Mohon tunggu...
Ama Atiby
Ama Atiby Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Pencari ilmu yang takkan pernah berhenti menambah ilmu" http://lovewatergirl.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

ECR #91. Warga Baru

27 Januari 2011   12:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:08 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12961315401491513408

[caption id="attachment_87592" align="aligncenter" width="575" caption="Photo : bebasbanjir2025.wordpress.com"][/caption]

Senyuman mentari menyambut pagi

Membuka tabir alam yang tersembunyi

Suara gemericik sungai

Terdengar bagai percakapan para dewa dewi

Basahan embun menyentuh kalbu

Dingin...

Burung pipit terbang kepenjuru negeri

Mengabarkan pagi dengan siulan merdu

Suara kokokan ayampun tak kalah bersahut

Memecah hening meramaikan pagi

Menghantarku kembali ke sanubari waktu

Ah... waktu, mengapa kau cepat berlalu

Padahal aku masih ingin menikmati malam yang syahdu

***

KRING....!!! KRING....!!! KRING....!!!

KRING....!!! KRING....!!! KRING....!!!

ARRRRGHHHHHHHHH... BERISIK BANGET... TAU KAGAK SIH ORANG LAGI TIDUR...!!!

Dengan mata setengah terbuka kucoba meraih jam weker itu dan mematikannya... Kutarik kembali selimut dan kembali aku terbuai dalam alam bawah sadarku...

"AMA.. BANGUN...!!! NANTI LOE KETINGGALAN BUS" Sebuah teriakan dari luar kamar berhasil mengangetkanku.

Astaga... ! Jam berapa sekarang? Ya Tuhan sudah jam 9.... Dengan bergegas aku bangkit dari tempat tidur, tanpa merapikannya, aku langsung meluncur kamar mandi. Kulihat Mirna yang tengah sibuk menyiapkan sarapan.

"Sialan kamu Mir... Bangunin gw kek dari tadi"

"Yeee... tu jam weker percuma aja loe setel.. dasar badak." Sindir Mirna yang kemudian berlalu dari hadapanku.

Akh... tak ada waktu lagi untuk mandi, hari ini akhirnya aku mengambil sebuah keputusan penting... Aku pergi tanpa mandi...! yaik... apa boleh buat waktuku mepet banget.

Dengan cepat kugosok gigi dan membasuh wajahku dengan facial foam.

"MIR... LOE TOLONGIN GW HUBUNGIN TAXI DONK... GW BAKALAN TELAT KE TERMINAL NE KALAU NAIK ANGKOT...!" teriakanku terdengar membahana disetiap sudut rumah.

"Iye... nyonya... " sungut Mirna kesal.

"Kebiasaan loe dari dulu kagak berubah, Ma. Masalah loe selalu itu itu aja"

"Sorry deh Mir..." Dari jendela ruang tamu kulihat sebuah mobil masuk ke halaman rumah.

" Udahan ya... Gw berangkat sekarang moga-moga aja gw ga telat."

"Lho... kagak sarapan dulu?"

"Gw bawa roti" Jawabku sambil berlalu menjumpai si supir taxi.

"Pak tolong masukin koper ini juga ya."

"Buset loe Ma... Cuma sebulan barang bawan loe macam mau pindah rumah aja." Celutuk Mirna kaget.

"Yeee... ini baru sedikit Mir, sebagian baju dah gw keluarin semalam." Jawabku santai. Gw peluk sahabatku yang sedang berdiri mematung dipintu. "Jagain rumah ya Mir, kalau ada telpon dari bokap bilang gw dah menuju kerumah Paman."

Dengan perlahan taxi keluar dari perkarangan rumah kos. Rumah yang aku tempati sementara selama kuliah di Jakarta "Antarin saya ke terminal **** ya pak, buruan pak, kalau perlu kebut aja."

****

Bus yang kutumpangi berhenti di sebuah persimpangan. Kulirik jam tanganku sudah menujukkan pukul 2 siang. Ugh... kenapa sih tidak ada kendaraan yang menuju ke desa ini? Busnya aja juga cuma berhenti di persimpangan. Dengan modal peta coretan papa ku telurusi jalanan di perkampungan ini. Dikanan dan kiri jalan terhampar persawahan hijau. Akh... Kulihat ada seorang pemuda yang sedang menggembalakan sapinya. Apa aku tanya dia aja ya..? Pikirku dalam hati.

