Astaga naga... Kurang ajar tuh si gembala... Berani-beraninya ngerjain gw. Umpatku dalam hati.
Kutarik nafas dalam, menahan gejolak amarah. Kulirik si petani yang heran melihat tingkahku. Ugh... Aku sudah tak punya tenaga lagi kalau harus berjalan kembali ke persimpangan itu. Membayangkannya saja aku sudah tidak sanggup. Matahari juga hari ini sangat tidak bersabat, keringat mengucur deras membasahi tubuhku bagai tersiram air hujan.
"Eum... sini saya bantu bawakan kopernya neng, di pojokan itu ada tempat mangkal becak, ntar neng minta diantarin aja sama mamangnya."
Thanks God... ternyata masih ada juga orang baik di dunia ini. Kulirik lagi si petani yang kini berjalan di sebelahku. Koperku terlihat begitu ringan ditangannya. Beberapa tetes keringat terlihat mengujur dari dahinya. Sungguh, dia tidak pantas mengenakan baju itu, dia lebih pantas mengenakan dasi dan stelan jas seperti seorang eksekutif muda yang bekerja di kantor papa.
"Neng ada perlu apa ke kampung ini, kelihatan neng bukan orang sini." Tanyanya memecah keheningan antara kami.
"Dalam rangka berkunjung ke rumah paman."
"Jadi, pak kades itu pamannya neng ya?"
"Iya."
"Jadi sepupuan donk sama Uleng."
Uleng? Siapa Uleng? Perasaan aku ga pernah punya sepupu bernama Uleng. Kucoba memutar otak mengingat-ingat apa iya aku punya sepupu bernama Uleng? Kulirik lagi wajah si petani yang berharap jawaban dariku. Ah... kusenyumi saja dia.
"Kita sudah sampai neng..." Serunya padaku.