Mohon tunggu...
Ana Muflihatun
Ana Muflihatun Mohon Tunggu... Penulis - Collegian

Bismillahirrohmanirrohim

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ilmu Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah

27 Oktober 2020   15:00 Diperbarui: 25 Mei 2021   12:29 5603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. ILMU FIQH

Sebagai pengingat, kata fiqh berasal dari bahasa Arab faqiha- yafqahu- fiqhan (  - - ) yang bermakna al-fahm yaitu mengerti atau paham akan sesuatu, dan sesuatu yang dimaksud adalah hukum-hukum syariat Islam. Sedangkan, menurut fuqaha, yang merupakan jamak dari faqih atau ahli fiqh, fiqih merupakan pengertian zhanni mengenai hukum syariat yang berkolerasi dengan tingkah laku manusia. Zhanni sendiri merujuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain. Jika mempelajari fiqh, maka kita akan segera bertemu dengan dalil naqli dan aqli. Naqli secara terpisah berarti sesuatu yang diakui, seperti sumber hukum Islam berupa al-Qur'an, hadis, ijma', dan qiyas. Sementara, aqli secara terpisah berarti denda, kebijakan atau tindakan yang baik dan tepat, yang mana pengertian istilahnya adalah penalaran atas dalil naqli sesuai dengan kaidah penalaran bahasa Arab, teologi hingga sesuai dengan kaidah penalaran hukum. Contoh dalil aqli yakni saat seseorang bertanya 'Mengapa kita shalat 5 waktu?', maka kita menjawab 'Karena Allah SWT telah mewajibkannya di dalam dalil naqli seperti:


1)Di dalam al-Qur'an

Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (An-Nisa : 103)


2)Hadis


Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Qatadah bin Rib'iy mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Aku mewajibkan umatmu shalat lima waktu, dan Aku berjanji bahwa barangsiapa yang menjaga waktu-waktunya pasti Aku akan memasukkannya ke dalam surga, dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka dia tidak mendapatkan apa yang aku janjikan"


Ilmu fiqh dalam Islam itu mengandung hukum-hukum dan peraturan sebagai berikut:


Pertama, yang menjadi isinya adalah hukum-hukum, yang dapat mendekatkan manusia kepada Tuhannya, dan dapat menanam kedalam hatinya kebesaran Tuhan, yang dapat mengawasinya dan dapat memimpin kerohaniannya, seperti uraian tentang shalat, tentang zakat, tentan puasa, tentang haji, yang biasanya dinamakan ibadah.


Kedua, kandungan ilmu fiqh itu ialah hukum-hukum yang berhubungan dengan keturunan manusia, hukum perkawinan, apa yang wajib mengenai mahar, apa yang diatur mengenai nafkah, hak-hak dan kewajiban suami istri. Selain daripada itu juga cara menyelesaikan perselisihan, cara menjatuhkan Talaq, cara fasakh, kemudian apa yang bersangkut paut dengan 'idah, dengan urusan pemeliharaan anak, penyusunan anak, hak-hak anak, pembagian pusaka, mengenai wasiat.


Ketiga, hukum-hukum yang berkaitan tentang harta benda dan hak milik, perjanjian dan kerjasama antar manusia, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai, dagang bersama, dll.
Keempat, hukum pidana dan akibat-akibatnya yang berisi tentang denda atau penahanan.


Kelima, hukum-hukum dan peraturan mengenai peradilan, mengenai tugas-tugas qadhi, pengaduan dan penyelesaiannya, tuduhan dan cara menyelesaikannya, dll., yang dinamakan mu'rofat.

OBJEK KAJIAN ILMU FIQH

Muhammad al-Zuhaili, seorang ahli fiqh dan ushul fiqhiyah dari Syria, menyatakan bahwa yang objek kajian ushul fiqh yang membedakannya dari kajian fiqh, diantaranya :
-Sumber hukum Islam atau dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara',
-Mencarikan jalan keluar dari dalil yang secara dzahir dianggap bertentangan, baik melalui pengkompromian dalil, menguatkan salah satu dari dalil-dalil yang bertentangan, naskh, atau pengguguran dua dalil yang bertentangan.
-Pembahasan ijtihad.
-Pembahasan tentang hukum syara'
-Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya.

TUJUAN ILMU FIQH

Ilmu Fiqh tujuannya adalah sebagai batasan pemahaman umat tentang norma-norma yang berlaku dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Selain itu, agar para mukallaf mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang rinci.

Fungsi dari fiqih itu sendiri adalah untuk memahamkan kepada kita kepada pokok-pokok syariat dan mempaparkan tata cara pelaksanaan agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hariagar kita dapat melaksanakan syariat islam secara kaffah atau sempurna.

Baca juga: Apa Itu Wakaf Produktif? (Dan Perbandingannya Menurut Madzhab Fiqih) 

Selain itu, Fiqih bertujuan untuk memberikan pengarahan agar umat Islam berada pada jalan yang lurus. Jalan yang lurus dan benar maksudnya hidup sesuai dengan syariat islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma' ulama.

Belajar fiqih diharapkan dapat menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi-sosial kita dan dapat memahami cara-cara pelaksanaan syariat islam baik itu dari segi ibadah sampai muamalah. Serta, kita juga dapat mengamalkan hukum islam sebagai bentuk ketaatan kita dalam menjalankan ajaran Islam, baik itu yang sifatnya hubungan dengan Allah SWT dengan manusia dan makhluk-makhluk Allah SWT, tidak lupa lingkungan.

Ruang lingkup ilmu Fiqh, meliputi berbagai bidang di dalam hukum-hukum syara', antara lain :

-Ruang lingkup Ibadat, ialah cara-cara menjalankan tata cara peribadatan kepada Allah SWT.

-Ruang lingkup Mu'amalat, ialah tata tertib hukum dan peraturan hubungan antar manusia sesamanya.

-Ruang lingkup Munakahat, ialah hukum-hukum kekeluargaan dalam hukum nikah dan akibat-akibat hukumnya.

-Ruang lingkup Jinayat, ialah tindak pelanggaran atau penyimpangan dari aturan hukum Islam sebagai tindak pidana kejahatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi pribadi, keluarga, masyarakat, dan Negara.

Fiqh islam mempunyai karakteristik khusus, antara lain sebagai berikut:

- Fiqh Islam itu Dasarnya Adalah Wahyu Ilahi.

Keistimewaan fiqh islam dibanding undang-undang buatan manusia adalah bahwa fiqh islam bersumber pada wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Quran dan sunnah Nabi. Maka setiap mujtahid dalam melakukan penggalian hukum-hukum syara' selalu merujuk pada dua sumber tersebut, baik secara langsung maupun melalui yang tersirat. Dengan begitu, maka pertumbuhan fiqh islam sempurna, epistemologinya jelas dan tiang-tiang penyangganya kuat, sebab prinsip dasarnya kuat dan sempurna yaitu wahyu.  Allah SWT berfirman: " ...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku sempurnakan pula nikmat-Ku untukmu, dan Aku rela Islam menjadi agamamu ....." (QS. Al-Maidah:3).

Setelah itu, kita tinggal menerapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang sesuai dengan tujuan syari'ah (maqashid al-syari'ah).

- Fiqh Islam bersifat Komprehensif, Mencakup Seluruh Aspek Kebutuhan Hidup.

Fiqh Islam mempunyai sesuatu yang lebih jika dibandingkan sistem undang-undang yang lain, karena ia mencakup tiga aspek hubungan, hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan masyarakatnya. Karena Islam itu mengatur urusan dunia akhirat, Islam itu agama dan negara,  bersifat umum bagi seluruh manusia dan kekal sampai hari kiamat.

Tidaklah mengherankan jika kemudian hukum-hukum Islam itu biasanya berkutat dalam persoalan aqidah, ibadah, akhlak dan mu'amalah. Karena tujuannya adalah supaya manusia sadar dengan sepenuh hati bahwa Allah selalu mengawasi, baik dalam perkara yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Di samping itu, juga agar manusia mau menghormati hak-hak orang lain, sehingga mereka benar-benar merasa tenang dan bahagia, baik dalam kehidupan yang bersifat khusus maupun umum.

Oleh karena itu, maka hukum-hukum fiqh yang terkait dengan perbuatan seorang mukallaf, baik berupa ucapan, perbuatan transaksi selalu mencakup dua aspek, yaitu hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum mu'amalat.

Hukum-hukum ibadah meliputi persoalan bersuci, shalat, puasa, haji, zakat, nazar, sumpah, dan lain sebagainya; yang intinya, segala hal yang berkait dengan hukum-hukum yang dimaksudkan untuk mengatur sistem hubungan manusia dengan Tuhannya.

Sedangkan hukum-hukum mu'amalah meliputi persoalan akad-transaksi, pembelanjaan harta, hukuman, pidana, jaminan dan lain sebagainya. Intinya, hukum-hukum yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan sesama, baik bersifat pribadi maupun kelompok. Hukum-hukum mu'amalat itu dirinci lagi menjadi:

a. Hukum ahwal al syakhsiyyah, yaitu hukum-hukum yang terkait dengan masalah keluarga, seperti pernikahan, cerai, pernasaban, nafkah, warisan. Hukum ahwal al syakhsiyyah itu dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara suami istri, dan mengatur hubungan kerabat yang satu dengan yang lainnya.