Sudah hampir 20 menit aku berjalan kaki menelusuri jalan setapak. Penderitaanku semakin bertambah karena harus menyeret koper yang beratnya hampir 30 kg dengan ransel yang beratnya hampir 7 kiloan. Tak terhitung banyaknya tetesan keringat yang mengucur deras dari keningku. Argh... Perutku lapar...

"Mau kemana neng?" Sebuah suara terdengar menghampiriku. Kubalikkan tubuhku. Terkesima aku melihat petani itu. Dia terlalu tampan untuk menjadi seorang petani.

"Eum... anu... Saya mau ke rumah pak Kades."

"Eh... Serius neng mau kerumah pak Kades? Jalannya salah neng... seharusnya dipersimpangan tadi neng belok ke kanan."

"APA...?!" Sialan gw dikerjain sama si penggembala sapi.

"Dari persimpangan tempat neng turun dari Bis, rumah pak kades ga jauh lagi, kira-kira hanya 5 menit berjalan kaki."

Astaga naga... Kurang ajar tuh si gembala... Berani-beraninya ngerjain gw. Umpatku dalam hati.

Kutarik nafas dalam, menahan gejolak amarah. Kulirik si petani yang heran melihat tingkahku. Ugh... Aku sudah tak punya tenaga lagi kalau harus berjalan kembali ke persimpangan itu. Membayangkannya saja aku sudah tidak sanggup. Matahari juga hari ini sangat tidak bersabat, keringat mengucur deras membasahi tubuhku bagai tersiram air hujan.

"Eum... sini saya bantu bawakan kopernya neng, di pojokan itu ada tempat mangkal becak, ntar neng minta diantarin aja sama mamangnya."

Thanks God... ternyata masih ada juga orang baik di dunia ini. Kulirik lagi si petani yang kini berjalan di sebelahku. Koperku terlihat begitu ringan ditangannya. Beberapa tetes keringat terlihat mengujur dari dahinya. Sungguh, dia tidak pantas mengenakan baju itu, dia lebih pantas mengenakan dasi dan stelan jas seperti seorang eksekutif muda yang bekerja di kantor papa.

"Neng ada perlu apa ke kampung ini, kelihatan neng bukan orang sini." Tanyanya memecah keheningan antara kami.

"Dalam rangka berkunjung ke rumah paman."

"Jadi, pak kades itu pamannya neng ya?"

"Iya."

"Jadi sepupuan donk sama Uleng."

Uleng? Siapa Uleng? Perasaan aku ga pernah punya sepupu bernama Uleng. Kucoba memutar otak mengingat-ingat apa iya aku punya sepupu bernama Uleng? Kulirik lagi wajah si petani yang berharap jawaban dariku. Ah... kusenyumi saja dia.

"Kita sudah sampai neng..." Serunya padaku.

Kulihat dia bergegas menghampiri tukang becak. Aku tak berapa jelas mendengar isi percakapan mereka. Sesaat kemudian si petani itu kemudian kembali dengan wajah yang sumringah.

"Nah... sekarang neng naik aja kebecaknya. Dia akan mengantarkan neng ke rumah pak kades dengan selamat."

"Terima Kasih ya."

"sama-sama neng... eum..."

Kulihat mimik wajahnya yang tiba-tiba bersemu merah.

"Neng... eum... nanti sampaikan salam saya untuk Uleng ya..." Ujarnya kemudian.

Weleh... weleh... aku langsung menangkap ada lagat yang tidak beres ne... Jangan-jangan si petani naksir lagi sama Uleng.

"Iya. Sekali lagi makasih ya."

Kulangkahkan kakiku menaiki becak beroda tiga. Jangan harap bisa menemukan becak motor disini. Kulihat si mamang yang dengan sigap mengayuh becak perlahan-lahan. Keringat bercucuran mengalir dari keningnya. Kasihan juga aku melihatnya. Upz... tiba-tiba aja pandangan kami beradu. Kenapa aku jadi salah tingkah ya? Kulihat dia yang tersenyum ramah padaku

"Neng... Namanya siapa?" tanyanya kemudian.

"Ama."

"Saya Joko Erdhianto, neng, panggilannya mang joko... tapi jangan pake nyanyi ya neng... hehe..."

"Neng, keponakannya pak kades ya? Wah... asik tuh sepupuan sama Uleng."

