Sesuai dengan asas pokok kepolisian, yaitu asas legalitas (legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), berdasarkan pedoman ini, kewenangan pemerintah berasal dari peraturan dan pedoman. Dalam literatur hukum administrasi, terdapat dua metode untuk memperoleh kewenangan dari pemerintah, yaitu atribusi dan delegasi serta mandat. Atribusi mengacu pada kewenangan pertama dalam pandangan pengaturan peraturan yang dilindungi. Kewenangan untuk membuat keputusan (besluit) yang secara langsung berasal dari undang-undang dalam arti materiil dikenal sebagai atribusi. Satu definisi lagi mengatakan bahwa atribusi adalah pengaturan spesialis tertentu dan pemberian wewenangnya kepada organ tertentu. Orang-orang yang dapat membentuk kewenangan adalah organ yang disetujui berdasarkan peraturan dan pedoman.
   Menurut HD Van Wijk/Willem Konijnenbelt memberikan pengertian tentang atribusi, delegasi dan mandat, sebagai berikut:
1.Pemberian wewenang oleh legislatif kepada badan pemerintah dikenal sebagai atribusi. Dalam atribusi kekuasaan, tanggung jawab yang sah oleh penerima kekuasaan bergantung pada penerima kekuasaan yang melakukan perintah atau penunjukan. Amaka mandans (pemberi atau penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggung jawab jika tindakan yang diambil adalah pemberian mandat. Ini tidak terjadi jika wewenang didelegasikan, dalam hal ini pemberi delegasi memikul tanggung jawab alih-alih pemberi wewenang.
2.Pengalihan wewenang dari satu badan pemerintah ke badan pemerintah lain dikenal sebagai pendelegasian. Penerima pendelegasian (delegator) diberi tanggung jawab untuk melaksanakan sendiri pekerjaan yang didelegasikan dalam sebagian atau seluruh pendelegasian. Karena wewenang dialihkan melalui pendelegasian, maka delegator bertanggung jawab atas penyalahgunaan wewenang oleh delegator.
3.Perintah terjadi ketika suatu badan administrasi mengizinkan kekuasaannya dijalankan oleh orang lain. Masalah kewenangan merupakan akar dari akuntabilitas mandat karena kewenangan tersebut berada di tangan mandan---orang yang memberikannya---sementara mandataris---orang yang menerimanya---hanya memiliki kewenangan untuk bertindak untuk dan atas nama mandan. Karena tidak ada pendelegasian kewenangan dalam mandat, mandan dapat terus bertindak secara independen atas nama USTUK BAN. Orang yang bertanggung jawab secara hukum tetap berada di tangan mandan (orang yang memberikan kewenangan) jika tidak ada pengalihan kewenangan dalam mandat.
  Indriyanto Seno Adji, memberikan pemahaman tentang penyalahgunaan kekuasaan dengan mengacu pada penilaian Jean Rivero dan Waline yang menyamakan "detournement de pouvoir" dengan "Freiss Ermessen", penyalahgunaan kekuasaan dalam hukum pidana dapat diartikan dalam tiga bentuk, yaitu:
1.Menggunakan wewenang dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan umum atau melayani kepentingan diri sendiri, kelompok, atau golongan.
2.Penyalahgunaan wewenang, dalam arti tindakan pejabat tersebut menyimpang dari tujuan pemberian wewenang tersebut berdasarkan undang-undang atau peraturan lain, meskipun tindakan pejabat tersebut sebenarnya untuk kepentingan umum.
3.Penyalahgunaan terhadap hak atau menyalahgunakan strategi yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi menggunakan sistem yang berbeda untuk mencapainya.
  Penyalahgunaan wewenang, atau "detournement de pouvoir," didefinisikan oleh Sjachran Basah sebagai tindakan yang dilakukan oleh pejabat yang tidak sesuai dengan tetapi masih dalam ruang lingkup peraturan perundang-undangan. Menurut sejumlah sudut pandang ahli, penyalahgunaan wewenang pada prinsipnya dapat terjadi baik dalam kewenangan terikat maupun kewenangan bebas (diskresi). Penanda atau tolok ukur penyalahgunaan wewenang ahli dalam bentuk kewenangan terikat adalah standar legislasi (alasan yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan pedoman), sedangkan dalam bentuk kewenangan bebas (kewaspadaan) menggunakan batasan-batasan standar umum penyelenggaraan negara yang baik, mengingat aturan wenmatigheid saja tidak cukup.
  Kekuasaan adalah kapasitas individu atau kelompok untuk memengaruhi cara berperilaku orang lain atau kelompok sehingga cara berperilaku tersebut sesuai dengan keinginan dan tujuan individu yang memiliki kekuasaan. "Kemampuan untuk memengaruhi kebijakan umum (pemerintahan) baik dalam pembentukannya maupun konsekuensinya sesuai dengan tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri" adalah yang kita maksud ketika berbicara tentang kekuasaan politik.