b. Hukum-hukum perdata, yaitu hukum yang terkait dengan masalah mu'amalah atau tukar-menukar, seperti masalah jual beli, persewaan, penggadaian, tanggungan, perseroan, hutang piutang, pemenuhan janji. Hukum-hukum perdata itu ditujukan untuk mengatur hubungan seseorang mengenai masalah harta dan untuk menjaga hak-haknya. Di dalam Al-Qur'an ada kurang lebih tujuh puluh ayat yang berbicara mengenai masalah tersebut.

c. Hukum-hukum pidana, yaitu hukum-hukum yang terkait dengan persoalan kejahatan yang muncul dari seorang mukallaf dan menyebabkan ia harus diberi hukuman. Hal ini bertujuan menjaga kehidupan manusia, harta, kehormatan dan hak-hak mereka. Di samping itu, juga untuk membatasi hubungan antara orang yang menjadi korban (al-mujna'alaih) dan yang melakukan tindak kejahatan (al-jani), serta umat manusia pada umumnya. Di dalam Al-Qur'an ada kurang lebih tiga puluh ayat mengenai hukum pidana.

d. Hukum proses persidangan baik kasus perdata maupun pidana (al-ahkaam al-muraafa'at). Al ahkam berarti hukum-hukum, muraafa'at berarti sesuatu berhubungan dengan masalah kehakiman, prosedur melakukan tuduhan, prosedur penetapan suatu kasus baik dengan menggunakan saksi, sumpah, bukti, dan lainnya. Hukum-hukum dalam masalah ini dimaksudkan untuk mengatur prosedur penegakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Dalam Al-Qur'an ada sekitar dua puluh ayat yang mengatur masalah ini.

e. Hukum pemerintahan (al-ahkaam d-dustuuriyyah). Yaitu, hukum-hukum yang berhubungan dengan sistem pemerintahan dan juga dasar-dasar pemerintahan. Dengan adanya hukum ini, maka hubungan antara pemerintah dengan rakyat dapat tertata dengan baik, hak dan kewajiban individu serta masyarakat dapat diketahui dengan jelas.

f. Hukum internasional (al-ahkaam ad-dauliyyah). Yaitu, hukum-hukum yang membahas masalah tata tertib hubungan antara negara islam dengan negara-negara lainnya, baik dalam kondisi damai maupun kondisi perang. Bagian ini juga membahas hubungan warga negara non-Muslim dengan pemerintah, masalah jihad, dan juga masalah perjanjian damai. Dengan adanya hukum ini, maka bentuk hubungan antara satu negara dengan yang lainnya dapat terjalin dengan baik, saling menolong, dan saling menghormati.

g.      Hukum perekonomian, yaitu hukum yang terkait dengan masalah harta seseorang dan ketentuan yang harus ditaati.  Termasuk di dalamnya adalah hak-hak dan kewajiban negara untuk masalah ini, sistem penghasilan negara dan sistem pembelanjaannya, di samping juga untuk mengatur sistem hubungan antara orang-orang kaya dengan yang miskin, negara dengan rakyatnya, terutama menyangkut masalah harta negara yang khusus maupun yang umum, seperti harta rampasan perang, perpajakan, barang tambang baik migas maupun non migas, hasil alam, harta rakyat, seperti zakat, sadaqah, nazar, pinjaman, harta keluarga ,seperti infaq, warisan, wasiat, dan harta pribadi seperti keuntungan berdagang, sewa-menyewa, perseroan dan setiap hasil-hasil produksi lainnya.

- Fiqih Islam Itu Berbicara Tentang Halal-Haram

Salah satu perbedaan antara fiqih islam dengan undang-undang hukum positif adalah bahwa dalam fiqih Islam selalu ada pemikiran mengenai halal-haram terhadap setiap tindakan muamalah, tidak hanya persoalan-persoalan yang bersifat duniawi, tapi juga yang bersifat ukhrawi.

Hukum duniawi ini titik tekannya adalah hal-hal yang bersifat zahir atau eksoteris (hal-hal yang tampak) dan tidak mempersoalkan hal-hal yang bersifat esoteris (tidak tampak).  Itulah yang disebut keputusan hukum (al-hukmu al-qada'i) dari seorang hakim.  Seorang hakim hanya dapat memutuskan perkara berdasarkan bukti-bukti zahir dan formal.  Keputusan hakim sebenarnya tidak dapat menjadikan hal yang batal (salah) menjadi benar, atau sebaliknya yang benar menjadi salah; menjadikan yang halal menjadi haram, atau yang haram menjadi halal dalam kenyataannya.  Putusan hakim itu harus diberlakukan, hal ini berbeda dengan fatwa, yang tidak harus diberlakukan. Sedang hukum akhirat ini didasarkan pada kebenaran material yang hakiki, meskipun bagi seorang (misalnya hakim) hal itu sangat samar dan tidak tampak. Sebab yang memutuskan dalam hal ini adalah Allah SWT.  Putusan ini diberlakukan oleh Allah langsung untuk hamba-hambanya.


Salah satu dasar pijakan epistemologi mengenai pembagian hukum tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para imam hadis Kutub Al-Sittah, di mana Rasulullah SAW pernah bersabda : "Sesungguhnya aku hanyalah manusia dan sesungguhnya kalian bertengkar (untuk mengaadukan persoalan hukum) kepadaku. Mungkin sebagian kalian lebih pandai dalam berargumentasi dibanding yang lainnya, sehingga aku memutuskan hukum yang cenderung menguntungkan kalian sesuai dengan informasi (bukti-bukti material) yang saya dengar.  Maka barang siapa yang aku putuskan hukum untuknya, dengan merugikan hak muslim yang lain, sesungguhnya hal itu merupakan potongan dari api neraka, maka silahkan mengambilnya atau meninggalkannya."


Salah satu faktor munculnya kategori sifat seperti itu adalah karena syariat itu merupakan wahyu Allah yang menjanjikan pahala dan siksa akhirat.  Syariat itu adalah sistem undang-undang yang bersifat ruhiyyah sekaligus badaniyyah (badan).  Karena ia datang untuk kebaikan dunia dan akhirat atau agama dan dunia.
Implikasi dari pembagian hukum tersebut misalnya tampak dalam masalah talaq (cerai), sumpah, hutang-piutang, pembebasan, paksaan dan lain sebagainya. Berdasarkan hal itu, maka tugas seorang qadi (hakim) itu berbeda dengan tugas seorang mufti (ahli fatwa).  Seorang qadi (hakim) menetapkan hukum berdasarkan bukti-bukti lahir (yang formal) saja, sedangkan seorang mufti dalam menetapkan hukum tetap menjaga aspek batin dan lahir secara bersama. Maka apabila terjadi perselisihan dua orang yang secara lahir sama-sama kuat, maka dalam keputusan hukum, seorang mufti mendasarkan putusannya berdasarkan bukti-bukti batin, jika memang tampak baginya.
Sebagai contoh, jika ada seseorang yang telah membebaskan hutangnya kepada piutangnya (orang yang berhutang) tetapi pihak piutang tersebut tidak tahu kalau hutangnya telah dibebaskan, lalu dikemudian hari orang tersebut menuntut kepada pihak piutang agar melunasi hutangnya, maka hakim (qadi) akan memutuskan bahwa dia dalam (piutang) tetap punya hutang dan wajib membayarnya. Hal itu berbeda dengan putusan fatwa.  Menurut keputusan fatwa, maka orang tersebut (piutang) tidak lagi harus membayar hutangnya karena telah ada ibra' (pembebasan hutang) meski yang berhutang tidak tahu.


-Fiqih Islam Terkait dengan Masalah Akhlak/Moral


Fiqih Islam berbeda dengan undang-undang pada umumnya, karena ia terpengaruh dengan undang-undang moral (qawaid al-akhlaq), bahkan ia menyempurnakannya.
Adapun Fiqih Islam ingin menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya moralitas. Tasyri' ibadah misalnya, dimaksudkan untuk mensucikan dan membersihkan jiwa, serta menjauhkan  dari hal-hal munkar. Diharamkannya riba dimaksudkan untuk menyebarkan semangat tolong menolong (ruh ta'awun), kasih sayang diantara manusia dan melindungi orang-orang miskin dari keserakahan para pemilik harta. Demikian pula larangan menipu dalam transaksi, larangan makan harta dengan cara yang batal, serta membatalkan akad, sebab ketidaktahuan (al-jahalah) atau cacat yang sudah maklum dan lain sebagainya. Semua itu dimaksudkan untuk menyebarkan cinta kasih, menjaga kepercayaan dan menghindarkan pertentangan diantara manusia. Disamping itu juga untuk menjaga hak-hak orang lain.  Demikian halnya dengan perintah untuk melaksanakan akad transaksi, yang dimaksudkan untuk menjaga janji, diharamkannya minuman keras (khamr) yang dimaksudkan untuk menjaga akal yang salah satu fungsinya sebagai tolak ukur baik dan benar.
 

Apabila agama dan akhlak saling menopang dalam kegiatan muamalah maka kemaslahatan masing-masing masyarakat akan menjadi nyata, kebahagiaan mereka di akhirat juga akan tercapai.  Dengan begitu, maka tujuan fiqih adalah untuk kebaikan di masa sekarang maupun yang akan datang dan kebahagiaan dunia akhirat. Pengaruh agama dan akhlak dalam fiqih islam (syariat islam) dapat menjadikan syariat lebih diamalkan, dihormati dan ditaati, sementara undang-undang buatan manusia (al-Qanun al-Wad'iyyi) cenderung untuk dilanggar oleh orang-orang, terutama oleh para penguasa sendiri.