Hah... Uleng lagi... Ini sudah kedua kali aku mendengar nama Uleng sejak tiba didesa ini, dari petani sampe tukang becak juga kenal dengan Uleng.

"Emang kenal banget sama Uleng ya mang?" Tanyaku penasaran.

"Wah neng, dikampung ini siapa sih yang ga kenal Uleng dan Cinta, putri-putri pak kades yang merupakan bunga desa didesa ini. Selain cantik, mereka juga ramah dan baik hati."

"Desa ini memang kecil neng, jumlah warganya cuma sekitar seratusan orang. Suasana kekeluarganya terasa banget. Jadi saya kenal deh sama penduduk-penduduk desa rangkat, termasuk keseharian mereka. Jangan heran ntar kalau neng menemukan hal yang aneh-aneh dikampung ini."

"Aneh bangaimana mang?" Tanyaku mengernyitkan dahi.

"Lihat gunung yang didepan itu ga neng?"

"Nama gunung itu Naras, konon ada kuncennya neng, orangnya suka aneh-aneh, kadang suka melakukan ritual-ritual sambil mulutnya komat kamit baca mantra. Katanya sih untuk melindungi desa dari roh jahat."

"Hah...?! masa sih mang?"

"Hehehe... bercanda kok neng. Si eneng ini serius amat" Ujarnya kemudian disertai tawanya yang renyah.

"Tapi beneran deh, tuh gunung punya kuncen, tapi kuncennya ganteng neng, Orang sini manggil dia Alf, masih muda lagi neng, kali aja neng ntar naksir lho, hehe..."

Sialan ni tukang becak. Sungutku dalam hati. Kulirik dia yang kini tersenyum penuh arti.

"Nah... Yang itu rumah Mpok Arra." Tunjukknya kemudian kesebuah rumah yang halamannya dipenuhi dengan bunga mawar. Indah sekali.

"Dia itu dukun cinta di kampung ini, banyak lho mba yang mencoba peruntungan cinta sama mpok Arra. Orangnya cantik dan pinter. Banyak juga yang juga sekedar ingin konsultasi atau curhat masalah percintaan. Kadang dia sering diundang ke kota untuk menghadiri SEMINAR DUKUN CINTA TINGKAT NASIONAL. Mpok Arra juga teman baik Mommy istri pak kades. Dia juga sering main ke rumah pak Kades. Kali aja non mau coba peruntungan cinta sama mpok Arra, hehe..." Jelasnya tanpa kutanya.

"Oh ya mang, disini ada yang jual pulsa ga? Pulsa saya habis, padahal saya harus mengabari mama dirumah"

"Ada neng, wah kebetulan aja kita belum kelewatan." Ujarnya kemudian sambil mengayuhkan becaknya ke sebuah gank kecil.

"Sebentar ya neng, saya lihat dulu orangnya ada tidak." Ia lalu turun dan menghampiri sebuh rumah semi permanen. Di pojokan depan rumah itu terdapat sebuah kios kecil yang menjual aneka makanan kecil dan kebutuhan rumah tangga. Tak beberapa lama kemudian kulihat tangannya melambai kearahku, mengisyaratkan agar aku menghampirinya.

"Beli vocher ****** 100 ribu 5 ya mas." Ujarku sambil mengeluarkan dompet dari ranselku.

"Wah... banyak amat neng, seumur-umur saya jualan baru kali ini ada pelanggan yang beli voucher 100 ribu sampe 5 biji. Durian runtuh ne" Ujarnya si penjual voucher, belakangan baru kutahu namanya Budi tapi akrab dipanggil Boil.

"Wah... neng warga baru di desa ini ya. Sering-sering aja ya neng mampir sini. Oh ya besok minggu kita ada pesta panen raya, ntar neng ikutan ya. Saya jadi panitia lho" Lanjutnya lagi.

"Iya mas... makasih ya."

Perjalanan dengan becak mang joko berhenti di sebuah rumah panggung semi permanen. Rumah yang sudah tua tapi masih berdiri dengan kokoh seolah tak lekang dimakan waktu. Kulihat seorang laki-laki dan perempuan paruh baya berdiri di halaman rumah seperti sedang menyambutku.

"Akhirnya kamu tiba juga Ama. Selamat Datang di Desa Rangkat." Ujar lelaki yang merupakan pamanku itu.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun