"Akan ku ukir, satu kisah tentang kita, di mana baik dan buruk terangkum oleh cinta." Headset tetap kupasang di kepalaku, lalu aku menanyakan ke Sinta, "judulnya apa Sin?"
"Tunjuk Satu Bintang, pengen sih beli kasetnya." Aku dengan spontan merogoh kantong, melihat dompetku, isinya hanya tinggal 5000, hanya cukup untuk makan 2 orang, sementara harga kaset itu 4 kali lipat uang yang kubawa, tabunganku sudah hampir habis hampir tiap minggu bersama Sinta, lalu dengan tenang aku bilang ke dia, "Poni bando, uangku udah habis nih, hehe, besok kalau udah ada duit lagi kubelikan kasetnya ya, sekarang kita pergi yuk."
Lalu kami berdua keluar dari toko itu, aku yakin Sinta sangat kecewa karena lagunya belum selesai dia dengarkan tapi aku memaksanya pulang, terbukti, sepanjang perjalanan, aku dan dia diam, tak ada satu kata terucap. Namun di angkutan umum, dia sempat meminta, "Mid, antarkan aku sampai rumah ya!"
Akhirnya menuju ke rumahnya di gang yang agak sempit, ku pikir sepeda motorpun sulit masuk melewati gang tersebut, "ini Mid rumahku, masuk." Aku melepaskan sandalku, masuk menuju rumah sederhana bertingkat dua. Saat masuk ke dalam, ada beberapa anak kecil mondar mandir memperebutkan krayon, ada juga adik Sinta yang kira-kira umurnya SMP sedang menonton TV.
"Bu, ada tamu." Seru Sinta
"Oh ya, silahkan masuk," seru ibu Sinta sambil terburu-buru keluar dengan Daster. Aku lihat ibunya masih terlihat muda, masih umur 30-an.
"Maaf rumahnya rame," ujar Ibu Sinta merendah.
"Hehe, iya bu, rumah saya juga rame juga,"
"Maklum dek, adiknya Sinta ini ada 4, kebanyakan masih kecil-kecil. Duduk dulu dek."
"Iya bu, terimakasih." Sinta masuk bersama Ibunya, terdengar di belakang agak rame, aku yakin mereka sedang membuatkanku minum. Ternyata benar beberapa saat kemudian Ibu Sinta, Sinta, dan seorang wanita yang berusia kuliahan keluar membawakan Makanan dan minuman,