Mohon tunggu...
AmYu Sulistyo
AmYu Sulistyo Mohon Tunggu... Mahasiswa -

@amyu12 || Ambar Sulistyo Ayu || Seorang Calon Perencana yang Real akan merealisasikan rencana membuat Kota Impian dunia || T.PWK Undip 2012 || Project taker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tunjuk Satu Bintang

19 Februari 2014   03:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:41 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini aku membawakan kado spesial yang sempat kutunda selama beberapa tahun, namun ini album Sheila On7 yang baru- Menentukan Arah, bertandatangankan sang vokalis, Duta, yang kudapatkan kemarin dari Gilang, temanku yang bekerja di Bandara Soetta. Ku kemas kado itu di sebuah kertas koran, lalu ku letakkan kartu ucapan dengan tulisan,"Coba kau tunjuk satu bintang, sebagai pedoman langkah kita. For Poni Bando" Lalu ku kemas kado itu dalam kotak hitam dengan pita pink di luarnya.

"Pa, aku bawa mobil ya!" Ku ambil kunci mobil yang tergantung di dekat telepon, dan segera kukendarai avanza cream-ku mundur, keluar dari garasi rumah. Di mobil pikiranku melayang akan saat-saat itu.

***

"Poni Keriting, apa kabar?" Tulisan di sebuah tissue itu ada di depan mejaku.

"Kabar baik, gimana kabar si Poni bando? Sehat tidak?" Ku tulis surat itu dan ku oper ke meja sebelah kiri, ada cewek berbando merah di situ. Ia duduk sendirian, tapi dalamn kesendiriannya itu, di mejanya terdapat setumpuk tissue paseo, aku tahu ia menggunakannya untuk mengekap ingus, tapi itu juga yang ia gunakan untuk menuliskan surat tadi, sesaat kutatapi tumpukan tissue itu agak lama, entah apa yang aku pikirkan saat itu, "Hamid Nugrahandi, maju! Kerjakan soal nomor 3!" Pak Broto memanggil namaku dengan suara lantang, sang pemilik tissue itu tersenyum simpul ketika aku memandangnya sebentar. Aku maju dengan membawa buku dan ilmu ngepas dengkul, Ku tulis soal matematika trigonometri yang aku nggak ngerti sama sekali apa jawaban soal ini. Lama aku berpikir di depan, kujawab asal-asalan.

"Begini pak?" Tanyaku ke Pak Broto.

"Soal gampang begini ga bisa, dari tadi nglirikin cewek aja, memang saya tidak lihat?" Pak Broto memarahiku di depan kelas, sontak tawa anak-anak pecah.

"Revina, daritadi Hamid melihat punggungmu terus, coba kamu betulkan jawaban pacarmu ini."

"Ciyeee.. Revi thooo? Ooooh Hamiid" sorak ramai teman-teman sekelas mengomentari kata-kata pak Broto.

Setelah Revi selesai, dia duduk, dan aku harus kembali diperolok pak Broto di depan kelas. Baru setelah dia puas memarahiku, aku duduk. Memang, Sinta, sang pemilik tisu, tidak kena olok, namun harga diriku. Sudahlah.

***

Pulang sekolah, aku menolak ajakan Wawan untuk mampir ke warung Bu Rusmi, aku langsung menumpang bis jurusan rumahku, ada Sinta yang juga menumpang di bisku, tepatnya dia duduk di sebelahku.

"Hai poni keriting?" Sapanya hangat.

"Hai poni bando?" Aku menjawabnya.

"Tadi gimana di depan kelas?"

"Ya begitulah, namanya juga guru." Komentarku terhadap kejadian tadi, jujur sebenarnya aku malu membahasnya, aku sudah tak ingin mengungkitnya.

"Pernah berpikir tidak revi sebenarnya suka sama Hamid?" Tanyanya sambil melirikku penuh curiga, aku mencoba menjawab dengan nada datar,"Ga tau, yang aku tahu Revi pacar Bastian."

Setelah itu kami diam, sampai bus kami belok, aku baru membuka suara, "Sin, besok kan minggu, kamu ada acara ga?"

"Ga ada, Mid. Kenapa emang?"

"Ke situ yuk, nonton." Kataku sambil menunjuk Mall. Ia berpikir sejenak dan mengangguk meng-iyakan permintaanku.

Beberapa minggu di hari minggu, kami habiskan waktu bersama, menonton film. Di minggu berikutnya, kami pakai untuk menonton bioskop, Di minggu berikutnya aku bilang ke Sinta kalau aku ada acara keluarga, karena keluarga besarku mau datang, dia meng-iya-kan. Lalu di minggu berikutnya ku ajak dia ke toko kaset.

