Setelah membahas pengertian, rukun dan syarat perkawinan, kemudian selanjutnya membahas mengenai hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban merupakan suatu hubungan yang berkaitan dalam perkawinanoleh suami maupun istri. Hal ini dijalankan guna menciptakan kehidupan perkawinan yang  harmonis. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (pasal 30). Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum, suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga(pasal 31). Suami istri harus memiliki tempat tinggal yang ditentukan oleh keduanya (pasal 32). Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormat setia dan memberi bantuan lahir maupun batin(pasal 33). Suami wajib melindungi istrinya, istri mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, jika suami atau istri melalaikan kewajiban maka dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan(pasal 34).
Apabila hak dan kewajiban  yang dijelskan dalm UU No.1 Tahun 1974 dilakukan secara seimbang oleh suami dan istri dalam membangun rumah tangga. Maka akan tercipta perkawinan yang harmonisa (samawa). Suatu kehiidupan rumah tangga yang harmonis akan membawa keluarga lebih tenang dan khusyuk dalam beribadah.
Secara terminology nafkah berarti sesuatu yang wajib diberikan oleh suami untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya. Dalam hal ini nafkah dibagi menjadi dua yaitu nafkah materiil dan nafkah nonmaterii, adapun yangtermasuk nafkah materiil yaitu nafkah pakaian dan tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan, dan biaya pengobatan. Pengaturan nafkah dalam KHI dijelaskan dalam pasal 80 ayat 4 yang menyatakan bahwa :
a.Nafkah, kiswah. Dan tempat tinggal.
b.Biaya rumah tangga, perawatan dan pengobatan, biaya pendidikan .
c.Kewajiban suami berlaku setelah ada tamkin dari istrinya.
Meski nafkah menjadi kewajiban suami atas istri namun istri juga dapat membebaskan kewajiban suaminya untuk menafkahinya.
Selanjutnya mengenai putusnya perkawinan dalam istilah fikih dikenal dengan istilah "talak" yang berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian. Menurut Sayid Sabiq talak adalah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinann dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Dalam KHI bab XVI Pasal 1 mendefinisikan bahwa "talak adalah ikraar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131." Selanjutnya istilah talak ini dalam UU Perkawinan disebut dengan istilah "Perceraian". Dasar putusnya perkawinan datur dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 38 yang menjelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena kematan, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan.
Menurut KHI Pasal 114 putusnya perkawinan dapat terjadi karena perceraian atau talak. Bentuk-bentuk atau macam talak menurut KHI antara lain :
1.Talak raj'i, talak yang ke satu atau dua. Dalam talak ini suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.
2.Talak ba'in sughra, dalam talak ini tidak boleh rujuk tetapi bleh akad baru dengan mantan suaminya meski dalam keadaan iddah.