kaum perempuan dengan baik" .
      Dari sedikit gambaran di atas dapat dipahami bahwa persoalan diskriminasi gender dan kekerasan terhadap perempuan berujung pada problem metodologi penafsiran terhadap teks-teks agama dan ke-mandegan dalam melakukan analisis terhadap teks-teks tersebut dalam suasana yang berubah secara kritis.Â
Pengamatan secara cerdas terhadap pernyataan-pernyataan al-Quran yang mengkritik secara tajam kebudayaan Arab yang diskriminatif dan misoginis terhadap perempuan sebelum al-Quran diturunkan, seharusnya menjadi dasar metodologi untuk melangkah ke arah perwujudan cita-cita al-Quran itu sendiri, yaitu kesetaraan manusia dan kebebasannya untuk menentukan pilihan-pilihan hidup tanpa ancaman dan bayangan kekerasan atau paksaan dari siapapun.Â
Meskipun teks-teks suci diturunkan dalam upaya transformasi kultural menuju arah yang dikehendaki, akan tetapi, cita-cita tersebut tentu tidak mungkin mewujud seketika, karena ia berhadapan dengan ruang keagamaan, sosial, ekonomi dan politik yang sangat kokoh dan mapan. berhadapan dengan situasi ini kebijakan yang diambil Islam adalah melancarkan reformasi secara evolutif.
      Watak evolusi seperti ini seharusnya juga menjadi pijakan bagi setia Muslim untuk melakukan rekonstruksi atas pemikiran-pemikiran ketika dihadapkan pada situasi yang menyimpang dari cita-cita Islam. Melalui pendekatan ini setiap teks agama baik al-Quran maupun hadits yang memperlihatkan makna diskriminatif dan misoginis harus ditempatkan sebagai wacana sejarah yang sedang diupayakan untuk diarahkan menuju cita-citanya. wacana sejarah bagaimanapun selalu meniscayakan watak sosiologisnya yang dinamis. Ia bergerak dalam dinamika dialektis secara terus menerus dan tidak pernah berhenti.Â
Wacana keagamaan juga tidak memiliki makna sakralitas sebagaimana agama. Oleh karena itu tidak bisa dimapankan sebagai sesuatu yang absolut dari agama . Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H