"Mid, coba dengar lagu yang ini deh," kata dia mencoba mensetel kaset di Trial booth yang ada di toko kaset itu.

"Akan ku ukir, satu kisah tentang kita, di mana baik dan buruk terangkum oleh cinta." Headset tetap kupasang di kepalaku, lalu aku menanyakan ke Sinta, "judulnya apa Sin?"

"Tunjuk Satu Bintang, pengen sih beli kasetnya." Aku dengan spontan merogoh kantong, melihat dompetku, isinya hanya tinggal 5000, hanya cukup untuk makan 2 orang, sementara harga kaset itu 4 kali lipat uang yang kubawa, tabunganku sudah hampir habis hampir tiap minggu bersama Sinta, lalu dengan tenang aku bilang ke dia, "Poni bando, uangku udah habis nih, hehe, besok kalau udah ada duit lagi kubelikan kasetnya ya, sekarang kita pergi yuk."

Lalu kami berdua keluar dari toko itu, aku yakin Sinta sangat kecewa karena lagunya belum selesai dia dengarkan tapi aku memaksanya pulang, terbukti, sepanjang perjalanan, aku dan dia diam, tak ada satu kata terucap. Namun di angkutan umum, dia sempat meminta, "Mid, antarkan aku sampai rumah ya!"

Akhirnya menuju ke rumahnya di gang yang agak sempit, ku pikir sepeda motorpun sulit masuk melewati gang tersebut, "ini Mid rumahku, masuk." Aku melepaskan sandalku, masuk menuju rumah sederhana bertingkat dua. Saat masuk ke dalam, ada beberapa anak kecil mondar mandir memperebutkan krayon, ada juga adik Sinta yang kira-kira umurnya SMP sedang menonton TV.

"Bu, ada tamu." Seru Sinta

"Oh ya, silahkan masuk," seru ibu Sinta sambil terburu-buru keluar dengan Daster. Aku lihat ibunya masih terlihat muda, masih umur 30-an.

"Maaf rumahnya rame," ujar Ibu Sinta merendah.

"Hehe, iya bu, rumah saya juga rame juga,"

"Maklum dek, adiknya Sinta ini ada 4, kebanyakan masih kecil-kecil. Duduk dulu dek."

"Iya bu, terimakasih." Sinta masuk bersama Ibunya, terdengar di belakang agak rame, aku yakin mereka sedang membuatkanku minum. Ternyata benar beberapa saat kemudian Ibu Sinta, Sinta, dan seorang wanita yang berusia kuliahan keluar membawakan Makanan dan minuman,

"Ayo dek dimakan." Kata ibu Sinta sambil kembali masuk ke dalam, aku menegak sirup orson yang ada di depanku, Sinta kemudian duduk di sebelahku.

"Enak, makasih ya Sin." Kataku sambil tersenyum, Sinta membalas balik dengan tersenyum.

"Lho dalam rangka apa dek datang ke rumah Sinta, jarang-jarang ada yang main ke sini lho." Kata wanita berusia kuliahan itu ke aku.

"Mbak, nanti dulu aja ditanyainnya." Kata Sinta.

"Oh ya perkenalkan, saya tantenya Sinta, tapi dia selalu ngeyel manggil saya mbak terus."

"Nanti aja mbak."

"Ih, ga mau diganggu ya kasmarannya."

"Ga nganggu kog mbak, santai aja." Kataku menanggapi agar suasana mencair.

Tante Sinta ini ternyata bernama Sari, asalnya dari desa, di sini ikut ibu Sinta untuk kuliah, kebetulan Mbak Sari mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Jakarta.

"Jarang-jarang lho memang ada yang main ke rumah Sinta, biasanya jarang sekali. Ada aja biasanya Cewek. Ini baru sekali ada cowok yang dateng ke sini." Ibu Sinta mulai nimbrung dipembicaraan kami. Akupun banyak sekali ditanyai, mulai dari berapa bersaudara, pekerjaan ayahku, dan banyak sekali yang mereka tanyakan.

"Ohya, bapak mana bu?" Tanyaku ke Ibu Sinta. Semuanya tiba-tiba terdiam, aku hampir menyimpukan bahwa Sinta sebenarnya Yatim, namun Ibu Sinta langsung menyahut memecah keheningan "Ohya, dek Hamid belum ketemu bapak, sini salaman sama bapak dulu." Aku kemudian mengikuti ibu Sinta, ternyata bapak Sinta sedang duduk di kasur dengan selimut terbalut di kakinya, di sebelah kasur itu ada kursi roda.

"Pak, ini Hamid, temannya Sinta." Kata ibu memperkenalkanku, aku langsung menyalami tangan kurus itu, beliau tersenyum.

"Oh ya, makasih lho dek sudah mampir ke sini." kata beliau dengan suara yang sangat berat. Lalu dia mulai berbasa basi menanyaiku banyak hal.

"Bapak pesen jagain Sinta ya nak."

Aku hanya mampu mengangguk tanpa berkata apa-apa, setelah itu akupun berbasa basi sebentar dan pamit dari rumah itu. Tak lupa aku berterimakasih karena telah disambut dengan baik.

***

"Poni Bando, besok aku ada tanding Basket lawan SMA sebelah, nonton ya!"

"Iya, Nanti Poni Bando mau nonton kok." Kubaca surat tissue itu dengan senyum dan melirik ke meja Sinta. Teman sebelahku, si Wawan menyenggolku, "ciyee.. Besok pasti mau pamer ke Revi ya?"

"Apaan sih?" Kataku dengan nada agak meninggi

"Udah akuin aja."

"Aku ga ada apa-apa ma Revi." Di tengah berantemku itu, Revi mendengar dan menghampiri mejaku, "Oke Mid, besok semangat ya di lapangan." Aku hanya tertegun, Wawan terus menyenggol-nyenggolku, "tuh kan bener apa kataku."

Aku belum sempat melihat ke arah Sinta, bu guru bahasa Indonesiaku datang dan memulai pelajaran.

Esok setelah pulang sekolah, aku langsung bersiap untuk bertanding, pemanasan, berlatih ringan, hingga tim dari sekolah sebelah datang ke sekolah kami. Aku di tengah lapangan, dan tak melihat keberadaan Sinta Aku mencoba melihat apakah dia menonton, tapi tak ada, aku malah melihat Revi dan genknya menyoraki timku dengan kerasnya.

Prittt.. Bola dilambungkan ke atas dan pertandingan di mulai, bola dioper langsung ke aku, kuterobos lawan dengan cepat dan hap, skor 2 untuk timku,

Alur permainan memihak pada tim kami, skor 32-10 untuk tim kami, saat time up, aku melihat sekeliling, tak ada Sinta, mungkin saking ramenya penonton aku tak melihatnya. Lalu aku masuk lapangan lagi, berlaga memasukkan bola ke Keranjang lawan, skor menjadi 53-16. Lalu "subs" aku ditukar dengan pemain lain, dan saat mencoba mencari di sekitar lapangan maupun di belakangku, tak ada Sinta, ya yang ada adalah penonton lain dan Genk Revi yang semuanya bersorak untuk kemenangan timku. Di kuarter ketiga saat aku tak bermain, skor hampir tersusul 55-28, aku masuk lagi di kuarter terakhir, memasukkan banyak bola ke keranjang lawan, banyak peluang yang tercipta, skor akhir 71-30. Akhir pertandingan, banyak orang menyambut gembira kemenangan tim kami, ada yang mengangkatku dan mengelilingiku, sangat ramai, namun aku mencari Sinta, tetap tidak ada.

***

"Sin, kemana kamu seminggu ini, kok tidak masuk sekolah, kok tidak nonton aku main basket?" Tulisku di surat tissue. Dia tidak membalas, aku mengiriminya dengan surat tissue lagi, "Poni Bando?"

Ia juga tidak membalas, wajahnya dia tempiaskan ke jendela. Bahkan suratku sepertinya tidak dia baca. Aku mencoba sekali lagi, tak dibalas lagi, aku tak tahu apa sebabnya dia seperti itu. Ia mendiamkanku sangat lama,

Beberapa hari, beberapa bulan selalu seperti itu, hingga akhirnya sekolah di kelas 1 selesai, kami menjadi berbeda kelas. Dia memberikanku sebuah bingkisan dan dia tetap diam. Lalu dia pergi dengan berlari, kubuka bingkisan itu, ada sebuah foto, foto kami berdua, dan di belakang ada tulisan, "Terimakasih telah menjagaku."

Aku kemudian menghampirinya di rumahnya

"Sin, Sinta, permisi." Ku ketuk pintu itu, mbak Sari membukakannya,

"Hamid, Sintanya belum pulang nih, kamu mau titip apa ke mbak, nanti mbak sampaikan."

Lidahku kelu, tak ada yang bisa kuucapkan.

"Ga ada mbak. Ya makasih ya mbak."

Lalu aku pulang dengan kekecewaan, aku tetap menyimpan penasaran.

***

"Sin, aku sudah boleh bawa mobil, besok aku ajak ke Dufan ya!" Aku mengirim surat tissue di dalam amplop. Ku letakkan di atas mejanya saat dia makan di kantin. Aku melihat dia membukanya dan tersenyum. Kemudian dia membalas suratku di tissue itu, dan ia memberikan padaku di depan koperasi. Kubuka surat itu di sana. "Iya poni keriting, temui aku di halte biasanya jam 9 pagi."

Aku sudah tak sabar untuk besok, aku sudah punya SIM, dan hari ini aku boleh untuk membawa mobil Carryku keluar dari garasi rumah.

Lalu aku melewati halte jam 9, tak ada Sinta di sana, aku memparkir di belakang bis, tak ada Sinta lewat. Cukup lama kutunggu. Jam 9.30 dia baru muncul, bersama seorang laki-laki. Dia mengetuk pintu mobilku, akupun membuka jendelanya," Hamid, ini kenalin Doni, dia saudara jauhku sedang cari kuliah di Jakarta, kita ga jadi jalan-jalan ya. Maaf."

"Oh, oke, gapapa." Tapi dalam hati aku kecewa, aku pulang ke rumah dengan hati remuk.

***

Kemudian beberapa kali aku mengajaknya untuk pergi, kali ini aku ingin memakai angkot saja, ada saja alasan untuk dia tidak jadi pergi, sering lewat telpon dia membatalkannya. Aku tak habis pikir mengapa dia terus membatalkan janjinya. Aku mulai marah dan menghampiri rumahnya

"Sinta, Sinta., permisi."

"Iya nak Hamid, wah Sintanya lagi ada tamu nak."

Sinta keluar menemuiku dengan wajah cemas, dia mengajakku keluar ke gang sempit rumahnya.

"Maaf Hamid, aku tak bisa pergi."

"Terus kok dari kemarin ga bisa kuajak, kamu ngapain?"

Kemudian dia memelukku dan beranjak pergi sambil menangis, aku mengejarnya, namun Sinta telah terlanjur masuk. Ibunya di depan melihatku dengan muka cemas dan bingung.

"Sin, Sinta..?" Aku berteriak memanggilnya.

"Maafin Sinta ya, Dek!" Kata ibunya dengan nada cemas.

"Ayah Sinta meninggal akhir april kemarin, sesaat setelah dek Hamid kemari. Maafin Sinta ya kalau dia sering goncang!"

Mendengar itu, jantungku berdegub kencang, shock. Aku tak tahu harus berbuat apa, seketika pikiranku kosong, dan tak tahu harus kemana.

***

Ya, umurku saat ini 24, aku telah mempunyai pekerjaan meskipun aku belum mapan, sudah saatnya aku merangkai kembali cintaku dan kutentukan pilihan hidupku. Saat ini Kadoku ku letakkan di jok samping. Aku memutuskan untuk menghampiri Sinta, kado ini untuknya, sebagai ganti masa lalu yang tertunda.

"Sinta, Sinta, Permisi." Teriakku memanggil Sinta di depan rumahnya,

"Oh temennya Sinta dulu ya? Hamid kan?" Mbak Sari membukakanku pintu, sudah 8 tahun berlalu dan tak terlalu banyak yang berubah.

"Iya,"

"Sintanya lagi pergi, ada yang mau di salamkan dek?"

"Iya mbak, titip kado ini ya mbak, untuk Sinta." Kuserahkan kado itu ke mbak Sari, padahal aku ingin menyerahkannya sendiri.

"Oke dek, nanti mbak sampaikan." Lalu aku pergi, di luar gang ada warung angkringan, aku ingn mampiir membeli kopi di situ. Kemudian ada seorang yang aku kenal suaranya di sebelahku memesan minuman juga, "mbak, susu ga pake gula ya," aku lihat Sinta, dengan baju hamil dan perut yang membesar,

"Sinta?"

"Hamid? Kamu mau kemana, kog ke sini?"

"Aku mau mampir rumahmu." Kataku dengan jujur. Tapi aku sedih melihat perutnya, iya, tanda pasti dia telah menikah.

"Kamu sudah menikah?"

"Iya, sudah nikah akhir tahun kemarin. Maaf nggak ngundang poni keriting." Katanya sambil mengelus perut. Lalu kami terdiam menunggu pesanan masing-masing. Sungguh, aku menyesal, aku terlambat, aku baru menyadari, tak pernah ada kata cinta dariku untuknya.

Mungkin salahku, Melewatkanmu, tak mencarimu, sepenuh hati, maafkan aku.

######

Kisah ini aku dapat dari seorang teman yang benar-benar mengalami cerita ini, untuk menjadikan cerita ini benar-benar fiksi, aku rubah nama dan tempatnya. Hehehe. Jika ditanya bagaimana nasib Sinta, dia sekarang sudah hidup bahagia dengan suaminya dan memiliki 2 anak, sementara Hamid hingga kini masih belum melupakan sosok Sinta dalam hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun