***
Kemudian beberapa kali aku mengajaknya untuk pergi, kali ini aku ingin memakai angkot saja, ada saja alasan untuk dia tidak jadi pergi, sering lewat telpon dia membatalkannya. Aku tak habis pikir mengapa dia terus membatalkan janjinya. Aku mulai marah dan menghampiri rumahnya
"Sinta, Sinta., permisi."
"Iya nak Hamid, wah Sintanya lagi ada tamu nak."
Sinta keluar menemuiku dengan wajah cemas, dia mengajakku keluar ke gang sempit rumahnya.
"Maaf Hamid, aku tak bisa pergi."
"Terus kok dari kemarin ga bisa kuajak, kamu ngapain?"
Kemudian dia memelukku dan beranjak pergi sambil menangis, aku mengejarnya, namun Sinta telah terlanjur masuk. Ibunya di depan melihatku dengan muka cemas dan bingung.
"Sin, Sinta..?" Aku berteriak memanggilnya.
"Maafin Sinta ya, Dek!" Kata ibunya dengan nada cemas.
"Ayah Sinta meninggal akhir april kemarin, sesaat setelah dek Hamid kemari. Maafin Sinta ya kalau dia sering goncang!"
Mendengar itu, jantungku berdegub kencang, shock. Aku tak tahu harus berbuat apa, seketika pikiranku kosong, dan tak tahu harus kemana.
***