-Hukuman Bagi Pelanggar Hukum di Dunia dan Akhirat

Fiqih islam berbeda dari undang-undang konvensional buatan manusia (al-Qanun Al-Wad'iyyi) yang hanya menetapkan hukuman di dunia saja bagi orang yang melanggarnya, karena fiqih islam memberikan sanksi hukuman bagi yang melanggar pada dua hal, yaitu hukuman dunia, baik berupa hukuman hudud yang sudah ditentukan maupun ta'zir yang tidak ditentukan terhadap perbuatan manusia yang bersifat zahir, dan hukuman akhirat atas perbuatan hati yang tidak tampak oleh manusia, seperti iri hati, berniat merugikan orang lain, dan atas perbuatan lahir yang belum dikenakan sanksi (siksa) di dunia, yang boleh jadi hal itu disebabkan karena mengabaikan hukuman tersebut, seperti yang terjadi di kebanyakan negara-negara sekarang ini, atau karena tidak adanya putusan hukum, atau tindakan pelanggaran tersebut tidak sempat diketahui oleh para penegak hukum.

Baca juga: Penerapan Prinsip Fiqih Muamalah dalam Akad Ishtisna 

Demikian pula hukuman atau balasan dalam fiqih islam bersifat positif dan negatif. Dikatakan positif karena dalam pelaksanaan hukuman tersebut terdapat pahala disebabkan oleh sikap ketaatan seseorang kepada perintah-perintah Allah.  Dikatakan negatif karena hukuman tersebut menetapkan pahala bagi seseorang karena menjauhi larangan dan maksiat kepada Allah.
Adapun undang-undang pada umumnya hanya terbatas pada penetapan hukuman yang bersifat negatif (salbi) yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap hukuman-hukuman tersebut, tanpa adanya penetapan pahala (reward) bagi pihak yang dihukum karena taat menjalankan hukuman tersebut.

- Adanya Orientasi Kolektivitas dalam Fiqih Islam
Artinya, dalam fiqih Islam itu selalu menjaga kemaslahatan individu dan sosial secara bersama-sama, tanpa harus melanggar hak orang lain. Oleh sebab itu, kemaslahatan bersifat umum atau sosial harus didahulukan dibanding dengan kemaslahatan yang bersifat individual, terutama ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan individual dengan kemaslahatan sosial yang bersifat umum. Demikian pula ketika terjadi pertentangan antara kemaslahatan yang menimpa dua hal yang lebih besar bahayanya.  Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi : " " (Tak berbahaya (baginya) dan tidak membahayakan (orang lain) dan kaidah yang berbunyi: "menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil resiko yang lebih kecil dari keduanya."

Contoh kasus dalam rangka  menjaga kemaslahatan umum adalah disyari'atkannya ibadah shalat, puasa dan lain sebagainya.  Selain itu adalah dihalalkannya jual beli dan diharanmkannya riba, diharamkannya menyimpan barang dagangan dan jual beli bi saman al-misli, dan lain sebagainya. Termasuk dalam rangka menjaga kemaslahatan umum adalah ditegakkannya hukuman hudud terhadap para pelaku kemungkaran yang berbahaya, pengaturan keluarga, menjaga hak-hak tetangga, menepati janji dan jual beli secara paksa untuk kepentingan umum, seperti kepentingan untuk membuat masjid, madrasah, rumah sakit, kuburan dan lain sebagainya.

Adapun contoh dibatasinya hak pribadi seseorang ketika membahayakan kepentingan umum adalah bahwa seorang istri tidak harus taat kepada suami apabila suami membuat madarat kepadanya.  Hal ini sejalan dengan Firman Allah:

"Janganlah kalian mengekangnya karena untuk membuat bahaya agar mereka ber'iddah" (Qs. Al-Baqarah: 231).

Demikian pula tidak wajib taat kepada penguasa jika ia memerintahkan kemaksiatan atau mengingkari kemaslahatan umum.  Sebab, ketaatan itu hanya pada hal yang baik. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: "Wajib mendengar dan taat kepada seorang muslim terhadap sesuatu, baik ia suka maupun tidak suka selagi tidak diperintah untuk bermaksiat. Maka apabila ia memerintahkan berbuat maksiat maka tidak ada keharusan untuk mendengarkan dan mentaatinya (HR. Ahmad)

B. ILMU USHUL FIQH

Ul al fiqh terdiri dari padanan dua kata, yaitu ul dan al fiqh. Ul merupakan bentuk jama' dari al yang berarti apa-apa yang dibangun diatasnya yang lainnya. seperti akar yang bercabang darinya ranting-ranting. Sementara fiqh secara etimologi adalah pemahaman. Fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat amaliyah yang di ambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.

Ilmu ushul al-fiqh merupakan metode pengetahuan yang sangat penting dalam Islam. Dengan kekhasan yang dimilikinya dan tidak dimiliki oleh ilmu lain, ilmu ini dapat menemukan maksud Tuhan yang terkandung dalam nash al-Qur'an dan Hadis dengan memperhatikan perubahan ruang dan waktu. Sebagai sebuah ilmu, ushul al-fiqh seyogyanya tidak menjadi "dogma" yang tidak berkembang dan memperhatikan ruang dan waktu. Pada masa awal pembentukan ilmu ushul al-fiqh, ilmu ini tidak berhenti mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan manusia. Adanya aliran mutakallimun dan fukaha', konsep maqashid al syariah al Syathibi dan al Ghazali, kemudian revitalisasi oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan al Thurabi, hingga pemikir modern seperti teori hudud Muhammad Syahrur, double-movement Fazlur Rahman, adalah merupakan bukti berkembangnya ilmu ushul al fiqh. Namun, perkembangan ini tidak diikuti oleh para ahli ushul al fiqh di Indonesia, termasuk tidak adanya pengembangan ilmu ushul al fiqh di Perguruan Tinggi. Pengembangan ilmu ushul al fiqh dapat dilakukan dengan filsafat ilmu, sehingga dapat diketahui dengan jelas hakikatnya, sumbernya, wilayah kajiannya, dan kegunaannya. 

Pengembangan ini akan membantu ilmu ushul al fiqh selalu hidup di tengah masyarakat, meskipun dengan bergantinya ruang dan waktu. mendalam atas hukum -- Ilmu-ilmu keislaman --termasuk ilmu ul al fiqh, dianggap oleh banyak umat Islam yang bersumber pada premis keyakinan. Umat Islam sering terjebak dengan istilah ilmu-ilmu keislaman yang identik dengan wahyu. Fiqh diidentikkan dengan wahyu, ilmu kalam identik dengan wahyu, ilmu tasawwuf identik dengan wahyu, dan seterusnya. Akibatnya, pembicaraan akademik sering macet lantaran sudah dipatoki dengan wahyu. Suatu teori baru tidak dapat lahir karena teori lama dianggap identik dengan wahyu.

KAJIAN USHUL FIQH

Setelah diketahui tentang definisi ul al fiqh, maka selanjutnya adalah kajian ul al fiqh dalam perspektif filsafat ilmu yang meliputi kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

1. Ontologi ushul fiqh

Ontologi berasal dari bahasa Yunani, onta "yang ada secara nyata", logos "studi tentang" "teori". Ontologi merupakan salah satu cabang kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani, yaitu studi yang membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret tokohnya Thales, Plato, dan Aristoteles. Ontologi ilmu mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan menusia secara rasional yang bisa diamati melalui pancaindera manusia.

Persoalan ontologi suatu ilmu menurut para pakar filsafat ilmu adalah adalah persoalan wilayah kajian suatu ilmu. Dengan demikian, yang dimaksud dari ontologi ilmu ul al fiqh adalah wilayah kajian apa yang dibahas dalam ilmu ul al fiqh. Dari uraian tentang definisi ul al fiqh di atas, maka wilayah kajian ul al fiqh menurut para pakar adalah kaidah-kaidah atau metode pengambilan hukum. Kaidah-kaidah ini biasanya disebut dengan dalil syara' yang kull (umum) atau global, bukan dalil juz' (khusus) atu rinci.

Dalil itu sendiri ada dua macam, yaitu dalil ijml (global) dan dalil tafl (rinci). Kedua dalil ini populer berdasarkan wilayah pembicaraannya. Pertama, pembicaraan mengani ayat-ayat al Qur'an yang terinci atau tidak. Dalil ijml terlihat pada contoh-contoh ayat al Qur'an yangmenerangkan persoalan secara umum, misalnya ayat tentang shalat, dimana tidak dirinci penjelasan mengenai tata cara shalat. Sementara dalil tafl terlihat pada ayat-ayat al Qur'an yang berbicara secara rinci mengenai suatu hal, seperti ayat tentang bagian kewarisan.

2. Epistemologi ushul fiqh

Adanya kajian epistemologi ini membuat setiap perdebatan menyangkut hukum dalam Islam bisa dibingkai secara akademik karena dapat merujuk pada kajian teori tertentu. Struktur ilmu ushul fiqh memadukan unsur teks normatif berupa wahyu verbal di satu pihak dan logika formal di pihak lain. Dengan struktur seperti ini tidak sedikit kalangan menganggap bahwa ilmu ini merupakan falsafah Islam faktual yang berfungsi mengawasi kehidupan manusia yang senantiasa beraktivitas di muka bumi.

3. Aksiologi ushul fiqh

Aksiologi merupakan persoalan fungsi suatu ilmu. Fungsi ilmu ushul fiqh adalah untuk membimbing manusia dalam menangkap maksud Tuhan secara benar. 37 Oleh karena itu, segala kaidah dan teori dalam ilmu ini selalu diarahkan dalam rangka menangkap maksud Tuhan.

KETERKAITAN ILMU FIQH DAN ILMU USHUL FIQH

Ushul fiqh merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan objeknya selalu dalil hukum. Sementara objek fiqhnya selalu perbuatan mukalaf yang diberi status hukumnya. Walaupun ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatii ketentuan hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil sebagai pohon yang dapat melahirkan buah sedangkan fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut. Setelah diketahui pengertian ushuldan fiqih,perlu diketahui bagaimana para ulama mendefinisikan ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu.


Ada perbedaan yang signifikan antara fiqh dengan ul al fiqh. Jika fiqh membahas hukum yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci, maka ushul fiqh membahas kaidah atau dalil yang bersifat umum. Fiqh dapat dikatakan sebagai produk hukum praktis, sedangkan ul al fiqh merupakan perangkat teoritik atau metodologi dalam menderivasi atau memproduk hukum.
Ilmu Fiqih merupakan produk dari Ushul Fiqh. Ilmu Fiqh berkembang seiring berkembangnya Ilmu Ushul Fiqh. Ilmu fiqh akan bertambah maju jika ilmu Ushul Fiqh mengalami kemajuan. Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam-macam ketentuan dan kaidah sehingga diperoleh ketetapan hukum syara' yang harus diamalkan manusia. Logikanya, kalau ilmu alatnya maju, maka pastinya produknya --dalam hal ini fiqh-juga maju.


Kedua, dalil ijml atau kull dan tafl atau juz' dalam konteks pembicaraan tentang kaidah-kaidah umum ul al fiqh. Dalil ijml atau kull adalah dalil atau kaidah yang bersifat umum yang tidak menunjukkan suatu hukum pada masalah tertentu secara langsung. Contohnya, kaidah "kata perintah menunjukkan hukum wajib selama tidak ada indikasi lain yang menunjukkan pengertian selain itu". Sementara kebalikannya adalah dalil juz' atau tafl, dalam pengertian dalil-dalil yang langsung menunjukkan hukum tertentu. Misalnya, ayat yang memerintahkan untuk melaksanakan shalat, zakat, dan haji.


Ul al fiqh hanya berbicara tentang dalil atau kaidah yang bersifat kull atau umum, misalnya dapat dilihat dari kaidah amr (perintah), dimana "kata perintah menunjukkan hukum wajib selama tidak ada indikasi lain yang menunjukkan pengertian selain itu". Ul al fiqh hanya berbicara tentang kaidah umum seperti itu, tanpa merinci satu persatu perintah yang terdapat dalam al Qur'an atau Sunnah. Sementara dalil juz' adalah teks al Qur'an berupa bentuk amr (perintah). Contohnya adalah teks al Qur'an atau Sunnahyang berupa amr. Teks-teks (rincian) ini dijelaskan oleh para mujtahid dalam wilayah kajian ilmu fiqh.


Wilayah atau objek kajian ul al fiqh berupa dalil syara' yang kull, dimana pembahasannya dapat dibagi menjadi empat hal, yaitu:
a. Pembahasan mengani hukum syara' dan yang berkaitan dengannya, seperti hkim, mahkm fh dan mahkm 'alaih. Pembahasan ini disebut ats tsamrah (buah).
b. Pembahasan mengenai sumber-sumber dan dalil-dalil hukum, yang meliputi dalil-dalil umum, yakni al qur'an hadis, ijm', dan qiys. Pembahasan ini disebut al
musmirah (pemberi buah).
c. Pembahasan mengenai cara mengistinbathkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil tersebut, yang meliputi metode kebahasaan dan kemaknaan.
Pembahasan ini disebut urq alistimr (metode mengambil buah).
d. Pembahasan mengenai ijtihad, yang meliputi kriteria orang yang berhak disebut mujtahid. Pembahasan ini disebut al muamir (pengambil buah).
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa wilayah kajian ul al fiqh hanya meliputi dua hal, yaitu dalil-dalil umum dan al ahkm (hukum-hukum syara'), dan yang lainnya hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Setiap teks ayat atau hadis dalam berbagai macam bentuk dan karakteristiknya dikaji sedemikian rupa sehingga akan membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang dirumuskan dalam bentuk kaidah-kaidah umum. Kemudian, hukum syara' dijelaskan secara panjang lebar, baik dari segi konsepnya maupun dari segi bagaimana ia ditetapkan melalui dalil-dalil syara'.

C. QAWAID FIQHIYYAH

Qawaid  Fiqhiyyah  adalah  kata  majemuk  yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (), jamaknya qawaid (). berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Qaidah  dengan  arti  dasar  atau  fondasi  sesuatu yang bersifat materi.

Baca juga: Sebab-sebab Perbedaan dalam Fiqih

KAIDAH-KAIDAH POKOK QAWAID FIQHIYYAH

Kaidah-kaidah pokok qawaid fiqhiyah dibagi kedalam empat kaidah besar, yaitu:

1.Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan ( ).

Kaidah ini menandaskan bahwa hukum yang sudah berlandaskan keyakinan tidak dapat dipengaruhi oleh keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu uamh merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan tidak akan menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya. Seorang yang sebelumnya telah yakin bahwa dia berada dalam kondisi suci dengan berwudlu misalnya tidak akan hilang hukum kesuciannya disebabkan munculnya keraguan setelah itu. Karena keraguan itu timbul, dia telah meyakini keabsahan thahrah yang telah dilakukan.

Yang dimaksud yakin dalam kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek hukum yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau persepsi kuat.

2.Kesulitan mendatangkan kemudahan ( ).

Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari'ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.

3.Kemudaratan harus dihilangkan ( ).

Setiap orang dalam hidupnya pasti tidak ingin tertimpa bahaya atau kesusahan. Pembawaan alamiah ini membuat kebanyakan manusia selalu berpikir pragmatis dan praktis. Ia selalu berupaya merengkuh kebahagiaan sepuas-puasnya dan berusaha menghindari bahaya sejauh-jauhnya. Sebagai bukti adalah makna yang terangkum dalam konsep kaidah ini, yang secara eksplisit memotivasi kita untuk membuang jauh-jauh semua bahaya.  

4.Adat kebiasaan dapat digunakan sebagai landasan hukum( ).

Berkaitan dengan batasan adat dalam kaidah ini, fuqaha sebagaimana dikutip al-Suyuti memberikan batasan bahwa "adat istiadat" yang bisa mendapat legistimasi syari'at adalahg segala sesuatu yang tidak mempunyai batasan syari'at.

KETERKAITAN QAWAID FIQHIYAH DENGAN ILMU FIQH DAN ILMU USHUL FIQH

Ilmu fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawa'id al- fiqhiyah karena kaedah al-fiqhiyah merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa'id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari'at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.

Persoalan baru semakin banyak tumbuh dalam masyarakat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka diperlukan kunci berfikir guna memecahkan persoalan masyarakat sehingga tidak menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dengan demikian qawa'id al fiqhiyah sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli fiqih dalam rangka mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fikih ke arah pemecahan problema hukum masyarakat.

Menurut al-Baidhawy dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih adalah :

"pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang menggunakannya.". Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu:

-Dalil (sumber hukum)

Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian hukum dari sumbernya. Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali (mengistinbath) hukum dan sumbernya.

Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten.

Kemudian tujuan dari pada ushul fiqh itu sendiri adalah untuk mengetahui jalan dalam mendaptkan hukum syara' dan cara-cara untuk menginstimbatkan suatu hukum dari dalil-dalinya. Dengan menggunakan ushul fiqh itu, seseorang dapat terhindar dari jurang taklid.

Ushul fiqh itu juga sebagai pemberi pegangan pokok atau sebagai pengantar dan sebagai cabang ilmu fiqih itu, berisikan antara lain teori-teori hukum baik berupa asas-asas hukum, dalil-dalil atau kaidah-kaidah ushul fiqh yang harus digunakan untuk dapat memahami syari'at itu dengan baik.

Dapat dikatakan bahwa ushul fiqh sebagai pengantar dari fiqih, memberikan alat atau sarana kepada fiqh dalam merumuskan, menemukan penilaian-penilaian syari'at dan peraturan-peraturannya dengan tepat.

Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (nash al-Qur'an dab sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.

Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istyinbath) dari ayat Al-Qur'an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi

.......

"dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ..."

Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut ( ).

Fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.

Fikih membahas tentang bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antara manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu hubungan diantara Qawa'id al- fiqhiyah dengan fikih sangat erat sekali karena qawaid fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasusu seperti ini, mualaf tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :" " bahaya wajid dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara qawaid ushuliyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyah menkaji dalil hukum (nash al-Qur'an dan sunah) dan hukum syarak, sedangkan qawaid fiqhiyah mengkaji perbuatan mukalaf dan hukum syarak.

Demikianlah hubungan antara fiqih, qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah. Hukum syarak (fiqih) adalah hukum yang diistinbath dari nash al-Qur'an dan sunnah melalui pendekatan ushul fiqih yang diantaranya menggunakan qawaid ushuliyah. Hukum syarak (fiqih) yang telah diistinbath tersebut diikat oleh qawaid fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah difahami dan identfikasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun